Soal Jawab

Bolehkah Mengadakan Gencatan Senjata Dengan Musuh?

Soal:

Bagaimana hukumnya mengadakan gencatan senjata dengan musuh, sebagaimana yang dilakukan oleh Iran dengan Israel? Bolehkah mengadakan gencatan senjata secara permanen?

 

Jawab:

Gencatan senjata, dalam istilah fiqih disebut, “Hudnah”. Secara harfiah, “Hudnah” artinya, “Sukun” (diam)1. Adapun secara syar’i, “Hudnah” adalah:

«أَنْ يَعْقِدَ الإمَامُ أَوْ نَائِبُهُ لِأَهْلِ الْحَرْبِ عَقْدًا عَلَى تَرْكِ الْقِتَالِ مُدَّةً بِعِوَضٍ وَ غَيْرِهِ »

Akad yang dilakukan oleh Imam (Khalifah), atau penggantinya, dengan musuh untuk menghentikan peperangan dengan tenggat waktu tertentu, baik dengan kompensasi maupun tidak.2

 

Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, menyatakan bahwa “Hudnah” adalah:

«الإتِّفَاقُ عَلَى وَقْفِ الْقِتَالِ بَيْنَ الْمُتَحَارِبَيْنِ مُدَّةً مُعَيَّنَةً بِعِوَضٍ أَوْ غَيْرِهِ مَعَ اسْتِمْرَارِ حَالَةِ الْحَرْبِ»

Kesepatakan kedua belah pihak yang sedang berperang untuk menghentikan peperangan dalam tenggat waktu tertentu, baik dengan kompensasi atau tidak, diikuti dengan tetap berlanjutnya kondisi peperangan.3

 

Dua definisi di atas hampir sama. Bedanya, definisi yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud ‘Abd ar-Rahman ‘Abd al-Mun’im dinyatakan adanya peran Imam/Khalifah (kepala negara), atau yang menjadi wakilinya, untuk mengadakan perjanjian ini. Beliau memberi alasan, mengapa harus Imam/Khalifah (kepala negara) yang mengadakan akad ini? Untuk membedakan antara “Hudnah” (gencatan senjata) dengan “Aman” (jaminan keamanan). Jaminan keamanan bisa diberikan oleh individu, sementara “Hudnah” hanya boleh dilakukan oleh negara.4

Karena itu hukum mengadakan gencatan senjata antara kaum Muslim dengan kaum kafir itu boleh. Nabi saw. juga pernah mengadakan perjanjian damai dengan kaum Quraisy saat Hudaibiyah. Meski demikian, kebolehannya dibatasi dengan adanya kemaslahatan yang dituntut oleh jihad, atau penyebaran dakwah. Pasalnya, saat Nabi mengadakan Shulh al-Hudaibiyyah, sampai kepada beliau bahwa kaum Quraisy telah melakukan kesepakatan dengan penduduk Khaibar untuk memerangi kaum Muslim. Shulh al-Hudaibiyyah yang dilakukan tahun 6 H ini digunakan oleh Nabi saw. untuk mengikat tangan dan kaki kaum Quraisy. Akibatnya, ketika Nabi saw. kembali dari Shulh al-Hudaibiyyah, kemudian berangkat ke Khaibar untuk menundukkan orang-orang Yahudi di sana, kaum Quraisy tidak bisa membantu mereka, karena diikat dengan Shulh al-Hudaibiyyah tersebut.

Pada saat yang sama, sepulang dari Shulh al-Hudaibiyyah Nabi saw. segera mengirim delegasi kepada sejumlah penguasa dan raja di Jazirah Arab untuk memeluk Islam. Semuanya ini menjadi bukti bahwa Shulh al-Hudaibiyyah ini dilakukan oleh Nabi saw. untuk kemaslahatan yang terkait dengan dakwah dan jihad. Dengan Shulh al-Hudaibiyyah, terbukti Nabi saw. bisa leluasa memerangi Khaibar dan menyampaikan dakwah kepada para penguasa dan raja di Jazirah Arab.

