Pengantar – Edisi Februari 2018
Assalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh
Pembaca yang budiman, Pemilukada kembali digelar. Rakyat kembali diajak berpesta. Itulah pesta demokrasi. Layaknya sebuah pesta, tentu butuh biaya. Biayanya pasti sangat besar. Bahkan tidak ada satu pesta pun di dunia ini yang biayanya bisa mengalahkan pesta demokrasi. Puluhan triliun digelontorkan oleh Pemerintah untuk Pemilukada. Itu belum termasuk triliunan uang yang dikeluarkan dari saku para pasangan calon (paslon) kepala daerah atau sponsor mereka.
Lalu apa hasilnya setelah pesta demokrasi usai? Tentu lahirnya para kepala daerah yang baru. Apa kentungannya bagi rakyat? Nyaris tidak ada. Kemiskinan tak berkurang. Pengangguran tetap bertambah. Harga kebutuhan pokok makin melejit. Biaya pendidikan dan kesehatan makin mahal. Utang luar negeri makin meningkat. Pajak makin mencekik. Biaya hidup makin mahal. Singkatnya, kehidupan makin terasa sempit.
Mengapa semua itu bisa terjadi? Bukankah, -sebagaimana kepala negara, para kepala daerah itu—juga para wakil rakyat—dipilih oleh rakyat secara langsung? Lalu mengapa mereka tidak berpihak kepada rakyat yang memilih mereka? Mengapa rakyat acapkali hanya disapa saat Pemilu tetapi kemudian dicampakkan setelah mereka berhasil meraih kursi kekuasaan? Ya, itulah realitas demokrasi. Ironi. Penuh kepalsuan. Menghasilkan banyak keburukan, bukan kebaikan.
Karena itulah, tentu amat penting bagi kaum Muslim untuk menyadari betul kerusakan sistem demokrasi. Apalagi demokrasi nyatanyata mengesampingkan peran Allah SWT (baca: syariah) dalam mengatur kehidupan. Saatnya demokrasi di buang ke tong sampah. Saatnya umat bergerak untuk memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Itulah, dengan izin Allah SWT, yang bisa mendatangkan keberkahan kepada kita di dunia dan keridhaan-Nya di akhirat.
Di seputar itulah tema utama al-waie kali ini, selain sejumlah tema menarik lainnya. Selamat membaca!
Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh