Soal Jawab

Bagaimana Mengadili Penguasa Zalim?

Soal:

Bagaimana cara mengadili penguasa yang zalim dan jahat? Bagaimana hukuman yang harus dijatuhkan kepada dirinya?

 

Jawab:

Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana mentaati penguasa kaum Muslim. Islam juga mengajarkan bagaimana cara menasihati penguasa zalim, bahkan menghentikan kekuasaannya dan mengadili dirinya.

Nas-nas yang mewajibkan ketaatan kepada penguasa kaum Muslim jumlahnya sangat banyak, baik al-Quran, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat. Allah SWT, misalnya, berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا  ٥٩

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir. Yang demikian lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisa’ [4]: 59).

 

Nabi saw. bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ الله وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ أَطَاعَ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى الأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي

Siapa saja yang mentaati aku, dia benar-benar telah mentaati Allah. Siapa saja yang tidak mentaati aku, dia pun tidak mentaati Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinnya,  dia benar-benar telah mentaati aku. Siapa saja yang tidak mentaati pemimpinnya, dia pun tidak mentaati aku (HR Ibn Hibban, dari Abu Hurairah).

 

Hanya saja, selain nas-nas syariah yang memerintahkan untuk mentaati penguasa, syariah juga membatasi ketaatan itu dalam perkara ketaatan, bukan mentaati dalam perkara maksiat. Nabi saw. bersabda:

لاَ طاَعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَّةِ الخَالِقِ

Tidak ada ketaatan kepada makluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah) (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dari an-Nawas as-Sam’ani al-Anshari dalam Syarh as-Sunan; Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhriij Siyar al-A’lam an-Nubala’. Statusnya shahiih).

 

Kemaksiatan yang dilakukan oleh penguasa itu bisa dikategorikan menjadi dua: Pertama, menyalahi sesuatu yang qath’i, baik yang terkait dengan akidah maupun hukum syariah. Kedua, menyalahi kaidah hukum yang dia adopsi sehingga hukum yang diadopsi sebagai perundang-undangan tidak bisa dianggap sebagai hukum syariah bagi dirinya. Maka, baik dalam konteks yang pertama maupun kedua, dia sama-sama tidak boleh ditaati.

Perundang-undangan yang diadopsi penguasa itu bisa dibagi  menjadi dua: Pertama, perundang-undangan syariah (qawaaniin syar’iyyah). Dalam konteks ini penguasa tidak boleh mengadopsi perundang-undangan yang lain, selain perundang-undangan yang bersumber dari syariah, bukan yang lain. Kedua, perundang-undangan administrasi (qawaaniin ijraa’iyyah), seperti peraturan lalu lintas, kependudukan, dan sebagainya. Ini merupakan masalah usluub yang bersifat mubah. Dalam konteks ini penguasa bisa mengadopsi sistem dari mana saja, selama mubah. Meski hukum asalnya mubah, mentaati penguasa dalam konteks ini hukumnya wajib.

Lalu, bagaimana jika penguasa tersebut melakukan maksiat, baik dalam konteks yang pertama maupun yang kedua? Jawabannya sebagai berikut:

Pertama, jika kemaksiatan itu terkait dengan masalah akidah atau hukum syariah yang qath’i, maka kemaksiatan ini bisa mengantarkan dirinya pada kekufuran yang nyata. Ini sebagaimana yang terjadi ketika Kemal Attaturk membubarkan Khilafah Islam di Turki. Dalam konteks ini berlaku hadis berikut:

دَخَلْنا علَى عُبَادَةَ بنِ الصَّامِتِ وهو مَرِيضٌ قُلْنا: رأصْلَحَكَ اللهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللهُ به سَمِعْتَه مِنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قال: دعانا النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم فَبايَعْنَاهُ فقالَ: فِيما أخَذَ عَلَيْنا: أنْ بَايَعْنا عَلَى السَّمْعِ والطَّاعَةِ في مَنْ شَطِنا ومَكْرَهِنا وعُسْرِنا ويُسْرِ وأَثَرَةً عَلَيْنا وأَنْ لا نُنازِعَ الأمْرَ أهْلَهُ إلَّا أنْ تَرَوْا كُفْرًا بَواحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فيه بُرْهانٌ

