Siyasah Dakwah

Transisi Kekuasaan Dalam Islam

Pentingnya kekuasaan sangat disadari oleh Rasulullah saw. Oleh karena itulah, sejak awal, beliau berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuasaan (sulthân). Bukan sembarang kekuasaan. Namun, kekuasaan yang bisa menolong agama-Nya (sulthân[an] nashîrâ). Allah SWT berfirman:

وَقُل رَّبِّ أَدۡخِلۡنِي مُدۡخَلَ صِدۡقٖ وَأَخۡرِجۡنِي مُخۡرَجَ صِدۡقٖ وَٱجۡعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلۡطَٰنٗا نَّصِيرٗا  ٨٠

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, keluarkan aku dengan cara keluar yang benar dan berilah aku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS al-Isra’ [17]: 80).

 

Berkaitan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh, dengan mengutip Qatadah ra., menyatakan: “Sungguh Nabi Muhammad saw. menyadari bahwa Beliau tidak punya daya/kekuatan untuk menegakkan agama ini (Islam), kecuali dengan kekuasaan. Oleh karena itulah, beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong Kitabullah (al-Quran), melaksanakan hudud Allah, menunaikan berbagai kewajiban dari Allah, dan menegakkan agama Allah (Islam). Sungguh kekuasaan adalah rahmat yang Allah berikan kepada para hamba-Nya. Andai bukan karena kekuasaan tersebut, orang-orang bisa saling menyerang (menzalimi) satu sama lain sehingga pihak yang kuat bisa memangsa pihak yang lemah.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 5/111).

Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir tersebut bisa disimpulkan bahwa ada dua fungsi kekuasaan yang utama. Pertama: Untuk menegakkan agama Islam. Inilah yang sekaligus menjadi motif utama Rasulullah saw. untuk meminta kekuasaan kepada Allah SWT. Faktanya, ketika pada akhirnya Rasulullah saw., benar-benar menjadi penguasa (kepala negara) Daulah Islam di Madinah, kekuasaan beliau benar-benardiorientasikan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Kedua: Untuk mengurus berbagai urusan dan kepentingan masyarakat. Tentu dengan menggunakan syariah Islam. Inilah yang juga dipraktikkan oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa (kepala negara). Dengan itu, semua warga negara (Muslim maupun non-Muslim) terurus dan terayomi dengan baik. Tidak ada yang berani saling menzalimi. Tidak ada pihak yang kuat memangsa pihak yang lemah.

Kedua fungsi kekuasaan inilah yang diwariskan oleh Rasulullah saw. kepada para sahabat penggantinya (Khalifah) dari mulai Khulafaur Rasyidin sampai para khalifah pada masa Kekhalifahan Bani Umayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Transisi kekuasaan dari Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin hingga ke era Kekhilafahan Islam setelahnya relatif berlangsung dengan baik. Semua pihak, baik rakyat maupun penguasa, dalam posisi ikhlas dan ridha ketika memimpin ataupun dipimpin. Semuanya karena semata-mata komitmen pada penegakan agama Islam dan pengurusan berbagai urusan dan kepentingan masyarakat dengan syariah-Nya.

 

Jaminan Stabilitas

Sistem Islam membangun paradigma dan pondasi kekuasaan dan pelaksanaan ri’aayah (pengurusan) masyarakat dengan sangat sempurna, elegan dan tidak menimbulkan resistensi dan iritasi pada rakyat dan penguasa berikutnya. Hal ini tentu akan menjadikan pelaksanaan roda pemerintahan akan berlangsung stabil. Jaminan stabilitas ini terjadi ketika sistem yang baik (syariah Islam) dikendalikan oleh penguasa yang baik (bertakwa). Dengan itu  semua kebijakan penguasa berada dalam kontrol yang sama, yakni hukum syariah yang menjadikan setiap jengkal penyimpangan akan senantiasa diluruskan, dan kebaikan akan semakin kuat dan terjaga.

Dalam sistem apapun, guncangan, konflik, atau perbedaan pendapat pasti ada. Ruang tersebut dimungkinkan muncul karena kita sedang memimpin manusia. Mereka tentu memiliki beragam pendapat, keinginan dan harapan. Mereka juga adalah makhluk yang tidak luput dari dosa dan kesalahan.

