Seputar Penyambutan Paus Dan Pelarangan Tayangan Azan Di TV
Soal:
Bagaimana hukumnya menyambut Paus sebagai tamu? Termasuk instruksi untuk menggantikan azan Maghrib dengan running text, demi Perayaan Misa yang disiarkan secara nasional?
Jawab:
Dalam konteks ini ada dua perkara yang harus dihukumi. Pertama: Penyambutan Paus sebagai tamu. Kedua: Peniadaan azan di TV, karena alasan Perayaan Misa, dan diganti dengan running text.
Pertama: Hukum menyambut tamu, termasuk tamu non-Muslim, dijelaskan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkaam Ahli ad-Dzimmah. Dikatakan: “Menjamu tamu bagi kaum kafir dan Muslim sama-sama dalam kadar wajib dan sunahnya. Keduanya berbeda dalam dua hukum yang lain. Pertama, menjamu tamu bagi Muslim wajib sejak awal, karena ketentuan syariah. Adapun bagi kaum kafir wajib karena adanya syarat. Kedua, bagi kaum Muslim, menjamu tamu berlaku umum untuk penduduk kampung maupun wilayah yang lain, sedangkan bagi kaum kafir hanya berlaku untuk penduduk kampung.”1
Perbedaan di antara keduanya, karena ‘Umar bin al-Khaththab ra. membedakan keduanya, ketika mensyaratkan hak menjamu tamu itu khusus untuk penduduk kampung meski hadis yang menjelaskan hal ini bersifat umum:
لَيْلَةُ الضَّيْفِ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Semalam [menginap] bagi tamu adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim.2
Hadis ini menjelaskan bahwa Muslim dan non-Muslim sama-sama berhak dijamu. Menjamu tamu (dhiyaafah) itu konotasinya adalah sedekah, yang statusnya sunnah (tathawwu’), baik kepada Muslim maupun non-Muslim. Ini merupakan penjelasan Imam Ahmad. Beliau beragumentasi dengan menggunakan keumuman hadis di atas, yang berlaku baik baik tamu Muslim maupun non-Muslim.3
Memang ada hadis berikut:
الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ
Menjamu tamu itu selama tiga hari.4
Menurut Ibn al-Qayyim, sehari semalam itu merupakan hak yang wajib, sedangkan tiga hari itu sunnah. Ini yang benar. Namun, ini hanya berlaku untuk kaum Muslim. Adapun bagi Ahludz-Dzimmah maka tidak berlaku demikian. Jika tiga hari itu disyaratkan atas mereka, dalam perjanjian, maka itu menjadi hak yang wajib ditunaikan oleh kaum Muslim. Jika tidak maka kaum Muslim tidak boleh menambahkan lebih dari sehari semalam, kecuali dengan kerelaan mereka. Pada saat itulah, tiga hari itu berlaku sama, tidak ada bedanya, baik Muslim maupun non-Muslim.
Khalifah Umar sendiri membuat kebijakan yang berbeda, sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan. Misalnya, untuk kaum Kristen Syam dan Jazirah, maupun yang lain, ditetapkan syarat tiga hari; sedangkan untuk kaum Kristen Irak ditetapkan sehari semalam. Ini karena kondisinya berbeda dengan kondisi kaum Kristen Syam dan Jazirah.5
Tamu tersebut harus dijamu dengan baik. Disediakan tempat tinggal, kendaraan, makanan, minuman, pakaian, termasuk jaminan keamanan dan kesehatan. Jika sakit maka dia diobati dan dijenguk. Termasuk hak untuk ke tempat ibadahnya. Namun, tidak boleh mengucapkan salam kepada dirinya, jika dia non-Muslim. Ini karena Nabi saw. telah bersabda:
لاَ تَبْدَؤُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
Janganlah kalian memulai salam kepada orang Yahudi maupun Kristen.6
Semua perlakuan baik itu merupakan dakwah bi al-haal (dengan tindakan) kepada non-Muslim supaya mereka bisa melihat dan merasakan Islam sebagaimana mestinya.
