Haramkah Pemilu Dalam Demokrasi?
Soal:
Sudah diketahui bahwa memberikan suara untuk demokrasi adalah haram. Namun, ada sejumlah dalil yang orang-orang pikirkan bahwa karena sebab-sebab itu maka dimungkinkan untuk memberikan suara. Di antaranya:
1- Dharar yang lebih ringan dari dua dharar (akhafu adh-dhararayn).
2- Dharurat memperbolehkan apa yang dilarang (adh-dharûrah tubîhu al-mahzhûrât).
Apakah kaidah-kaidah ini bisa untuk sampai pada hukum syar’iy bahwa memberikan suara adalah mubah atau wajib demi kemaslahatan umat?
Jawab:
Dalam Jawab-Soal pada 29/8/2010 seputar kaidah ahwanu asy-syarrayn wa akhafu adh-dhararayn (keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan dan madarat yang lebih ringan di antara dua madarat), di situ dinyatakan:
Kaidah ahwanu asy-syarrayn (keburukan yang lebih rendah di antara dua keburukan) atau akhafu adh-dhararayn (madarat yang lebih ringan di antara dua madarat) adalah kaidah syar’iyyah menurut sejumlah fuqaha. Kaidah ini, menurut sebagian ulama, kembali pada satu makna, yaitu kebolehan melakukan satu dari dua perbuatan yang diharamkan, yang lebih kecil keharamannya. Ini jika orang mukallaf tidak mampu kecuali harus melakukan salah satu keharaman itu dan dia tidak mungkin meninggalkan keduanya sekaligus. Sebabnya, hal itu terhalang, yakni di luar kemampuan dilihat dari semua aspek. Allah SWT berfirman:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ ٢٨٦
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
Allah SWT juga berfirman:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦
Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian (QS at-Taghabun [64]: 16).
Artinya, kaidah ini menurut pendapat sebagian ulama, tidak diterapkan kecuali jika terhalang dari menahan diri dari dua keharaman itu. Artinya, tidak mungkin meninggalkan dua keharaman itu sekaligus, kecuali dengan terjadinya keharaman yang lebih besar. Karena itu ketika itu diambil dharar yang lebih ringan dari dua dharar tersebut. Para ulama itu tidak menjadikan penentuan dharar yang lebih ringan di antara dua dharar itu menurut hawa nafsu, tetapi menurut hukum-hukum syariah.
Di antara contoh yang disebutkan oleh para ulama untuk penerapan kaidah ini: Jika seorang ibu kesulitan melahirkan dan tidak mampu menyelamatkan ibu dan janin sekaligus, dan perkaranya memerlukan keputusan cepat: menyelamatkan ibu (dan ini mengakibatkan kematian janin) atau menyelamatkan janin (dan ini mengakibatkan kematian si ibu). Jika perkaranya dibiarkan dan tidak dikorbankan salah satu dari keduanya untuk menyelamatkan yang lainnya, atau membiarkan kehidupan salah satu dengan kematian yang lainnya, maka hal itu menyebabkan kematian keduanya. Dalam semisal kondisi ini dikatakan ahwanu asy-syarrayn (keburukan yang lebih rendah di antara dua keburukan), atau aqallu al-harâmayn (keharaman yang lebih kecil di antara dua keharaman), atau akhafu al-mafsadatayn (mafsadat yang lebih ringan di antara dua mafsadat). Artinya, yang dikedepankan perbuatan menyelamatkan yang dituntut penyelamatannya yaitu ibu, meskipun perbuatan ini sendiri berarti membunuh yang lain (janin).
Tentu tidak berlaku penerapan kaidah tersebut kepada seseorang yang dihadapkan pada dua perkara yang haram. Lalu dia melakukan yang lebih ringan di antara keduanya. Padahal dia mampu menahan diri dari keduanya sekaligus. Ini seperti ucapan orang yang mengatakan: Pilihlah si fulan, meski dia seorang sekuler yang kafir atau faasid. Atau dikatakan: dukunglah si fulan dan jangan dukung yang lainnya karena yang pertama membantu kita, sementara yang kedua tidak membantu kita. Atau contoh lain semacam itu.