Kami pernah menjenguk ‘Ubadah bin Shamit ketika beliau sedang sakit. Kami berkata, “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Ceritakanlah hadis yang Allah jadikan manfaat bagi dirimu, yang pernah engkau dengar dari Nabi saw.” Beliau pun berkata: Nabi saw. pernah memanggil kami. Kami pun membaiat beliau. Lalu beliau bersabda mengenai apa yang beliau ambil dari kami: Hendaknya kami  membaiat beliau untuk mendengar dan taat, baik dalam kondisi senang maupun tidak, baik dalam kondisi susah maupun lapang. Juga [ketika penguasa] mengutamakan dirinya atas kami. Hendaknya kami tidak merebut urusan itu dari yang berhak [penguasa], kecuali [kata Nabi],  “Jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai bukti yang kuat di hadapan Allah.” (HR al-Bukhari dari Ubadah bin Shamit).

 

Dalam konteks ini, yaitu ketika negara tersebut negara Islam (Khilafah), kemudian penguasanya melakukan revolusi kufur, sebagaimana yang dilakukan Attaturk, yang sudah terbukti kekufurannnya berdasarkan nas yang qath’i, maka Islam mengajarkan cara untuk menghentikan dirinya, sebagaimana dalam hadis ini:

خِيارُ أئمَّتِكُمُ الَّذينَ تحبُّوَنهم ويحبُّونَكُم وتُصلُّونَ عَلَيهِم وتُصَلُّونَ عليهم وشرارُ أئمَّتِكُمُ الَّذينَ تبغَضوَنهم ويبغَضونَكُم وتَلعنوَنكم ويَلعنونَكُم، قيلَ: يا رسولَ اللهِ أفلا نُنابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ، فقالَ: لا، ما أقامُوا فِيكُمُ الصَّلاةَ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tidak boleh mengangkat pedang untuk menghentikan mereka?” Nabi menjawab, “Tidak. Selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim dari Auf bin Malik al-Asyja’i).

 

Makna, “Maa aqaamu fiikum as-shalaah” itu adalah selama mereka masih menegakkan hukum syariah. Ini merupakan bentuk kinaayah (kiasan). Jika diartikan dengan konotasi sesungguhnya, berarti, “Selama mereka masih mendirikan shalat.” Jika diartikan kiasan, maka artinya, “Selama mereka masih menegakkan hukum syariah”. Jika tidak, maka mereka boleh dihentikan. Inilah cara yang dinyatakan dalam hadis.

Selain cara ini, ada cara yang dinyatakan dalam al-Quran, diambil dari dalaalah mafhuum atau dalaalah iltizaam. Perhatikan firman Allah SWT:

فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا  ٥٩

Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir. Yang demikian lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya (QS an-Nisa’ [4]: 59).

 

Nas “Fa in tanaaza’tum fii syay’in fa rudduuhu IlaalLaah wa ar-Rasuul” diikuti dengan redaksi “In kuntum tu’minuuna bilLaahi wa al-Yawmi al-Aakhiri”. Artinya, dalam kondisi terjadi perselisihan antara penguasa dengan rakyat, wajib dikembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, yakni kembali pada al-Quran dan as-Sunnah. Untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah itu dibutuhkan instrumen, berupa individu atau lembaga Tahkiim (yang memutuskan). Karena itu perintah ini sekaligus menuntut adanya individu atau lembaga Tahkiim. Sebab, jika tidak ada, maka perintah ini tidak bisa dieksekusi. Ini namanya dalaalah iltizaam. Nah, individu atau lembaga Tahkiim inilah yang kemudian disebut Qadhi atau Mahkamah Mazhalim.1

Ini dengan catatan, jika Qadhi atau Mahkamah Mazhalim tersebut berfungsi. Jika tidak maka cara yang dinyatakan dalam hadits Muslim dari Auf bin Malik al-Asyja’i itu bisa ditempuh. Itulah yang pernah dilakukan oleh Sayidina ‘Abdullah bin Zubair ra. dan Sayidina Husain bin ‘Ali ra.

