Bagaimana Metode Nabi saw. dalam Meraih Kekuasaan?
Soal:
Bagaimana Nabi saw. mendapatkan kekuasaan? Mengapa beliau menolak ketika diberi kekuasaan penduduk Makkah, tetapi menerima ketika diberi kekuasaan oleh penduduk Madinah?
Jawab:
Dalam riwayat Ibn Hisyam, disebutkan tawaran ‘Utbah bin Rabi’ah:
يَا اِبْنَ أَخِي، إِنْ كُنْتَ إِنَّمَا تُرِيْدُ بِماَ جِئْتَ بِه مِنْ هَذَا الأَمْرِ مَالاً جَمَعْنَا لَكَ مِنْ أَمْوَالِنَا حَتَّى تَكُوْنَ أَكْثرنا مَالاً، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ بِهِ شَرَفًا سَوَّدْناك عَلَيْنَا، حَتَّى لاَ نَقْطَعَ أَمْرًا دُوْنَكَ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ بِهِ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا
“Wahai keponakanku, jika dengan apa yang engkau bawa ini, engkau memang menginginkan harta, maka kami akan mengumpulkan harta kami untuk kamu sehingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika dengan itu engkau menginginkan kemuliaan, maka kami akan menjadikan engkau sebagai tuan kami sehingga kami tidak memutuskan perkara tanpamu. Jika dengan itu engkau menginginkan kekuasaan, maka kami akan menjadikan engkau menjadi penguasa bagi kami.” 1
Ketika Nabi saw. menolak tawaran mereka, mereka kemudian menantang beliau:
يَا مُحَمَّدُ، فَإِنْ كُنْتَ غَيْر قَابِلٍ مِنَّا شَيْئًا مِمَّا عَرَضْنَاهُ عَلَيْك… فَسَلْ لَنَا رَبَّكَ الَّذِيْ بَعَثَكَ بِمَا بَعَثَكَ بِهِ، فَلْيُسَيِّرْ عَنَّا هَذِه الْجِبَالَ الَّتِيْ قَدْ ضَيَّقَتْ عَلَيْنَا، وَلْيَبْسُطْ لَنَا بِلَادَنَا…
“Wahai Muhammad, jika engkau tidak mau menerima apapun dari apa yang telah kami tawarkan kepada dirimu, maka mintakanlah kepada Tuhanmu untuk kami, yang telah mengutus engkau dengan membawa apa yang engkau telah diutus dengannya; mintalah Dia untuk memindahkan gunung-gunung ini yang membuat sempit ruang kami; dan mintalah Dia untuk melapangkan untuk kami negeri kami.”2
Peristiwa di atas terjadi setelah Hamzah masuk Islam. Hamzah masuk Islam, menurut Ibn Hajar, pada tahun ke-2 kenabian. Setelah itu Nabi saw. melakukan aktivitas Tafaa’ul Ma’a al-Ummah (interaksi dengan umat).3 Artinya, tawaran ‘Utbah bin Rabi’ah, yang mewakili kaum kafir Quraisy itu disampaikan kepada Nabi saw. pada saat beliau memang menginginkannya. Akan tetapi, mengapa justru Nabi saw. menolak dan tidak menerima tawaran tersebut?
Menjawab pertanyaan ini, Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, Qiraa’ah Siyasiyyah li as-Siirah an-Nabawiyyah, menjelaskan alasannya. Intinya, kekuasaan yang ditawarkan oleh kaum kafir Quraisy itu ditolak oleh Nabi saw. karena mereka tidak mau mengimani risalah beliau. Andai saja kekuasaan itu diterima, kemudian Nabi saw. berkuasa, maka kekuasaan itu tidak akan berguna, karena rakyat yang akan beliau pimpin menolak risalah yang diemban dan diterapkan kepada mereka.4
Sebaliknya, ketika Nabi saw. melalui Baiat ‘Aqabah Kedua, yang melalui baiat ini kaum Aus dan Khazraj memberikan kekuasaan kepada beliau, maka beliau diterima. Itu karena mereka telah memeluk Islam dan menerima risalah beliau untuk diterapkan di tengah-tengah mereka.
Dalam dua tindakan Nabi saw. ini—yang sama-sama mendapatkan tawaran kekuasaan; satu menolak, sedangkan yang lain menerima—tidak menunjukkan adanya ta’arudh (kontradiksi). Sebabnya, ada kondisi yang berbeda, yang menyebabkan yang satu ditolak, sedangkan yang lain diterima.
