
Hukum Menyambut Donald Trump
Soal:
Bagaimana hukumnya menyambut Presiden AS, Donald Trump, sebagai tamu di negeri kaum Muslim? Pada saat yang sama, dia memerangi kaum Muslim di Gaza dan Palestina?
Jawab:
Dalam konteks ini ada dua hal yang harus dihukumi. Pertama, penyambutan Donald Trump sebagai tamu. Kedua, investasi yang diberikan beberapa negeri Arab kepada AS.
Pertama, hukum menyambut tamu, termasuk tamu non-Muslim. Ini dijelaskan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkâm Ahli ad-Dzimmah, sebagai berikut: “Menjamu tamu bagi kaum kafir dan Muslim sama dalam kadar wajib dan sunnahnya. Keduanya berbeda dalam dua hukum yang lain. Pertama, menjamu tamu bagi Muslim wajib sejak awal, karena ketentuan syariah. Adapun bagi kaum kafir wajib karena adanya syarat. Kedua, bagi kaum Muslim, menjamu tamu berlaku umum untuk penduduk kampung maupun wilayah yang lain, sedangkan bagi kaum kafir hanya berlaku untuk penduduk kampung.”1
Dasarnya, dulu Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab ra. membedakan keduanya. Beliau mensyaratkan hak menjamu tamu itu khusus untuk penduduk kampung meski hadis yang menjelaskan hal ini bersifat umum:
Semalam [menginap] bagi tamu adalah hak yang wajib ditunaikan setiap Muslim.2
Hadis ini menjelaskan bahwa tamu Muslim dan non-Muslim sama-sama berhak dijamu. Menjamu tamu (dhiyâfah) itu konotasinya adalah sedekah, yang statusnya sunnah (tathawwu’), baik terhadap Muslim maupun non-Muslim. Ini merupakan penjelasan Imam Ahmad. Beliau beragumentasi dengan menggunakan keumuman hadis di atas, yang berlaku baik terhadap tamu Muslim maupun non-Muslim.3
Memang ada hadis berikut:
Menjamu tamu itu selama tiga hari.4
Menurut Ibn al-Qayyim, sehari semalam itu merupakan hak yang wajib, sedangkan tiga hari itu sunnah. Ini benar. Namun, ini hanya berlaku untuk kaum Muslim. Adapun bagi Ahludz-Dzimmah tidak berlaku demikian. Jika tiga hari itu disyaratkan terhadap mereka, dalam perjanjian, maka itu menjadi hak yang wajib ditunaikan oleh kaum Muslim. Khalifah ‘Umar, ketika menjadi khalifah, membuat kebijakan yang berbeda, sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan. Misalnya, untuk kaum Kristen Syam dan Jazirah, maupun yang lain, ditetapkan syarat tiga hari, sedangkan untuk kaum Kristen Irak, ditetapkan sehari semalam. Ini karena kondisinya berbeda dengan kondisi kaum Kristen Syam dan Jazirah.5
Tamu tersebut harus dijamu dengan baik. Disediakan tempat tinggal, kendaraan, makanan, minuman, pakaian, termasuk jaminan keamanan dan kesehatan. Jika sakit maka dia diobati dan dijenguk. Termasuk hak untuk ke tempat ibadahnya. Namun, tidak boleh mengucapkan salam kepada dirinya jika dia non-Muslim. Ini karena Nabi bersabda:
Kalian jangan memulai salam kepada orang Yahudi maupun Kristen.”6
Semua perlakuan baik itu merupakan dakwah bi al-hâl (dengan tindakan) kepada non-Muslim. Ini supaya mereka bisa melihat dan merasakan Islam sebagaimana mestinya. Ini ketentuan yang berlaku terhadap Ahludz-Dzimmah. Mereka adalah orang kafir yang menetap di Darul Islam, tetap memeluk agamanya, tetapi terikat dengan sistem Islam dan membayar jizyah.7