Kedua: Mengenai ucapan selamat yang secara khusus terkait dengan syiar-syiar kekufuran, para ulama sepakat bahwa itu dilarang. Di antara bentuk-bentuk syiar kekufuran adalah suara lonceng gereja [Kristen] atau terompet Sinagog [Yahudi]. Ketika mereka menjadi Ahludz-Dzimmah di negeri kaum Muslim saja, disyaratkan agar suara lonceng gereja [Kristen] atau terompet Sinagog [Yahudi] ditinggalkan, karena itu merupakan syiar mereka; merupakan syiar dan bendera mereka. Kata Ibn al-Qayyim, “Ketika memukul lonceng itu merupakan syiar kekufuran, dan benderanya yang nyata, maka mereka disyaratkan agar meninggalkannya.”7
Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menulis surat, yang isinya: “Sungguh suara yang paling berhak dikecilkan adalah suara-suara kaum Yahudi dan Nasrani di gereja-gereja [dan sinagog-sinagog] mereka.”8
Ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi khalifah, beliau mengeluarkan edaran, yang isinya: “Hendaknya lonceng itu tidak dibunyikan [hingga suaranya] keluar gereja.”9
Bahkan ‘Ali bin Abi Thalib, dalam riwayat lain, Malik bin Anas mengatakan: “Ketika lonceng itu dibunyikan, maka kemarahan Allah ‘Azza wa Jalla memuncak, sehingga para malaikat turun, dan memegang setiap ujung bumi, dan selalu mengatakan: Qul Huwa alLaah Ahad (Katakanlah [Muhammad], “Dialah Allah Yang Maha Esa (QS al-Ikhlas [112]: 1). Sampai kemarahan Allah itu reda.”10
Mengenai syarat lonceng itu boleh dibunyikan dengan suara pelan di dalam gereja mereka, kata Ibn al-Qayyim, itu seperti tidak ada. Sebabnya, lonceng ini letaknya di atas menara, dibunyikan agar suaranya terdengar dari jarak jauh. Jika disyaratkan kepada mereka seperti itu, maka suaranya pasti tidak terdengar, sehingga mereka lama-lama akan meninggalkannya sendiri dengan tidak membunyikannya.
Ibn al-Qayyim melanjutkan: “Allah benar-benar telah membatalkan suara lonceng kaum Kristen dan terompet Yahudi dengan azan. Adzan itu merupakan seruan kepada Allah SWT untuk mengesakan dan menyembah Diri-Nya. Meninggikan suara dengan azan itu untuk meninggikan kalimat Islam dan memenangkan seruan al-Haq, serta memadamkan seruan kekufuran.”11
Karena itu, permintaan untuk tidak menyiarkan azan Maghrib di seluruh saluran televisi nasional, apalagi digantikan dengan tayangan Perayaan Misa, jika kita memahami bagaimana kedudukan azan yang menggantikan syiar agama lain, sebagaimana yang dikemukakan Ibn al-Qayyim di atas, jelas tidak bisa dibenarkan. Apalagi ini merupakan negeri Islam, yang mayoritas penduduknya beragama Muslim.
Mengenai tayangan azan di televisi yang diganti dengan running text, maka rincian hukumnya sebagai berikut:
Pertama, azan di televisi dalam kedudukannya sebagai azan elektronik (rekaman) semata, hukumnya mubah (tidak wajib). Ini berbeda dengan azan syar’i yang hakiki, yaitu azan yang dikumandangkan oleh seorang Muadzin di masjid, yang hukumnya fardhu kifayah.
Kedua, azan di televisi dalam kedudukannya sebagai syiar Islam, yang walaupun hukum asalnya tidak wajib, bisa menjadi wajib ditampakkan dalam kedudukannya sebagai syiar Islam. Azan elektronik sebagai syiar Islam ini wajib hukumnya ditampakkan kepada publik, yang berakibat dosa jika ditiadakan/dihapuskan oleh umat Islam.
