Opini

Belum Merdeka Seutuhnya

Tidak terasa, sudah 79 tahun lalu, tepatnya 17 Agustus 1945, negeri ini merdeka dari penjajahan fisik yang dilakukan oleh negara-negara kolonialis. Umat Islam, yang merupakan mayoritas di negeri ini, tentu patut bersyukur atas anugerah kemerdekaan ini.

Namun demikian, sangat disayangkan, kemerdekaan seolah dipahami oleh bangsa ini semata-mata sebagai keterbebasan negeri ini dari penjajahan secara fisik. Akibatnya, penjajahan non-fisik yang berakar pada Kapitalisme global sering tidak disadari sebagai bentuk penjajahan. Padahal penjajahan non-fisik—dalam wujud dominasi Kapitalisme global—ini jauh lebih berbahaya daripada penjajahan fisik. Mungkin, ini karena penjahan fisik lebih banyak memakan korban jiwa sehingga kesannya lebih tragis dan dramatis. Sebaliknya, penjajahan non-fisik, karena tidak secara langsung memakan korban jiwa, kesannya tidak setragis dan sedramatis penjajahan fisik. Padahal penjajahan non-fisik dalam wujud dominasi Kapitalisme global ini juga telah menimbulkan penderitaan yang luar biasa bagi bangsa ini khususnya, dan umat manusia di dunia umumnya; selain memakan korban jiwa yang terbunuh secara pelan-pelan.

Secara de jure negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, memang sudah dinyatakan merdeka. Ini karena kaum penjajah telah lama meninggalkan negeri kaum muslim. Namun, secara de facto, pemikiran, mindset dan cara pandang penjajah itu tetap dipertahankan, terutama oleh para penguasa dan elite-elite politiknya. Bahkan mereka mengundang penjajah itu untuk mengangkangi dan mengeruk kekayaan negeri mereka atas nama “investasi” dan sebagainya.

Belum lagi jika kemerdekaan diukur dengan kemandirian bangsa ini terhadap campur tangan dan intervensi kapitalis dalam berbagai bidang. Di antaranya: Pertama, bidang hukum. Hukum yang berlaku di Indonesia masih sekuler. Penjajah Belanda diusir, namun sebagian hukumnya tetap dipakai dan dilestarikan. Kedua, bidang ekonomi. Beban utang Indonesialebih dari lebih dari 8000 triliun. Bahkan para pejabat Indonesia terus menyerahkan banyak sekali SDA Indonesia dijerat utang luar negeri. Ketiga, bidang perundang-undangan. Pembuatan perundang-undangan tidak lepas dari campur tangan asing.

Indonesia sesungguhnya memiliki potensi mendatangkan era baru, yakni sebuah era yang mampu mewujudkan kemakmuran bagi bangsa-bangsa di Asia, bahkan dunia. Hal ini bisa diwujudkan tatkala Indonesia mempunyai daya tawar dan posisi yang kuat dalam politik luar negeri (Polugri)-nya. Dengan Polugri yang kuat, Indonesia bisa memainkan perannya dalam ikut menata percaturan politik dan ekonomi kawasan, bukan justru menjadi ‘pengekor’ kebijakan Polugri negara lain atau atau kepentingan asing.

Dalam konteks ini, Islamlah yang akan membebaskan manusia dari penjajajahan sistem Kapitalisme global. Islam, dengan sistem Khilafahnya, juga berfungsi sebagai sarana pembebasan umat manusia dari penjara negara-bangsa saat ini yang eksploitatif. Ini karena Khilafah merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah dan mengemban risalah Islam sebagai rahmat ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad.

Khilafah, atas seizin Allah, akan menyaingi, bahkan menghancurkan hegemoni negara-negara besar dan mencabut kepemimpinan mereka atas umat manusia. Selanjutnya, Khilafah akan memimpin umat manusia ke keadaan yang paling baik dan berada dalam naungan ridha Allah SWT. [Anggi Suharnadi]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one + 7 =

Check Also
Close
Back to top button