Saat Pertolongan Allah SWT Tiba
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١ وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِي دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجٗا ٢ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا ٣
Jika pertolongan Allah dan kemenangan tiba, dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh Dia adalah Maha Penerima tobat. (QS an-Nashr [110]: 1-3).
Surat ini dinamakan An-Nashr (pertolongan) karena di dalamnya terdapat ayat yang memberitakan datangnya nashrulLâh. Nama lainnya adalah At-Tawdî (Perpisahan).1Menurut al-Biqa’i, penamaan tersebut karena turun pada Hari Tasyriq Haji Wada’.2 Menurut al-Alusi, disebut at-tawdî’ karena di dalamnya terdapat pemberitahuan tentang wafatnya Rasulullah saw. dan perpisahan beliau dengan dunia dan isinya, sebagaimana disebutkan dalam sejumlah riwayat.3
Surat ini terdiri dari tiga ayat sehingga termasuk surat yang paling pendek selain al-Kautsar dan al-’Ashr. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa surat ini tergolong dalam surat Madaniyah.4 Pasalnya, surat ini turun sesudah hijrah. Hanya saja, terdapat perbedaan apakah turunnya sebelum peristiwa Fath Makkah atau belum, di Makkah atau di Madinah.5
Ahmad meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa pada masa akhir kehidupannya, Rasulullah saw. membaca, “SubhânalLâh wabihamdihi astaghfirulLâh wa atûbu ilayhi.” Beliau bersabda, “Sungguh Tuhanku memberitahuku bahwa aku akan melihat tanda-tanda pada umatku. Dia memerintahku, jika melihatnya, agar aku bertasbih kepada-Nya dengan memuji-Nya dan meminta ampunan kepada-Nya. Sungguh Dia Maha Penerima Tobat. Sungguh aku telah melihatnya: Idzâ jâ`a nashrulLâh wa al-fath hingga akhir surat ini.”6
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Hamid, al-Bazzar, Abu Ya’la, Ibnu Marduyah dan al-Baihaqi, dalam Ad-Dalâ’il dari Ibnu Umar, berkata: Surat ini turun kepada Rasulullah saw. saat hari-hari Tasyriq di Mina, yakni pada Haji Wada’. Rasulullah saw. mengetahui bahwa itu adalah wadâ’ (perpisahan, ucapan selamat tinggal).7
Ibnu Jarir dari Atha’ bin Yasar menyatakan bahwa surat ini secara keseluruhan turun di Madinah setelah Fath Makkah, masuknya manusia kepada agama, dan memberitahukan tentang wafatnya beliau.8
An-Nasa’i dari Ibnu ’Utbah berkata: Ibnu ’Abbas bertanya kepadaku, “Wahai Ibnu ’Utbah, apakah kamu mengetahui surat al-Quran yang turun terakhir?” Aku berkata, “Ya, idzâ jâ`a nashrul-Lâh wa al-fath.” Ibnu ’Abbas berkata. “Engkau benar.”9
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Idzâ jâ‘a nashrulLâh wa al-fath (Jika pertolongan Allah dan kemenangan tiba). Ayat ini memberitakan mengenai datangnya pertolongan Allah SWT kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, ayat ini mengandung makna: idzâ jâ’aka, yâ Rasulal-Lâh, nashrul-Lâh ’alâ man ’âdâka (Jika telah datang kepadamu, wahai Rasulullah, pertolongan Allah atas musuhmu).10
