Hiwar

Ustadz Yuana Ryan Tresna: Hijrah Harus Menghasilkan Perubahan

Pengantar Redaksi:

Banyak pelajaran penting dari peristiwa Hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah. Yang terpenting dan paling menonjol adalah perubahan. Dari darul kufur ke Darul Islam. Dari sistem hidup jahiliah ke sistem kehidupan Islam.

Bagaimana caranya? Apa saja faktor-faktor penghambatnya? Apa pula faktor-faktor penting yang harus diupayakan oleh umat?

Itulah beberapa hal yang akan dipaparkan oleh Ustadz Yuana Ryan Tresna, Mudir Ma’had Khadimus Sunnah, dalam wawancara dengan Redaksi kali ini,   

 

Apa yang bisa dipelajari dari peristiwa hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah?

Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik. Hal terpenting adalah bahwa hijrah itu adalah momen perubahan besar dunia dan kebangkitan Islam.

Secara bahasa, hijrah dapat diartikan berpindah tempat. Secara syar’i, para fuqaha mendefinisikan hijrah sebagai “keluar dari darul kufur ke Darul Islam”. Penjelasan tersebut bisa dibaca dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II karya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani.

Darul Islam adalah suatu wilayah yang menerapkan hukum-hukum Islam dan keamanan wilayah tersebut berada di tangan kaum Muslim. Darul kufur adalah suatu wilayah yang menerapkan hukum-hukum selain Islam dan atau keamanannya tidak didasarkan pada Islam, yaitu tidak berada di tangan kekuasaan dan pertahanan kaum Muslim, sekalipun mayorias penduduknya adalah orang-orang Islam. Pengertian ini diambil dari sebuah hadis riwayat Sulaiman bin Buraidah.

 

Jadi hijrah Rasul bukan karena takut, mencari penghidupan baru, atau yang lain, ya Tadz?

Ya, sama sekali bukan. Saat itu, Nabi saw. dan para Sahabatnya hijrah dari darul kufur di Makkah, lalu membentuk Darul Islam di Madinah. Ketika kaum Muslim keluar dari Kota Makkah menuju kota Madinah, motivasi utama mereka adalah keimanan dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Untuk menyelamatkan agama mereka dari fitnah yang ditimbulkan dari kaum musyrik Quraisy. Kota Madinah, sebagai negara baru (Daulah Islam) yang dipimpin oleh Nabi saw. memberikan keamanan bagi warganya. Bahkan, mengembangkan kehidupan mereka sebagai umat baru dengan peradaban baru. Lalu hijrah dari Makkah ke Madinah berakhir, tetapi hijrah yang bermakna perpindahan dari kondisi tidak islami (berupa darul kufur) menuju kondisi yang Islami (Darul Islam) terus berlangsung hingga saat ini.

 

Komponen apa saja yang dipakai Rasulullah saw. untuk mengubah masyarakat jahiliah menuju kegemilangan Islam?

Hal yang paling esensial adalah sistem. Karena perubahan masyarakat itu adalah perubahan sistem kehidupan. Kita bisa lihat perbedaan yang begitu jelas antara masyarakat Makkah dan Madinah. Sebelum dan sesudah Rasul hijrah. Masyarakat Arab sebelum Rasulullah hijrah adalah masyarakat jahiliah. Peraturan hidup yang mendominasi adalah aturan-aturan jahiliah. Kecenderungan perasaan dan pemikirannya pun dikooptasi oleh pemikiran dan perasaan jahiliah. Akidah/ideologi, kehidupan sosial, keadaan ekonomi dan politik dalam kondisi kegelapan.

Akidah masyarakat Arab saat itu penuh dengan kemusyrikan. Meskipun mereka mengenal keesaan Tuhan, dalam realitas ibadah mereka banyak sekali menyekutukan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. Mereka, orang-orang Arab, berkeyakinan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Kondisi peribadatan dan sikap akidah demikian menjadikan tauhid yang mereka miliki rancu. Keesaan Tuhan yang mereka peroleh akhirnya bercampur-baur dengan berbagai khurafat.

Kehidupan sosial Makkah saat itu dicirikan dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Rata-rata dari mereka adalah peminum arak. Mereka biasanya melakukannya dalam sebuah pertemuan yang disertai dengan perjudian dan dihibur oleh perempuan-perempuan penyanyi.  Pelacuran atau perzinaan di Jazirah Arab saat itu adalah hal yang biasa. Rumah-rumah pelacur memiliki tanda-tanda khusus sehingga memudahkan dikenali oleh para hidung belang saat itu.

