
Hina Simbol Suci Dengan AI?
Jagat maya kembali geger. Sebuah video yang menampilkan Ka’bah dihiasi simbol pelangi mendadak viral. Simbol yang erat kaitannya dengan gerakan LGBTQ+ ini tak hanya dianggap kontroversial, tetapi juga melecehkan kesucian tempat paling suci bagi umat Islam. Video tersebut diduga dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI). Meski belum jelas siapa pelakunya, respon netizen sangat keras: mengutuk dan menuntut tindakan.
Fenomena ini bukan sekadar urusan digital. Ia menjadi simbol konflik ideologis yang lebih dalam: antara teknologi dan moralitas, antara kebebasan dan kehormatan, antara kapitalisme dan Islam. Inilah realitas dunia modern—teknologi canggih di tangan manusia yang kehilangan arah.
Teknologi memang pedang bermata dua. Perkembangan AI sangat pesat. Ia bisa menciptakan gambar, suara bahkan video yang sulit dibedakan dari kenyataan. Deepfake, voice cloning dan model generatif membuat siapa pun mampu merekayasa apa pun. Jika berada di tangan orang yang salah, AI bisa menjadi senjata. Bukan hanya untuk penipuan, tetapi juga untuk menghina keyakinan, menyebar hoaks, hingga menciptakan kekacauan sosial.
Pangkal persoalan bukan hanya soal teknologi, tetapi soal cara pandang yang mengiringinya. Dalam sistem kapitalisme, “bebas sebebas-bebasnya” menjadi doktrin abadi. Selama menghasilkan profit atau popularitas, apa pun dianggap sah. Termasuk menista simbol agama, mengejek Nabi, atau merusak nilai sakral.
AI dalam dunia kapitalis bukan alat untuk membangun peradaban, melainkan alat industri hiburan dan propaganda. Konten kontroversial yang viral, sekalipun merusak, dianggap “bernilai” karena mampu memonetisasi atensi. Ini bukan sekadar masalah kode digital, tetapi kerusakan sistemik dalam moralitas manusia modern.
Islam tidak anti teknologi. Justru dalam sejarahnya, Islam adalah peradaban ilmu pengetahuan. Nama-nama seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan Al-Zahrawi adalah pionir teknologi dan kedokteran dunia. Namun, Islam membungkus kemajuan teknologi dalam etika wahyu. AI bukan untuk melecehkan agama, tetapi untuk menguatkan dakwah, mempercepat keadilan dan menebar manfaat.
Islam juga punya mekanisme kontrol sosial yang tidak dimiliki kapitalisme. Seorang Muslim diajarkan merasa diawasi oleh Allah. Ini adalah sensor internal. Bukan sekadar sanksi eksternal. Ditambah, Negara Islam (Khilafah) bertindak sebagai junnah (perisai). Ia bukan hanya memberi sanksi; tetapi mendidik, mencegah dan menutup celah kerusakan sejak awal.
Dalam sistem Khilafah, media adalah instrumen syiar, bukan senjata kapital. Islam tidak membiarkan simbol agama menjadi bahan olok-olok, apalagi melalui sarana teknologi. Pelecehan agama adalah kejahatan besar. Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menjatuhkan hukuman keras kepada penista Nabi. Sultan Abdul Hamid II bahkan membatalkan pertunjukan teater di Prancis yang berbau penghinaan terhadap Rasul saw., hanya melalui nota diplomatik keras.
Maka dari itu, hanya sistem Islam yang mampu menjawab tantangan ini. Teknologi harus disambut, tetapi diarahkan dalam koridor kebenaran. Kebebasan harus dijaga, tetapi dikawal iman dan hukum Allah. [Endah Sulistiowati (Direktur Muslimah Voice)]