Berbeda dengan Ahlul-Harb (Kafir Harbi), baik fi’l[an] (seperti Amerika, Israel, Inggris, dan lain-lain) maupun hukm[an] (negara yang tidak terlibat permusuhan secara langsung dengan kaum Muslim). Mereka adalah orang kafir yang tidak terikat dengan perjanjian Dzimmah atau mendapatkan jaminan keamanan (seperti visa), maupun perjanjian yang lain (seperti Mu’âhad).8
Hanya saja, status Kafir Harbi, baik fi’l[an] maupun hukm[an] itu bisa berubah menjadi Musta’man (mendapatkan jaminan keamanan) jika mendapatkan jaminan keamanan (visa) dari tiap orang Islam dan baligh, menurut pendapat Jumhur. Adapun menurut yang lain, Muslim dan Mumayyiz, tidak harus balig.9
Dalam kasus Donald Trump, jelas dia datang dengan jaminan keamanan dari para penguasa kaum Muslim, baik Saudi, Uni Emirat Arab maupun Qatar. Meski dia berstatus Kafir Harbi, ketika berada di ketiga negara tersebut statusnya dihukumi sebagai Musta’man. Dalam konteks ini, kaum Muslim tidak boleh mengkhianati Kafir Harbi yang memasuki negeri mereka dengan jaminan keamanan, sebagaimana sabda Nabi saw.:
Kaum Muslim itu terikat dengan persyaratan yang mereka tetapkan.10
Kedua, mengenai status investasi. Ini masuk dalam pembahasan hukum berbisnis atau dagang dengan kaum Kafir Harbi. Dalam hal ini, baik kaum Muslim yang berbisnis di wilayah mereka, atau mereka yang datang ke wilayah kita untuk berbisnis, sama-sama diperbolehkan. Dengan syarat, tidak boleh menjual senjata, alat, bahan-bahan mentah, atau apa saja yang bisa memperkuat mereka, yang bisa digunakan untuk membuat senjata, atau menjadi senjata, yang bisa menguatkan mereka.11
Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh ketiga penguasa kaum Muslim itu, dengan memberikan investasi, atau bahkan menghibahkan dana sekian miliar USD, kepada AS melalui Donald Trump, jelas menyalahi ketentuan syariah di atas, sebagaimana yang dijelaskan oleh para fuqaha. Sebagaimana haram hukumnya memperdagangkan komoditas yang diharamkan secara syar’i, seperti khamer, babi dan segala bentuk barang dan jasa yang diharamkan, karena jelas-jelas itu merupakan kerusakan yang dilarang syariah, dan harus diperangi.12
Bahkan mazhab Maliki mengharamkan ekspor dari negeri kaum Muslim ke negeri mereka. Alasannya, karena mengekspor apapun itu akan menguatkan mereka untuk mengalahkan kaum Muslim. Selain itu, kaum Muslim juga diharamkan untuk menetap di Darul Kufur, sebagaimana sabda Nabi saw.:
Saya berlepas diri dari setiap orang Islam yang menetap di tengah-tengah kaum musyrik.13
Adapun apa yang terjadi pada zaman Khilafah Bani Umayah, ketika sebagian penguasanya membayarkan harta mereka kepada musuh, dalam hal ini adalah Romawi, agar mereka berhenti memerangi kaum Muslim—dimana saat itu kondisi negeri kaum Muslim benar-benar mengalami krisis, situasi yang sulit, baik di dalam maupun di luar, sehingga terpaksa melakukan perjanjian damai dengan mereka, meski harus memenuhi beberapa ambisi dan keinginan mereka—maka harus dilihat dengan tepat.