Penyebutan an-nashr dan al-fath secara bersama dalam ayat ini menunjukkan adanya perbedaan di antaranya. Secara bahasa, pengertian an-nashr adalah al-’awn (pertolongan, bantuan). Diambil dari ucapan mereka, “Qad nashara al-ghayts al-ardh: idzâ a’âna ‘alâ nabâtihâ wa mana’a min qahtihâ (Sungguh hujan telah menolong bumi: ketika membantunya atas tumbuhannya dan mencegah dari pacekliknya).”11
Dalam konteks ayat ini, menurut Abu Hayyan al-Andalusi, kata an-nashr bermakna al-i’ânah wa al-izhhâr ’alâ al-’aduww (bantuan dan pertolongan atas musuh).12
Menurut asy-Syinqithi, pertolongan itu bisa terjadi dalam medan peperangan, dalam hujjah dan argumentasi, juga dalam menahan musuh seperti pada Perang Ahzab (lihat QS al-Ahzab [33]: 25) dan terhadap Yahudi (lihat QS al-Ahzab [33]; 26-27).13
Adapun al-fath berarti fath al-bilâd (pembukaan, pembebasan negeri-negeri). Pembebasan yang dimaksud adalah pembebasan Kota Makkah. Demikian menurut al-Hasan, Mujahid dan lain-lain. Menurut Ibnu ’Abbas dan Said bin Jubair, yang dimaksud adalah pembebasan berbagai kota dan istana.14
Tatkala pertolongan Allah SWT dan kemenangan itu telah datang, terjadi pula peristiwa lainnya yang menakjubkan, yakni: wa rayta an-nâs yadhulûna fî dînilLâh afwâj[an] (dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong). Kata an-nâs mencakup orang Arab dan non-Arab. Mereka semua diberitakan masuk dînul-Lâh. Menurut az-Zamakhsyari, dînilLâh adalah Islam, sebab tidak ada agama yang disandarkan kepada Rasulullah saw. kecuali Islam (Lihat: QS Ali Imran [3]: 85).15
Dalam ayat ini, kata al-afwâj merupakan bentuk jamak dari kata al-fawj, yang berarti al-jamâ’ah al-mârrah al-musri’ah (kelompok yang berlalu dengan cepat). Menurut al-Asfahani, kata dengan makna tersebut juga terdapat dalam QS al-Mulk [67]: 8 dan Shad [38]: 59.16
Ibnu ‘Abbas memaknai kata tersebut dengan az-zumar min an-nâs (kelompok-kelompok manusia).17
Abu Hayyan al-Andalusi juga menafsirkan kata itu dengan jama’ât katsîrah (kelompok-kelompok yang banyak). Pada saat itu, kabilah masuk Islam secara keseluruhan setelah sebelumnya hanya satu-satu atau dua-dua.18 Sebabnya, yang dimaksud dengan fath adalah fath Makkah.
Al-Bukhari meriwayatkan hadis dari Amir bin Salamah yang berkata, “Pada Hari Pembebasan Kota Makkah setiap kaum segera menyatakan keislaman mereka kepada Rasulullah saw. Suku-suku Arab sebelumnya menunda keislaman mereka hingga Kota Makkah dibebaskan. Mereka mengatakan, “Biarkan dia dan kaumnya, karena jika dia menang atas kaumnya, maka benarlah bahwa dia seorang nabi.”