Sebagai azan rekaman, hukum azan di televisi berbeda dengan hukum azan hakiki yang syar’i. Azan yang hakiki hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat yang raajih, sedangkan azan rekaman di televisi hukumnya mubah, tidak wajib, sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa Lajnah Da‘imah mengenai status azan rekaman (al-adzân al-musajjal): “Azan yang dikumandangkan dari rekaman tidaklah mewakili azan syar’i yang disyariatkan untuk memberitahukan masuknya waktu (shalat). Ini karena azan rekaman itu bukanlah azan yang hakiki, melainkan sekedar suara yang direkam. Padahal azan itu merupakan ibadah yang tidak boleh tidak harus ada amal (perbuatan) dan niatnya. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw., “Sungguh amal-amal itu bergantung pada niat-niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan.”12
Berdasarkan fatwa di atas, azan di televisi yang merupakan azan rekaman jelas tidak bisa dihukumi wajib (fardhu kifayah) sebagaimana azan hakiki yang hukumnya fardhu kifayah, tetapi sekadar mubah. Karena itu jika stasiun televisi tidak menayangkan azan maghrib di kanal televisinya hukum asalnya tidak apa-apa. Namun, kebolehan meniadakan azan di televisi sebagaimana yang dijelaskan ini untuk individu (perorangan). Bukan untuk negara atau pemerintah.
Jika ini merupakan kebijakan pemerintah, atau kesepakatan suatu komunitas, seperti asosiasi lembaga penyiaran, sehingga diberlakukan secara umum untuk masyarakat luas, maka peniadaan azan di televisi ini hukumnya haram dan berdosa di sisi Allah. Sebabnya, kebijakan ini meniadakan azan di televisi ini merupakan tindakan menghapuskan syiar-syiar Allah yang hukumnya wajib untuk ditampakkan di tengah masyarakat.
Karena itu, dari aspek syiar ini, meski azan yang ditayangkan di televisi bukan azan hakiki yang syar’i, dan hukum asalnya boleh (mubah), tidak wajib, tetapi sebagai syiar Islam, azan tersebut hukumnya wajib untuk ditampakkan kepada masyarakat, tidak boleh ditiadakan oleh kebijakan pemerintah atau kesepakatan komunitas tertentu. Ini dinyatakan dalam Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ إِقَامَةُ شَعَائِرِ الْإِسْلاَمِ الظَّاهِرَةِ، وَإِظْهَارُهَا، فَرْضاً كَانَت الشَّعِيْرةَ أَمْ غَيْرَ فَرْضٍ
Wajib hukumnya atas kaum Muslim untuk menegakkan syiar-syiar Islam yang bersifat lahiriah. Juga wajib menampakkan syiar-syiar tersebut [di tengah masyarakat], baik syiar Islam itu sendiri sesuatu yang hukumnya wajib maupun yang hukumnya tidak wajib.13
Kewajiban menampakan syiar-syiar Islam ini dinyatakan oleh Allah SWT:
ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ ٣٢
Demikianlah (yang diperintahkan). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sungguh hal itu timbul dari ketakwaan hati (QS al-Hajj [22]: 32).
WalLaahu a’lam. [KH Hafidz Abdurrahman, MA]
Catatan kaki:
1 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 425-426.
2 Hr. Ahmad (hadits no 17172); Abu Dawud (hadits no. 3750); Ibn Majah (hadits no. 3677); Bukhari dalam Adab al-Mufrad (hadits no. 744). Hadits bersumber dari Abu Karimah al-Miqdam bin Ma’di Karib Radhiya-Llahu ‘anhu, dengan isnad yang shahih.
3 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 426.
4 Hr. Bukhari (hadits no. 6135) dan Muslim.
5 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 426.
6 Hr. Muslim (hadits no 2167).
7 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 338.
8 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 339.
9 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 339.
10 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 340.
11 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahli ad-Dzimmah, ed. Nail bin Nashar as-Sindi, Dar ‘Alim al-Fawaid, Makkah, cet. I, 1441 H/2020 M, Juz II, hal. 341.
12 Fatâwâ Lajnah Dâ’imah, Majmû’ah Tsâniyah, Juz V, hal. 62-63.
13 Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz XXVI, hal. 98.