Qadhi Mazhalim pada zaman Khilafah Islam biasanya dijabat langsung oleh Khalifah. Hanya saja, Umar bin al-Khatthablah khalifah pertama yang mengangkat orang khusus untuk melakukan tugas memeriksa aduan dari rakyat yang disampaikan kepada Khalifah. Orang itu adalah Muhammad bin Maslamah.2 Setelah terbukti maka Umar sendiri yang menjadi eksekutornya. Inilah kata-kata Umar:

أيُّماَ عَامِلٍ لي ظَلَمَ أحَدًا فَبَلَغَتْنِي مَظْلَمَتُهُ فَلَمْ أغَيِّرْهَا فَأَنَا ظَلَمْتُهُ

Siapa saja pejabatku yang melakukan kezaliman kepada seseorang, kemudian kezalimannya sampai kepada diriku, tetapi aku tidak mengubahnya, maka sungguh aku telah mezalimi dirinya.3

 

Bentuk-bentuk kezaliman yang dilakukan oleh penguasa, dari seluruh level, mulai dari level kepala negara sampai pejabat yang paling bawah, dijelaskan oleh al-Mawardi ada delapan kategori:4

  • Kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa kepada rakyat secara umum.
  • Kezaliman penguasa dalam mengambil harta rakyat melebihi ketentuan yang berlaku.
  • Kezaliman penguasa akibat buruknya implementasi terhadap batas-batas kewenangan yang dimiliki.
  • Kezaliman penguasa akibat mengambil, merampas atau menggasak harta kepemilikan, baik individu, umum atau negara.
  • Kezaliman penguasa mengambil, merampas atau menggasak harta wakaf, baik umum maupun khusus.
  • Kezaliman penguasa akibat kelemahannya dalam mengeksekusi keputusan pengadilan, karena harus menghadapi para pihak yang memiliki kekuatan.
  • Kezaliman penguasa akibat kelemahannya dalam menindak kemaksiatan yang merajalela, yang tidak bisa dihentikan oleh Hisbah.
  • Perselisihan yang melibatkan dua pihak, yaitu penguasa dan rakyat.

 

Semua kezaliman ini bisa dihentikan dan pelakunya bisa dihukum. Jika terkait dengan hak anak Adam dan hak Allah, sebagaimana putra ‘Amru bin al-Ash yang memukul lawan tandingnya, maka ‘Umar memerintahkan korbannya untuk membalas pukulannya. Ketika terkait dengan harta  maka harta yang diambil penguasa, baik itu melalui korupsi, gratifikasi maupun yang lain, harus dikembalikan kepada pemiliknya. Begitu juga jika terkait dengan nyawa maka penguasa dan siapa saja yang terlibat dalam menghilangkan nyawa rakyatnya wajib dijatuhi hukuman qishaash.

Ini semuanya bisa diterapkan jika ada sistem Islam yang dilaksanakan secara kaaffah. Jika tidak ada maka kewajiban pertama adalah menegakkan sistem tersebut (yakni Khilafah Islam). Dengan itu semuanya itu bisa dilaksankaan dengan sempurna. WalLaahu a’lam. [KH Hafidz Abdurrahman, MA]

 

Catatan kaki:

1        Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 80-83; Ibn Farkhun, Tabshiratu al-Hukkam fi Ushul al-Aqdhiyyah wa Manahij al-Ahkam, Dar al-Qalam, Damaskus, cet. II, 1442 H/2021 M, Juz I, hal. 149-150; ‘Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fi as-Syari’ah al-Islamiyyah, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cet. III, 1418 H/1997 M, hal. 253-258; al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. , hal.

2        ‘Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fi as-Syari’ah al-Islamiyyah, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cet. III, 1418 H/1997 M, hal. 256.

3        Ibn Sa’ad, at-Thabqat al-Kubra, Juz XV, hal. 220; ‘Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fi as-Syari’ah al-Islamiyyah, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cet. III, 1418 H/1997 M, hal. 257.

4        Lihat, Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 80-83; ‘Abd al-Karim Zaidan, Nidzam al-Qadha’ fi as-Syari’ah al-Islamiyyah, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cet. III, 1418 H/1997 M, hal. 255-258.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen − one =

Check Also
Close
Back to top button