Ibnu Katsir juga menuturkan bahwa hanya dalam waktu dua tahun Jazirah Arab sudah dipenuhi dengan keimanan. Bahkan seluruh kabilah Arab menampakkan keislamannya.19
Ketika peristiwa itu terjadi, beliau diperintahkan: fasabbih bihamdi Rabbika wa [i]staghfirhu (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya). Menurut az-Zamkhsyari, fasabbih bihamdi Rabbika berarti: ucapkanlah subhânalLâh dan memuji-Nya sebagai ungkapan takjub terhadap kemudahan yang diberikan Allah dalam perkara yang sebelumnya tidak terlintas dalam benakmu dan orang lain berupa dikalahkannya penduduk Haram; dan memujilah kepada-Nya. Bisa pula dimaknai: maka berzikirlah kepada-Nya dengan bertasbih dan memuji sebagai tambahan dalam beribadah kepada-Nya dan memuji-Nya karena bertambahnya kenikmatan-Nya kepadamu; atau: shalatlah. Ummu Hani meriwayatkan, ketika Rasulullah saw. membuka pintu Ka’bah, beliau shalat dhuha delapan rakaat.20
Adapun perintah untuk beristigfar yang menyertai tasbih merupakan penyempurna terhadap perintah yang menjadi pilar penegak agama, yakni: menggabungkan antara ketaatan dan menjaga diri dari maksiat. Istigfar juga merupakan bagian tawaduk kepada Allah dan menundukkan jiwa, dan itu merupakan ibadah dalam jiwanya. Rasulullah saw. bersabda:
وَإِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللهَ فِى الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّة
Sungguh aku benar-benar meminta ampunan kepada Allah dalam sehari semalam seratus kali (HR Muslim).21
Allah SWT berfirman: Innahu kâna Tawwâb[an] (Sungguh Dia adalah Maha Penerima tobat). Ungkapan ini memberikan harapan besar bagi orang-orang yang meminta ampunan.22
Kepastian Pertolongan Allah SWT
Banyak pelajaran penting yang dapat dipetik dari surat ini. Pertama: Kepastian pertolongan Allah SWT. Datangnya pertolongan merupakan otoritas Allah SWT (Lihat: QS Ali Imran [3]: 126).
Karena menjadi otoritas-Nya, Dialah yang berhak menentukan kapan pertolongan itu datang dan dengan cara apa diberikan. Dalam perkara ini, manusia tidak memiliki andil sama sekali. Bahkan para nabi sekalipun. Buktinya, ketika Rasulullah saw. dan kaum Muslim ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta guncangan amat dahsyat, mereka hanya bisa berkata: “Matâ nashrul-Lâh (Kapankah pertolongan Allah datang?”/QS al-Baqarah [2]: 214). Penyebutan idzâ jâa nashrul-Lâh dalam surat ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki andil tentang datangnya pertolongan Allah SWT. Dalam perkara ini, manusia hanya bisa menjalankan syarat yang ditetapkan untuk mendapatkan pertolongan-Nya (Lihat: QS Muhammad [47]: 7).
Kedua: Peristiwa yang mengiringi tatkala datang pertolongan Allah SWT dan futûhât. Peristiwa tersebut adalah masuknya manusia ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Inilah yang diberitakan dalam surat ini dan terjadi dalam sejarah Islam. Rasulullah saw. mengawali dakwahnya di Makkah selama tiga belas tahun. Namun, hanya sedikit yang bersedia masuk Islam. Saat itu, Makkah berada di bawah kekuasan Qurays yang amat menentang dakwah beliau. Namun, ketika Makkah berhasil ditaklukkan, hanya dalam beberapa hari penduduk Makkah berbondong-bondong menyatakan keislamannya. Langkah itu pun diikuti oleh kabilah-kabilah lainnya di Jazirah Arab.
Sebagai sebuah dîn yang berasal dari Allah SWT, Islam dengan mudah dapat dipahami kebenarannya oleh manusia. Apabila diterapkan dalam kehidupan, keadilan dan keunggulannya jauh lebih mudah dipahami dan dirasakan. Sejarah membuktikan, penerapan syariah dalam naungan Khilafah telah mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Realitas ini tentu menjadi magnet luar biasa yang membuat manusia berbondong-bondong masuk Islam.
Ketika umat Islam berada di bawah kekuasaan Qurays, banyak di antara mereka yang menjadi korban kekejamannya. Akibatnya, tidak sedikit orang yang merasa takut masuk Islam. Institusi dan sistem kufur beserta penguasanya benar-benar telah menjadi hambatan fisik yang menghalangi manusia untuk masuk untuk Islam. Oleh karena itu, ketika hambatan fisik itu berhasil dilenyapkan, maka jalan untuk masuk Islam benar-benar lapang. Mereka pun berbondong-bondong masuk Islam. Ini bukan hanya dialami oleh penduduk Makkah, namun juga semua negeri yang dibebaskan oleh Islam, seperti Irak, syam, Mesir, dan sebagainya.