Karena itu, ketika kemaslahatan dakwah dan jihad ini tidak ada maka “Hudnah” tersebut tidak boleh. Pasalnya, ketika “Hudnah” itu dilakukan, artinya peperangan yang diperintahkan harus dihentikan. Padahal menghentikan peperangan yang diperintahkan itu tidak boleh. Dengan kata lain, kebolehan “Hudnah” itu dibatasi oleh kondisi yang bisa mengantarkan pada peperangan, karena ketika “Hudnah” itu diadakan, sebenarnya kondisi peperangan tetap berlangsung.

Allah SWT berfirman:

فَلَا تَهِنُواْ وَتَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلسَّلۡمِ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ وَٱللَّهُ مَعَكُمۡ وَلَن يَتِرَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ  ٣٥

Janganlah kalian merasa lemah dan mengajak berdamai, sementara kalian lebih unggul. Allah pun bersama kalian, dan Dia tidak akan mengurangi segala amal perbuatan kalian (QS Muhammad [47]: 35).

 

Jika kemaslahatan dakwah dan jihad tersebut benar-benar ada, sehingga “Hudnah” tersebut dilakukan oleh seorang kepala negara, maka tetap harus dibatasi tenggat waktunya. Demikian sebagaimana Shulh al-Hudaibiyyah yang dibatasi waktunya maksimal 10 tahun. Karena itu Mafhuum Mukhaalafah-nya tidak boleh mengadakan gencatan senjata tanpa batas. Jika tidak dibatasi dengan waktu, maka perjanjian ini dinyatakan batal, karena melanggar ketentuan syariah, yaitu menghalangi pelaksanaan jihad. Padahal hukum jihad ini adalah fardhu.

Jika “Hudnah” ini telah disepakati dan sah secara syar’i, maka kita wajib terikat, dan menghentikan peperangan terhadap musuh. Kesepakatan tersebut harus diperhatikan sampai tenggat waktu yang telah ditetapkan, atau dikhianati oleh mereka. Pengkhianatan itu bisa terjadi melalui pernyataan atau tindakan mereka menyerang kaum Muslim, atau Ahli Dzimmah yang ada di wilayah kaum Muslim, atau tindakan apapun yang melanggar ketentuan dalam perjanjian tersebut. Lalu tidak ada yang mengingkari pelanggaran tersebut, baik secara lisan maupun tindakan fisik. Jika itu terjadi maka kesepakatan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.

Jika negara khawatir musuh melakukan pengkhianatan, seperti menampakkan indikasi adanya pengkhianatan, maka itu juga sudah cukup untuk membatalkan perjanjian tersebut. Karena itu, jika ini terjadi, boleh kapan pun menyatakan perang kepada mereka, baik siang maupun malam hari. Sebabnya, ketika mereka sudah mengkhianati atau membatalkan perjanjian, maka kaum Muslim boleh memerangi mereka, dan outomatis membatalkan perjanjiannya dengan mereka.

Itulah yang dilakukan Nabi saw. ketika kaum Quraisy membatalkan perjanjiannya. Saat itu, apa yang sebelumnya diharamkan dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga Nabi saw. memerangi mereka dan menaklukkan Kota Makkah. Sebabnya, “Hudnah” ini adalah perjanjian sementara, yang dinyatakan batal ketika tenggat waktunya habis, atau dibatalkan. Allah SWT berfirman:

فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ لَهُمۡۚ ٧

Karena itu selama mereka berlaku jujur kepada kalian maka hendaklah kalian juga berlaku jujur kepada mereka (QS at-Taubah [9]: 7).