Dengan demikian kondisi—yang bisa kita sebut sebagai Sifat Mundhabithah (sifat yang mengikat), yang karenanya hukum menerima atau menolak tersebut ada—itu bisa kita sebut sebagai ‘Illat (alasan hukum) di balik penolakan dan penerimaan Nabi saw. terhadap kekuasan yang ditawarkan kepada beliau. Dari sini kita bisa memahami, mengapa kekuasaan yang diterima oleh Nabi saw. adalah kekuasaan yang utuh, bukan parsial. Sebabnya, jika kekuasaan yang ada di tangan Nabi hanyalah kekuasaan yang bersifat parsial, maka kekuasaan itu tidak ada gunanya.
Karena itulah mengapa metode dan langkah yang ditempuh Nabi saw. dirancang sedemikian rupa sehingga kekuasaan yang didapatkan pun memenuhi kriteria yang diinginkan. Bukan asal berkuasa. Pada titik ini, Allah menitahkan kepada Nabi saw.:
قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ ١٠٨
Katakanlah, “Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (QS Yusuf [12]: 108).
Kata “’alaa bashiirah” juga bisa diartikan, bahwa jalan yang dinyatakan oleh Nabi saw. ini adalah jalan yang terang-benderang. Bukan jalan yang kabur atau tidak jelas. Semuanya jelas. Termasuk langkah dan metode dakwah Nabi saw.
Langkah dan metode dakwah Nabi saw. itu dilakukan dengan cermat, akurat dan terukur. Tahap Pertama: Melakukan pembinaan (Tatsqiif). Sel pertamanya adalah Nabi saw. sendiri. Sel pertama ini adalah orang yang menemukan dan memiliki ideologi, yang akan digunakan untuk menjadi ikatan yang mengikat sel-sel yang lain sehingga menjadi sebuah halqah. Setelah terbentuk halqah pertama, ia berkembang menjadi halqah kedua, ketiga, dan seterusnya. Akhirnya menjadi sebuah jamaah. Jamaah ini terbentuk jika ada dua hal: (1) ikatan yang sama, yaitu ikatan ideologi (Raabithah Mabda’iyyah); (2) kepemimpinan. Ikatan ideologis tersebut dibentuk melalui halqah. Adapun kepemimpinan tersebut secara alami akan dipegang oleh halqah pertama. Baru setelah semuanya ini terbentuk, maka Nabi saw. memasuki tahap kedua: Tafaa’ul Ma’a al-Ummah.
Tahap Kedua: Tafaa’ul Ma’a al-Ummah, dilakukan Nabi saw. ketika jamaah atau Hizb ar-Rasul sudah terbentuk. Kelompok ini dipimpin langsung oleh Nabi saw. Ini terjadi setelah Hamzah dan ‘Umar bin al-Khatthab masuk Islam. Ketika itu Nabi saw. melakukan thawaf di Ka’bah, dengan dua barisan. Satu baris dipimpin oleh Hamzah dan satu lagi oleh ‘Umar. Tujuan dari Tafaa’ul Ma’a al-Ummah adalah mengemban ideologi Islam agar menjadi ideologi umat, bukan hanya ideologi yang diemban oleh jamaah ini saja. Fase ini adalah fase yang paling menantang dan sulit.
Pendek kata, saat itu dakwah Nabi saw. dan para Sahabat di Makkah benar-benar sudah menemui jalan buntu. Akhirnya, Nabi saw. memerintahkan para Sahabat untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) demi menyelamatkan akidah mereka. Nabi saw. sendiri tetap di Makkah. Puncaknya, Nabi saw. mencari nushrah (dukungan dakwah) ke sana ke mari dan di mana-mana mengalami penolakan. Tidak kurang dari 50 suku dan kabilah didatangi oleh Nabi saw. Ada yang mengatakan selama setahun. Ada yang mengatakan lebih. Semuanya itu menunjukkan keseriusan Nabi saw. untuk mendapatkan dukungan dakwah.
Pada fase kedua ini, Tafaa’ul Ma’a al-Ummah, aktivitas pada fase pertama, yaitu pembinaan, tetap dilakukan oleh Nabi saw. Ditambah akitivitas lain, seperti mengadopsi kemaslahatan umat (Tabanni Mashaalih al-Ummah) dan membongkar rencana jahat kaum kafir (Kasyf al-Khuthath). Setelah kegagalan Nabi saw. melakukan nushrah di Thaif, Nabi mendapatkan Himaayah (perlindungan) dari Muth’im bin ‘Adi, yang notabene masih kafir. Himaayah itu diterima oleh Nabi saw. untuk melindingi diri dan dakwahnya agar bisa kembali ke Makkah.