Namun demikian, semuanya bisa reda, kemudian kembali stabil karena semua pihak tunduk pada hukum syariah yang menjadi panglima dalam mengatasi berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

 

Prinsip Penting Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan dalam Islam dapat tegak dengan paripurna dengan memegang teguh prinsip-prinsip sbb:

 

  1. As-Siyaadah li asy-Syar’i.

As-Siyaadah atau kedaulatan dalam Islam adalah di tangan syariah. Bukan di tangan umat. Dengan demkian yang menangani dan mengendalikan aspirasi individu adalah syariah. Bukan individu itu sendiri dengan sesukanya. Berkaitan dengan kedaulatan ini, Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, juga ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikan ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

Makna “kembalikan ia kepada Allah dan Rasul-Nya” adalah “kembalikan pada syariah Islam”.

Dengan demikian yang berkuasa di tengah-tengah umat dan individu, serta yang menangani dan mengendalikan aspirasi umat dan individu, adalah Syariah Islam.

 

  1. As-Sulthaan li al-Ummah.

Syariah telah menjadikan pemilihan dan pengangkatan khalifah adalah kewenangan umat. Dengan itu seorang khalifah hanya memiliki kekuasaan melalui baiat umat. Dalil bahwa syariah telah menjadikan pemilihan dan pengangkatan khalifah adalah dilakukan oleh umat tegas sekali di dalam hadis-hadis tentang baiat.

 

  1. Hukum Syariah sebagai Patokan.

Khalifah dalam sistem Khilafah dibaiat untuk melaksanakan semua hukum syariah dalam semua aspek kehidupan (pendidikan, ekonomi, hukum, pergaulan, sosial budaya, pemerintahan, keamanan dalam dan luar negeri, dll).Dengan demikian semua kebijakan Khalifah bukan semata kebijakannya an sich, melainkan dipandu oleh al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber syariah Islam.

Dengan menjadikan hukum syariah sebagai standar atau patokan dalam pelaksanaan kekuasaan seorang khalifah akan tercegah dari melakukan tindakan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), berbuat sewenang-wenang, menyelisihi syariah Islam, bahkan berbuat zalim pada rakyat.

Semua pihak bisa mengontrol pelaksanaan pemerintahan oleh khalifah dan jajarannya secara transparan dan terbuka. Jika ditemui penyimpangan akan segera diluruskan dengan mekanisme amar makruf nahi mungkar. Bahkan ketika terjadi perbedaan pendapat yang melibatkan penguasa dan rakyat, maka mekanisme baku akan berjalan. Tidak lain dengan mengembalikan perbedaan dan perselisihan tersebut pada hukum syariah. Ini adalah solusi terbaik dan jalan keluar efektif untuk mengatasi berbagai masalah yang diperselisihkan dan perdebatkan di tengah mereka (Lihat: Qs an-Nisa’ [4]: 59).

 

  1. Kekuasaan adalah Amanah untuk Menegakkan Islam.

Kekuasaan hakikatnya adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia, sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Nabi saw. bersabda,

أَوَّلُ الإِمَارَة مَلامَةٌ، وثانِيهَا نَدَامَةٌ، وثالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلا مَنْ رَحِمَ وَعَدَلَ

Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada hari kiamat; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil (HR Ath-Thabarani).

 

Karena kekuasaan adalah amanah, Nabi saw. mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyat. Beliau bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ الله رَعِيَّةً، يَمُوْتُ يَوْمَ يَموُتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari ia mati, sedangkan ia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya surga (HR al-Bukhari).

 

Oleh karena itulah, kaum Muslim diperintahkan oleh Allah SWT agar memberikan amanah—terutama amanah kekuasaan—kepada orang yang benar-benar layak. Tentu layak berdasarkan kategori-kategori syariah. Di antara bukti kelayakannya adalah memiliki sifat adil, yakni mau menegakkan syariah Islam atas dirinya dan rakyatnya.

