Ukhuwah Islamiyah
Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah kedua saudara kalian dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapatkan rahmat (QS al-Hujurat [49]: 10).
Dari ayat di atas tersurat bahwa siapapun, asalkan Mukmin, adalah bersaudara, karena dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan akidah. Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Hal itu tampak dari: Pertama, penggunaan kata ikhwah—dan kata ikhwan—yang merupakan jamak dari kata akh[un] (saudara). Kata ikhwah dan ikhwan dalam pemakaiannya bisa saling menggantikan. Namun, umumnya kata ikhwah dipakai untuk menunjuk saudara senasab, sedangkan ikhwan untuk menunjuk kawan atau sahabat (Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, 8/3).
Dengan memakai kata ikhwah, ayat ini hendak menyatakan bahwa persaudaraan kaum Muslim itu lebih kuat daripada persahabatan atau perkawanan biasa.
Kedua, ayat ini diawali dengan kata innamâ. Meski secara bahasa, kata innamâ tidak selalu bermakna hasyr (pembatasan), kata tersebut dalam ayat ini memberi makna hasyr. Artinya, tidak ada persaudaraan kecuali antar sesama Mukmin, dan tidak ada persaudaraan di antara Mukmin dan kafir (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 14/11).
Ini mengisyaratkan bahwa ukhuwah islamiyah lebih kuat daripada persaudaraan nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama. Sebaliknya, ukhuwah islamiyah tidak terputus karena perbedaan nasab (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, VIII/212. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
Bahkan persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika kosong dari persaudaraan (akidah) Islam (Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsir, III/217).
Hal ini tampak, misalnya, dalam hal waris. Tidak ada hak waris antara Mukmin dan kafir dan sebaliknya. Jika seorang Muslim meninggal dan ia hanya memiliki saudara yang kafir, saudaranya yang kafir itu tidak boleh mewarisi hartanya, namun harta itu menjadi milik kaum Muslim. Demikian pula sebaliknya (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 14/111).
Dalam hal kekuasaan, umat Islam tidak boleh menjadikan orang kafir sebagai wali (pemimpin), sekalipun ia adalah bapak dan saudara mereka (QS at-Taubah [9]: 23).
Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian dan persatuan. Jika terjadi sengketa dan peperangan di antara mereka, itu adalah penyimpangan, yang harus dikembalikan lagi ke keadaan normal dengan meng-ishlâh-kan mereka yang bersengketa, yakni mengajak mereka untuk mencari solusinya pada hukum Allah dan Rasul-Nya (Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, VIII/529. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).
Selanjutnya Allah SWT berfirman: wa [i]ttaqû AlLâh la‘allakum turhamûn (dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat). Takwa harus dijadikan panduan dalam melakukan ishlâh dan semua perkara. Dalam melakukan ishlâh itu, kaum Mukmin harus terikat dengan kebenaran dan keadilan. Tidak berbuat zalim dan tidak condong pada salah satu pihak. Sebabnya, mereka semua adalah saudara yang disejajarkan oleh Islam (Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XXV/239).
Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Allah, yakni ber-tahkîm pada syariah. Dengan begitu, mereka akan mendapat rahmat-Nya.
Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ ١٠٣
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai (QS Ali Imran [3]: 103).
Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa tali Allah (habl Allâh) adalah al-Quran yang diturunkan dari langit ke bumi. Siapapun yang berpegang teguh pada al-Quran berarti ia berjalan di atas jalan lurus. Ayat tersebut merupakan perintah Allah SWT kepada mereka untuk berpegang pada al-jamâ‘ah dan melarang mereka dari tafarruq (bercerai-berai) (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, I/477).
Dari sini terang sekali, bahwa keterceraiberaian tersebut disebabkan Islam tidak dijadikan sebagai pegangan dalam mengatur kehidupan (Lihat: QS al-An‘am [6]: 153).
Selain dalil al-Quran, dalam as-Sunnah pun Rasulullah saw. menegaskan kewajiban menjaga ukhuwah islamiyah. Beliau antara lain bersabda, “Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Sebagiannya menguatkan sebagian lainnya.” (HR Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Beliau pun bersabda, “Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya…Siapa saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang membebaskan seorang Muslim dari kesulitan, Allah SWT akan membebaskan dirinya dari suatu kesulitan pada Hari Kiamat. Siapa saja yang menutupi aib sesama Muslim niscaya Allah akan menutup aibnya pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Nasa’i).
Dalam sebuah hadis yang menerangkan tentang tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari ketika tiada naungan kecuali naungan Allah, Rasulullah saw. menyebutkan salah satu di antaranya adalah: Dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT juga berfirman (yang artinya): “Orang-orang yang saling mencintai karena Aku berhak atas kecintaan-Ku.” (HR Malik dan Ahmad).
Alhasil, yuk jaga ukhuwah islamiyah di antara kita. Jangan sampai berpecah-belah. Kita harus saling menguatkan. Bukan saling melemahkan, Kita harus saling mendukung, Bukan saling menelikung. Perbedaan paham, mazhab, organisasi, partai dan berbagai ikatan primordial lainnya tak seharusnya menjadikan kita tercerai-berai.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]