 

Allah SWT juga berfirman:

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوۡمٍ خِيَانَةٗ فَٱنۢبِذۡ إِلَيۡهِمۡ عَلَىٰ سَوَآءٍۚ ٥٨

Jika engkau (Muhammad) khawatir akan ada pengkhianatan dari suatu kaum maka kembalikanlah perjanjian itu pada mereka secara sama (QS al-Anfal [8]: 58).

 

Allah SWT pun berfirman:

وَإِن نَّكَثُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُم مِّنۢ بَعۡدِ عَهۡدِهِمۡ وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمۡ فَقَٰتِلُوٓاْ أَئِمَّةَ ٱلۡكُفۡرِ إِنَّهُمۡ لَآ أَيۡمَٰنَ لَهُمۡ لَعَلَّهُمۡ يَنتَهُونَ  ١٢

Jika mereka melanggar janji setelah ada perjanjian dan menghina agama kalian maka perangilah para pemimpin kafir itu. Sungguh mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya. Mudah-mudahan mereka berhenti (QS at-Taubah [9]: 12).

 

Pandangan di atas dikemukakan oleh Al-Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani5. Pandangan yang hampir sama dikemukakan oleh Imam Zamakhsyari, “Yang benar, urusan ini diserahkan kepada pendapat Imam/Khalifah (kepala negara) sesuai dengan kemaslahatan Islam dan pemeluknya, baik perang maupun damai. Tidak harus berperang terus-menerus atau berdamai terus-menerus.”6

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Amirul al-Mukminin fî al-Hadits, Ibn Hajar al-Asqalani.7

Adapun gencatan senjata yang dilakukan oleh Iran dengan Israel yang diinisiasi oleh Amerika dan Qatar sesungguhnya merupakan bentuk gencatan senjata yang tidak boleh. Sebabnya, tidak ada pertimbangan kemaslahatan dakwah dan jihad. Justru Israel dan Amerika menggunakan kesepakatan ini untuk melumpuhkan kemampuan persenjataan Iran, yang bisa dianggap menjadi ancaman nyata bagi Israel. Demikian sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Israel Katz. Dia menyatakan bahwa militer negaranya sedang mempersiapkan rencana terbaru untuk “memastikan Iran tidak dapat kembali mengancam Israel.” (Reuters, dan Times of Israel, Jumat (4/7/2025). Katz, dalam pernyataannya, memuji pencapaian dalam operasi militer Israel, yang disebut Operation Rising Lion, dalam melawan Iran beberapa pekan lalu sebagai titik balik bersejarah dalam pertahanan Tel Aviv terhadap ancaman paling berbahaya dari Iran.

Selain itu, peran yang dilakukan oleh Qatar, sebagai bagian dari mediator perjanjian ini, juga tidak boleh. Pasalnya, karena gencatan senjata ini hukumnya tidak boleh maka menjadi mediator perjanjian ini pun tidak boleh.

WalLâhu a’lam bi as-shawâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

  • Lihat, Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, Juz , hal.
  • Lihat, Dr. Mahmud ‘Abd ar-Rahman ‘Abd al-Mun’im, Mu’jam al-Musthalahat wa al-Afadz al-Fiqhiyyah, Dar al-Fadhilah, Qahirah, t.t., Juz III, hal. 450.
  • Lihat, Prof. Dr. Mahammad Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, Cetakan V, 1439 H/2018 M, hal. 463.
  • Lihat, Dr. Mahmud ‘Abd ar-Rahman ‘Abd al-Mun’im, Mu’jam al-Musthalahat wa al-Afadz al-Fiqhiyyah, Dar al-Fadhilah, Qahirah, t.t., Juz III, hal. 450.
  • Lihat, al-Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, Cetakan V, 1424 H/2003 M, Juz II, hal. 209-210.
  • Lihat, al-Allamah al-Imam Az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, Juz II, hal. 182.
  • Lihat, al-Allamah al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalabi, Fath al-Bari fî Syarh Shahih al-Bukhari, Juz VI, hal. 275-276.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen + 15 =

Back to top button