 

  1. Ketakwaan Rakyat dan Penguasa.

Rasulullah saw., sebagai kepala Negara Islam, senantiasa memilih dan mengangkat para pejabat yang paling istimewa dalam hal keimanan dan ketakwaannya, selain tentu yang dipandang paling mumpuni dalam hal profesionalitasnya. Contohnya, Abu Bakar ra. dan Umar bin al-Khaththab ra. Kedua Sahabat ini jelas tidak diragukan lagi dalam hal keimanan dan ketakwaannya. Keduanya diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai pembantu beliau dalam urusan pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda:

وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَاي مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ

Pembantuku dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail. Adapun pembantuku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar (HR at-Tirmidzi).

 

Dalam Islam, meski penguasa dan pejabat adalah orang-orang pilihan, mereka tetap perlu senantiasa dibimbing dan diarahkan. Tentu agar mereka tidak melenceng dari syariat Islam. Tidak ada yang meragukan keimanan dan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra., misalnya. Namun demikian, saat Rasulullah saw. memilih dan mengangkat Muadz ra. sebagai gubernur di Yaman, beliau tetap menasihati dirinya.

Pasca-Rasulullah saw. wafat, generasi Muslim awal (yakni generasi para sahabat) lalu memilih dan mengangkat penguasa/pemimpin terbaik di antara mereka. Terutama dalam hal keimanan dan ketakwaannya. Mereka berturut-turut adalah Abu Bakar ra., Umar bin al-Khaththab ra., Utsman bin Affan ra., dan Ali bin Abi Thalib ra. Mereka adalah para khalifah terbaik yang disebut sebagai khulafaurasyidin. Para khalifah ini juga memilih dan mengangkat para pejabat negara di bawahnya dari kalangan orang-orang terbaik dalam hal keimanan dan ketakwaan mereka.

 

  1. Muhaasabah li al-Hukkaam.

Dalam Islam, rakyat dan penguasa memiliki kedudukan yang sama di depan syariat. Jika terjadi perselisihan antara mereka, mereka harus tunduk pada hukum Allah SWT (syariah Islam) (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59)

Kebijakan apa pun yang bertentangan dengan syariah adalah kezaliman, baik itu disukai ataupun dibenci rakyat. Ketika harga-harga melambung, para Sahabat mengusulkan kepada Rasulullah saw. untuk mematok harga (tas’îr). Namun, beliau bersabda, ”Aku sungguh berharap kelak akan berjumpa dengan Allah dan tidak ada seseorang pun yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepada dirinya dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta.”

Rasulullah saw., telah menjadikan pematokan harga sebagai sebuah kezaliman. Padahal itu diusulkan/disukai masyarakat. Jika terjadi kebijakan zalim seperti itu, Rasul saw. pun telah menjadikan pemeriksaan atas perkara-perkara tersebut sebagai bagian dari kewenangan Qâdhî Mazhâlim yang akan menyelesaikan sengketa penguasa dengan rakyat berdasarkan syariah.

 

  1. Mahkamah Mazhalim: Solusi Sengketa Penguasa-Rakyat

Sebagai sistem pemerintahan yang paripurna, sistem Khilafah memiliki Mahkamah Mazhalim yang dipimpin oleh seorang Qâdhî Madzâlim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, baik rakyat negara khilafah maupun bukan. Kezaliman tersebut dapat dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara maupun pegawai yang lain.

Tugas dan fungsi Qâdhî Mazhalim adalah menghentikan kezaliman yang dilakukan oleh negara kepada rakyat. Jika ini terkait dengan kebijakan, maka Qâdhî Mazhalim akan membatalkan kebijakan tersebut, seperti pajak, retribusi tol, dan sebagainya. Jika ini terkait dengan sikap atau tindakan semena-mena, maka Qâdhî Mazhalim juga akan menghentikan sikap dan tindakan tersebut. Qâdhî Mazhalim berhak memberhentikan pejabat, pegawai negara, bahkan khalifah jika harus diberhentikan, sebagaimana ketentuan hukum syariah. Demikian pula jika pengangkatan khalifah dianggap tidak sah, maka Qâdhî Mazhalim bisa menghentikan dirinya.

WalLaahu a’lam. [Agus Suryana, S.S., M.Pd. Direktur Lingkar Studi Islam Strategis (LSIS)]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 5 =

Back to top button