Pencurian, pembegalan dan perampokan juga menyeruak di mana-mana. Bahkan Ka’bah, rumah suci yang amat dimuliakan oleh bangsa Arab, pernah kecurian barang-barang berharga. Demikian pula dengan kekejaman dan kebiadaban bangsa Arab saat itu. Melampaui batas kemanusiaan. Anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dalam tanah.

Aktivitas perekonmian bangsa Arab yang kebanyakan berdagang sangat kental dengan riba.  Bahkan pemberian pinjaman dengan riba yang berlipat ganda telah menjadi adat istiadat sehingga tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Uang yang mereka peroleh juga sering dihabiskan di meja judi dan berbagai pertaruhan lainnya.

 

Dalam konteks kekinian, apakah peristiwa hijrah Rasul bisa dijadikan role model perubahan sebuah bangsa?

Ya, jelas. Di sinilah urgensi merefleksikan peristiwa hijrah Nabi saw. sekaligus introspeksi terhadap kehidupan yang sekarang kita jalani. Sesungguhnya kita sekarang berada dalam kehidupan yang tidak islami. Hukum dan keamanannya bukan di bawah otoritas Islam.

Karena itu merenungi kembali peristiwa hijrah Nabi saw. dan merekontruksinya untuk kebaikan peradaban pada masa yang akan datang adalah jalan mulia yang harus ditempuh. Jalan itu adalah merekontruksi esensi terpenting hijrah yakni sebuah transformasi masyarakat. Perubahan masyarakat dari jahiliah menjadi masyarakat Islam, dari sistem kapitalisme menuju sistem Islam.

 

Dalam konteks sekarang, apa saja yang perlu disiapkan untuk perubahan itu?

Dakwah untuk perubahan sistem kehidupan. Kita bisa belajar kepada Baginda Rasulullah saw. Secara politis, bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan negara-negara saat itu. Dua negara adaidaya, Persia dan Kristen Byzantium, saling berebut kekuasaan. Keduanya sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.

Adapun entitas kehidupan di Madinah yang di bangun Rasulullah pasca-hijrah merupakan entitas masyarakat yang khas. Peraturan, pemikiran dan perasaan masyarakat di Madinah benar-benar dalam bimbingan Islam. Dengan sangat indah Rasulullah saw. menggambarkan Madinah dengan sabdanya, “Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah s.aw. mengibaratkan Madinah seperti tungku (tukang besi). Tungku tukang besi pada prinsipnya membentuk besi menjadi sesuatu benda yang berguna semisal pedang atau parang. Pada proses pembentukannya dilakukan pemanasan dan pemukulan sehingga melepaskan besi-besi kotor yang tidak berguna. Demikian pula yang dilakukan Rasulullah saw. dalam membangun Madinah sebagai sebuah masyarakat Islam. Beliau benar-benar merancang, mempersiapkan Madinah sebagai sebuah masyarakat yang merepresentasikan ideologi Islam. Menstabilkan kondisi masyarakat dengan melakukan berbagai perjanjian dengan masyarakat non-Islam maupun masyarakat tetangga. Bahkan Rasul tidak segan-segan mengusir kaum Yahudi dari Madinah karena merusak perjanjian dan demi mempertahankan Madinah sebagai sebuah masyarakat yang khas.

Keadaan sekarang pun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan bangsa Arab sebelum hijrah Rasul saw. Berada dalam kondisi yang sangat buruk. Kondisi inilah yang digambarkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di dalam QS ar-Rum ayat 41: Zhaharal fasad fil barri wal bahri bima kasabat aydinnasi liyudziqahum ba’dhalladzi ‘amilu la’allahum yarji’un.

Al-Hafizh asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir, (V/475) menjelaskan pengertian ayat di atas, bahwa syirik dan maksiat merupakan sebab lahiriah “fasad” di dunia.

Menurut Imam Abul ‘Aliyyah, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim  (VI/320), bahwa siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di atas bumi, sungguh dia telah menimbulkan kerusakan di bumi, karena baiknya bumi dan langit adalah dengan ketaatan (kepada Allah).

Dalam prespektif Islam, fasad atau kerusakan yang selama ini terjadi seperti banjir, tanah longsor, krisis sosial seperti dehumanisasi, krisis dan penjajahan ekonomi, runtuhnya penegakkan hukum dan keadilan, serta campur tangan asing pada hampir seluruh dimensi kehidupan. Begitu pula dengan hilangnya kemerdekaan kita. Semuanya adalah buah perbuatan maksiat yang kita lakukan.

 

Mungkinkah umat Islam bersatu untuk melakukan perubahan?