Kasus ini terjadi pada zaman Khalifah Abdul Malik bin Marwan (646-705 M). Al-Baladzuri menceritakan ini dalam kitabnya, “Kuda-kuda milik Romawi telah keluar ke gunung Lukam [gunung di wilayah Syam], dipimpin salah seorang panglimanya. Setelah itu masuk ke Libanon…Karena itu, Abdul Malik terpaksa melakukan perjanjian damai dengan mereka, dengan memberikan 1000 Dinar setiap Jumat, dan berdamai dengan penguasa Romawi itu dengan membayarkan harta agar tidak memeranginya, dan beliau khawatir jika dia keluar Syam, sehingga mengalahkannya. Beliau mencontoh Mu’awiyah ketika berdamai dengan Romawi, saat sibuk memerangi penduduk Irak. Beliau pun berdamai dengan mereka, dengan membayar harta.”14
Pertama, kebijakan penguasa zaman Khilafah Islam, khususnya Bani Umayah, ini tidak bisa dijadikan dalil, meskipun apa yang mereka lakukan merupakan hukum syariah.
Kedua, kekuatan takwa di dalam jiwa penguasa saat itu, juga ghîrah mereka terhadap kemaslahatan kaum Muslim, serta ambisi mereka yang begitu luar bisa untuk menjaga izzah [kemuliaan] Islam dan kaum Muslim, disertai kesadaran yang tinggi terhadap berbagai aspek, sehingga potensi kesalahan ijtihad [kebijakan] di atas bisa dijauhi, maka pertimbangan darurat yang mereka ambil saat itu bisa diterima secara syar’i.
Namun, ketika kita bandingkan dengan penguasa ketiga negara tersebut saat ini, baik aspek ketakwaan di dalam jiwanya, ghîrah mereka terhadap kemaslahatan kaum Muslim, serta ambisi mereka untuk menjaga izzah [kemuliaan] Islam dan kaum Muslim, apalagi kesadaran terhadap berbagai aspek yang begitu rendah, maka pertimbangan darurat yang sama tidak bisa digunakan, dan tidak bisa dibenarkan secara syar’i. Ini karena faktanya berbeda.15
Karena pertimbangan darurat dalam konteks ini menjadi permainan oleh hawa nafsu sekelompok penguasa dan para pendukungnya. Inilah yang menjadikan kekayaan kaum Muslim dan potensi mereka dikuras dan dijarah habis-habisan oleh musuh-musuh mereka dengan alasan darurat. Bahkan argumentasi darurat tersebut telah banyak ditolak oleh kaum Muslim meski dari kalangan orang awam, apalagi kaum terpelajar.
Apalagi saat AS dan Donald Trump tangannya berlumuran darah kaum Muslim di Gaza, Palestina dan negeri kaum Muslim yang lain. Tentu tidak masuk akal siapapun jika orang seperti ini diterima, bahkan pulang diberi hadiah investasi atau hibah dengan nilai yang sangat fantastis.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 425-426.
- Ahmad (hadits no 17172); Abu Dawud (hadits no. 3750); Ibn Majah (hadits no. 3677); Bukhari dalam Adab al-Mufrad (hadits no. 744). Hadits bersumber dari Abu Karimah al-Miqdam bin Ma’di Karib Radhiya-Llahu ‘anhu, dengan isnad yang shahih.
- Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 426.
- Bukhari (hadits no. 6135) dan Muslim.
- Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 426.
- Muslim (hadits no 2167).
- Al-Mausk’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz VII, hal. 104.
- Al-Mausk’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz VII, hal. 104.
- Al-Mausk’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz VII, hal. 106.
- At-Tirmidzi; Lihat, Al-Mausk’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz VII, hal. 109.
- Lihat, Al-Mausk’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz VII, hal. 112.
- Al-Mausk’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz VII, hal. 112. Lihat juga, Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 199; Syarah as-Siyar al-Kabir, Juz III/177; Hasyiyah at-Thahthawi, Juz II/445; Fath al-Qadir, Juz IV/347; al-Fatawa al-Hindiyyah, Juz II/215; Mughni al-Muhtaj, Juz IV/247; Syarh al-Kabir ma’a al-Mughni, Juz X/408.
- Abu Dawud; Lihat, Al-Mausk’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz VII, hal. 113.
- Lihat, al-Baladzuri, Tarikh al-Buldan, hal. 164.
- Lihat, Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fî as-Siyasah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, cet. II, 1417 H/1996 M, Juz III/1493-1494.