Setelah itu, Nabi saw. di-isra’-mikraj-kan oleh Allah, yang menjadi bisyaarah akan datangnya pertolongan Allah, sekaligus jawaban atas doa Nabi saw. di Thaif. Tepat pada bulan Rajab Nabi saw. dipertemukan pertama kali dengan Ahl an-Nushrah dari Yatsrib. Ini adalah orang pertama yang memeluk Islam, tetapi akhirnya meninggal, sebelum Islam berkembang di sana. Sampai datang penduduk Yatsrib pada musim haji sehingga terjadilah Bai’at ‘Aqabah Pertama. Setelah itu, Nabi saw. mengirim Mushab bin ‘Umair ke sana untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Yatsrib.
Di tangan Mushab inilah, Usaid bin Hudhair dan Saad bin Muadz, kepala Suku Bani Asyhal itu, akhirnya masuk Islam. Setelah itu, sebanyak 75 orang datang menghadap Nabi saw. bersama Mushab pada musim haji berikutnya, dan memberikan Bai’at ‘Aqabah Kedua. Inilah baiat yang benar-benar diinginkan oleh Nabi saw. Melalui baiat inilah Nabi saw. benar-benar mendapatkan kekuasaan yang sempurna. Kekuasaan yang utuh, bukan kekuasaan yang parsial. Pada akhirnya, fase ketiga, Istilaam al-Hukm (penerimaan kekuasaan) itu benar-benar terjadi dengan damai.
Baru setelah itu, Nabi saw. pun hijrah ke Yatsrib, yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah al-Munawwarah. Nabi saw. kemudian menjadi kepala Negara Islam pertama di sana dengan kekuasaan penuh.
Inilah langkah dan metode yang dilakukan oleh Nabi saw. Metode ini terbukti telah berhasil mengubah masyarakat di Madinah, bahkan seluruh bangsa Arab dan dunia. Dari bangsa yang terbelakang, tidak berperadaban, menjadi bangsa terkemuka, dengan peradaban emasnya.
Pertanyaannya kemudian, apakah langkah dan metode Nabi saw. ini wajib diikuti? Jawabannya: wajib! Apa dalilnya? Dalilnya adalah perbuatan Nabi saw. yang dilakukan terus-menerus meski menghadapi ujian, hambatan dan tantangan yang tidak mudah, tetapi beliau tidak menghentikan langkahnya. Beliau tetap istiqamah di tengah berbagai ujian itu. Dalam konteks ini, simak penjelasan Imam as-Syafii: 5
وَلَوْ كَانَ وَاجِبًا لَأَمَرَهُمْ بِهِ شَقَّ أَوْ لمْ يَشُقَّ
Andai perkara itu wajib, pasti Nabi akan memerintahkan mereka untuk melakukan perkara tersebut, apakah berat atau tidak.
Artinya, ketika Nabi saw. terus-menerus melakukan aktivitas sebagaimana pada fase-fase di atas, baik dalam kondisi yang ringan maupun berat, maka itu menjelaskan bahwa langkah dan metode yang ditempuh oleh Nabi saw. itu memang hukumnya wajib. Kalau tidak wajib maka pasti Nabi saw. tidak akan melakukannya terus-menerus.
WalLaahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Abu al-Qasim ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah as-Suhaili, Ar-Raudh al-Unfi wa al-Masra’ ar-Riwa, ed. Dr. Muhammad Ibrahim al-Banna, Dubai, Ja’izah Dubai ad-Duwaliyyah li al-Qur’an al-Karim, cet I, 1442 H/2021 M, Juz III, hal. 60.
2 Abu al-Qasim ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah as-Suhaili, Ar-Raudh al-Unfi wa al-Masra’ ar-Riwa, Juz III, hal. 61.
3 Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1415 H/1995 M, Juz II, hal. 105.
4 Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, Qira’ah Siyasiyyah li as-Sirah an-Nabawiyyah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1416 H/1996 M, hal. 51.
5 Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Mishri al-Muzani, Al-Mukhtashar al-Muzani, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1419 H/1998 M, hal. 8.