Kemenangan Islam juga menawarkan berbagai manfaat, termasuk manfaat material, bagi pemeluknya. Aspek ini pun bisa membuat sebagian orang menyatakan diri masuk Islam (Lihat: QS al-Ankabut [29]: 10).
Ketiga: Tindakan yang diperintahkan Allah SWT manakala pertolongan-Nya telah datang. Sebagaimana disimpulkan az-Zamakhsyari, ada dua tindakan yang harus dilakukan, yakni bersyukur dan beristigfar. Kenikmatan yang diberikan kepada amat banyak hingga manusia tidak akan mampu menghitungnya (lihat QS Ibrahim [14]: 34 dan an-Nahl [16]: 14). Datangnya pertolongan Allah dan keberhasilan membebaskan negeri-negeri lain jelas merupakan tambahan kenikmatan yang luar biasa. Terhadap kenikmatan itu, manusia diperintahkan untuk ber-tashbîh dan ber-tahmîd kepada Allah SWT. Ini merupakan ungkapan syukur atas semua kenikmatan yang telah diberikan-Nya. Apabila sikap ini yang dilakukan, dijanjikan akan ditambah kenikmatan lagi. Namun, jika bersikap sebaliknya, yakni ingkar terhadap kenikmatan-Nya, maka akan diancam dengan azab (lihat QS Ibrahim [14]: 7).
Selain tashbîh dan tahmîd, surat ini juga memerintahkan untuk istighfâr. Memperbanyak istighfâr adalah bagian dari ibadah yang diperintahkan. Istighfâr sebagai permohonan ampunan kepada Allah SWT dari semua dosa dan kesalahan yang dikerjakan. Istighfâr dari rasa bangga yang kadang muncul dan rasa takabur yang bisa jadi menyelinap ketika memperoleh kemenangan. Istighfâr dari kekurangan dalam memuji dan mensyukuri nikmat-Nya. Padahal kenikmatan yang didapatnya begitu melimpah ruah. Istighfâr dari munculnya perasaan yang mengecilkan pertolongan Allah SWT, seolah kemenangan semata hasil dari upaya yang dikerjakan. Padahal kemenangan itu hanya didapatkan karena mendapatkan pertolongan dari-Nya. Istighfâr dari tindakan zalim yang biasa dilakukan orang-orang yang menang dan kuasa terhadap orang-orang yang kalah dan lemah. Atas semua kesalahan itu, diperintahkan untuk Istighfâr kepada Allah SWT. Sebab, Dialah Yang berhak mengampuni seluruh dosa dan kesalahan hamba-Nya (Lihat: QS Ali Imran [3]: 135 dan al-Zumar [39]: 53).
Inilah yang harus dilakukan umat Islam ketika mendapatkan pertolongan dan kemenangan. Mereka tetap menjadi umat yang terbaik, apa pun kondisinya.
WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 22 (Beirut: Muassah al-Risalah, 2006), al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 508; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Birut: Dar al-Fikr, 1990), 445.
2 Al-Biqa’, Nazhm ad-Durar, vol. 12 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 312.
3 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya’ al-‘Arabi, tt), 255.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 22, 538; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 508.
5 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 7, 450.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4, 2086.
7 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 508.
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (Riyadh: 2000), 670; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 721.
9 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4 (Birut: Dar al-Fikr, 2000), 2085.
10 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 509.
11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 22, 538; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 509.
12 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 524. Lihat juga al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30, 255.
13 Asy-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 9 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 137.
14 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 22, 538. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4, 2086; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (Riyad: Dar Thayyibah, 1992), 575.
15 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 7, 451; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 524.
16 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 389.
17 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15, 722
18 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 7, 451; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 524.
19 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4
20 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 7, 452.
21 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 7, 452
22 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 525.