Sangat mungkin. Saat ini umat Islam sudah muak dengan sistem yang ada. Apalagi ketidakcakapan yang ditunjukkan para pemimpinnya. Berbagai kezaliman yang terjadi hari ini adalah salah satu pemicunya. Umat mencari alternatif lain. Kalau bukan Islam, lantas apa lagi?

 

Faktor-faktor apa saja yang di miliki umat Islam untuk mewujudkan dan mempercepat perubahan itu?

Modal penting yang melekat pada umat ini adalah ukhuwah (persaudaraan). Urgensi ukhuwah islamiyah itu paling tidak bisa dijelaskan melalui beberapa keutamaan: Pertama, ukhuwah menciptakan persatuan (wihdah). Kedua, ukhuwah menciptakan kekuatan (quwwah). Ketiga, ukhuwah menciptakan kasih sayang (mahabbah). Persatuan, kekuatan dan kasih sayang ini merupakan perkara yang amat vital pada saat ini.

Beberapa ayat al-Quran seperti dalam surat Ali Imran ayat 103, az-Zukhruf ayat 67, al-Anfal ayat 63, dan al-Hujurat ayat 10 memberikan pesan kepada kita, betapa ukhuwah itu sangat berharga dalam Islam. Ia adalah pondasi kuat sekaligus mercusuar umat. Ia adalah nikmat sekaligus perkara yang harus dirawat. Di antara perkara utama dari ukhuwah islamiyah ini adalah bahwa ia merupakan modal kebangkitan umat.

 

Perubahan seperti apa agar umat Islam tidak terjatuh dalam lubang kegagalan terus-menerus?

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, yaitu perubahan sistem kehidupan. Mewujudkan sistem Islam, yakni Darul Islam, sama artinya dengan usaha mewujudkan Khilafah yang telah dijanjikan. Kita harus mampu merefleksikan peristiwa hijrah tersebut dan introspeksi atas kondisi faktual kita. Hal itu dilakukan semata untuk merekontruksi sejarah demi kebaikan pada masa yang akan datang, melalui agenda penting perubahan masyarakat. Kita tidak bisa lagi berharap pada kapitalisme apalagi Amerika Serikat (AS). AS tak ubahnya sebagai “the new sick man”, karena AS mendasarkan pemerintahannya pada sistem yang corrupt. Artinya, menggantung-kan secuil harapan saja pada kapitalisme merupakan bentuk kelemahan intelektual dalam memahami fakta berikut muatan filosofis yang terkandung di dalamnya.

 

Bagaimana sikap kita terhadap Barat dan kaki tangannya yang senantiasa berusaha menghalangi kebangkitan umat Islam?

Fokus saja membangun kekuatan politik umat. Itu kekuatan hakiki yang bisa menghalau kekuatan makar mereka. Pondasinya adalah ukhuwah islamiyah. Kalau kita lihat sejarah 1400 tahun silam, tampak jelas bagaimana Islam menghimpun orang-orang Arab yang saling membanggakan diri, kemudian menghimpun Arab dan non-Arab, kemudian non-Arab dengan non-Arab, lalu melebur mereka dalam bingkai yang satu. Dari mereka terbentuklah umat yang memimpin dunia lebih dari seribu tahun. Islam juga menyatukan manusia secara intelektual dan emosi, dan menjadikan manusia sebagai saudara yang mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Setiap Muslim mengetahui hak saudaranya sehingga ia tidak akan menzaliminya.

 

Apa yang dilakukan oleh umat Islam untuk mempercepat proses perubahan itu?

Menguatkan dakwah, perjuangan dan pengorbanan. Aktualisasi hijrah dalam konteks sekarang harus dimaknai dengan perjuangan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam ranah individu, masyarakat dan negara. Dengan kata lain, aktualisasi hijrah sekarang harus diwujudkan dengan cara berjuang menegakkan kembali kekuasaan Islam yang akan menjamin pelaksanaan hukum hijrah itu sendiri. Sebab, hijrah dalam konteks berpindahnya kaum Muslim dari dar al-kufr menuju Dar al-Islam hanya akan bisa ditegakkan jika di tengah-tengah kaum Muslim telah tegak kekuasaan Islam. Hanya dengan itu, kaum Muslim bisa berpindah (hijrah) dari sebuah kondisi dan negeri yang kufur menuju kondisi dan negeri yang islami.  Dengan begitu, tujuan utama hijrah yakni penjagaan atas jiwa dan agama kaum Muslim, bisa diwujudkan secara faktual.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 4 =

Back to top button