Tentu tidak demikian. Yang justru harus dikatakan di sini: Sungguh dua perkara yang dipaparkan di depan kita adalah haram. Jadi tidak boleh kita memilih seorang sekuler dan tidak boleh mewakilkan atau mengangkat dia untuk mewakili kaum Muslim dalam pendapat. Sebabnya, dia tidak berpegang dengan Islam, juga karena dia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan yang tidak diperbolehkan bagi orang yang mewakilkan untuk melakukan itu, seperti membuat hukum, menyetujui proyek-proyek yang diharamkan, menuntut dan menerima yang haram, dll. Singkatnya, ia melarang yang makruf dan memerintahkan yang mungkar. Oleh karena itu, tidak boleh memilih satu pun dari mereka berdua; karena memilih yang ini ataupun yang itu adalah haram. Faktanya, membiarkan untuk memilih yang ini atau yang itu ada dalam kemampuannya.
Adapun adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât aw al-muharramât (darurat itu memperbolehkan apa saja yang dilarang atau yang diharamkan) maka sebelumnya kami telah menjawab hal itu pada 26/1/2016. Di situ dinyatakan:
Sebagian ulama memang mengambil kaidah “adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât”. Mereka yang mengambil kaidah ini berdalil dengan dalil-dalil semisal firman Allah SWT:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
Sungguh Allah hanya mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Namun, siapa saja yang dalam keadaan terpaksa (memakannya), sementara dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa bagi dirinya. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Baqarah [2]: 173).
فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣
Siapa saja yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Maidah [5]: 3).
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ١١٥
Sungguh Allah hanya mengharamkan atas kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa saja yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Namun, siapa saja yang terpaksa memakannya tanpa berbuat aniaya dan tidak pula melampaui batas, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS an-Nahl [16]: 115).
Orang yang meneliti kaidah ini akan memahami dengan jelas bahwa kaidah ini tidak benar. Dalil-dalil yang digunakan mereka yang mengambil kaidah ini tidak menunjukkan pada pendapat mereka. Paling jauh yang ditunjukkan oleh dalil-dalil itu adalah kebolehan pada saat keterpaksaan untuk memakan bangkai dan semisalnya disebabkan kelaparan. Dinyatakan:
فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ ٣
Siapa saja yang terpaksa karena kelaparan (QS al-Maidah [5]: 3).
Al-Mahmashah adalah kelaparan dan kelaparan itu dekat dengan kebinasaan. Pada saat itu seseorang boleh memakan yang haram. Keterpaksaan itu seperti yang jelas di dalam ayat tersebut dibatasi dengan kelaparan dan tidak lebih dari itu. Jadi lafalnya bukan bersifat umum atau mutlak sehingga madlûl (konotasi)-nya bisa menjangkau lebih dari itu. Lafalnya adalah muqayyad (dibatasi) dengan kelaparan.
Atas dasar itu, kaidah ini tidak benar untuk diterapkan berdasarkan keumuman seperti yang dinyatakan oleh mereka yang mengambil kaidah ini. Yang benar, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil yang dijadikan sandaran oleh mereka yang mengambil kaidah ini, adalah bahwa ada rukhshah bagi seorang Muslim untuk memakan atau meminum apa yang diharamkan oleh Allah berupa makanan/minuman yang haram pada kondisi keterpaksaan. Tidak menunjukkan selain itu. Rukhshah pada saat darurat pada kondisi-kondisi lain memerlukan dalil-dalil lainnya.
Penting disebutkan bahwa kaidah ini pada masa kita ini menjadi tunggangan untuk menghalalkan semua yang diharamkan. Mereka menjadikan kata adh-dharûrât sebagai kata yang longgar, yang di bawahnya masuk banyak perkara sesuai dengan penafsiran mereka, yang jadi pandangan mereka. Akibatnya, banyak orang terjatuh pada yang haram atas nama adh-dharûrah! ([16 Rabiul Akhir 1437 H – 26 Januari 2016 M).
Perkara tersebut telah dirinci di dalam Jawab-Soal tersebut. Anda dapat merujuk padanya.
Jelas bahwa kaidah itu tidak tepat berlaku pada kebolehan Pemilu demokrasi saat ini dan tugas-tugasnya dalam pensyariatan hukum oleh manusia dan kepercayaan pada hukum kufur.
Demikian juga kami telah menjawab secara rinci pada 03 Februari 2016 dan pada 19 Juni 2022 tentang hukum berpartisipasi dalam Pemilu. Anda dapat merujuk pada Jawab-Soal tersebut. Semoga di dalamnya ada kecukupan.
WalLâh a’lam wa ahkam.
[Disarikan dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 18 Dzul Qa’dah 1445 H/26 Mei 2024 M]
Sumber:
- https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/95755.html
- https://www.facebook.com/AtaabuAlrashtah.HT/posts/296199243562581