Hiwar

KH Rokhmat S. Labib: Kekuasaan Harusnya untuk Menegakkan Islam

Pengantar:

Kekuasaan dalam Islam tentu berbeda dengan kekuasaan dalam sistem Kapitalisme. Apa bedanya atau dimana letak perbedaannya? Apa yang menjadi dasar kekuasaan dalam Kapitalisme? Apa pula yang menjadi dasar kekuasaan dalam Islam? Bagaimana filosofi maupun praktik kekuasaan dalam sistem Kapitalisme? Bagaimana pula filosofi maupun praktik kekuasaan dalam sistem Islam?

Itulah di antara pertanyaan yang ditanyakan oleh Redaksi kepada KH Rokhmat S. Labib  dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut wawancara lengkapnya.

 

 

Apakah benar dalam Kapitalisme kekuasaan dan kepemimpinan itu untuk kepentingan para pemilik modal?

Benar. Begitulah realitas yang terjadi di berbagai negara yag menganut Kapitalisme. Termasuk di Indonesia.

 

Mengapa demikian?

Di antara prinsip dasar Kapitalisme adalah kebebasan individu atau individual rights. Di dalamnya  termasuk prinsip kebebasan kepemilikan atau property rights. Kebebasan kepemilikan ini memberikan kesempatan sangat luas bagi tiap individu untuk memiliki dan menguasai kekayaan dalam segala jenisnya. Termasuk menguasai tambang, hutan yang sangat luas, dan lain-lain.

Kebebasan kepemilikan itu disertai dengan pasar bebas yang membuka persaingan setiap orang untuk mendapatkan berbagai kekayaan tersebut. Secara teori, persaingan bebas itu memberikan peluang yang sama pada setiap orang untuk bersaing. Namun pada faktanya, persaingan bebas dimenangkan oleh para pemilik modal besar. Mereka yang tidak punya modal akan kalah dan tersingkir. Akibatnya, kekayaan akan terakumulasi pada segelintir orang.

Kondisi ini makin parah dalam sistem politik yang mendasarkan pada persaingan bebas. Secara teori, setiap orang juga bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan eksekutif. Namun sekali lagi, pada faktanya ia hanya bisa diakses oleh orang yang memiliki modal besar atau didukung oleh pemilik modal besar. Sebabnya, untuk memenangkan kontestasi dalam politik membutuhkan dana yang sangat besar.

Menurut Muhaimin Iskandar, biaya untuk menjadi anggota DPR bisa mencapai Rp 40 miliar. Untuk menjadi gubernur memerlukan dana lebih besar lagi. Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dibutuhkan biaya hingga Rp 100 miliar.

Bagi pemilik modal, kekuasaan tak ubahnya seperti investasi. Mereka tak masalah mengeluarkan dana yang besar. Harapannya, setelah kekuasaan berhasil digenggam, itu akan mendatangkan keuntungan yang jauh lebih besar. Dengan berkuasa, proyek-proyek APBN bisa didapat, bahkan bisa membuat berbagai peraturan dan kebijakan yag menguntungkan bisnis mereka.

Contohnya seperti UU Ciptaker yang banyak menguntungkan para pengusaha. Bayangkan, tambang batubara yang seharusnya menjadi milik umum dan harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat, diserahkan kepada perusahaan swasta. Sudah begitu, dalam UU tersebut terdapat pasal yang mengatur penghapusan royalti bagi pengusaha batubara yang melakukan nilai tambah terhadap batubara.

Maka dari itu, di negara-negara Kapitalisme, kekuasaan dikendalikan oleh segelintir para pemilik pemilik modal. Mereka itulah para oligarki.

 

Banyak orang menyebutkan bahwa Kapitalisme cara-cara meraih kekuasaannya menghalalkan segala cara. Benarkah demikian?

Ya, tidak salah. Kapitalisme itu sistem yang lahir dari aqidah Sekularisme. Aqidah ini memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Karena itu sistem Kapitalisme pasti akan menyingkirkan agama dari pengaturan negara. Padahal halal-haram merupakan ketentuan agama, tepatnya Islam. Karena itu sistem Kapitalisme akan menghalalkan semua cara.

 

Apakah kepemimpinan dalam sistem kapitalis akan menghasilkan kesejahteraan?

Bagi rakyat kebanyakan jelas tidak. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir para pemilik modal. Penduduk miskin pada tahun 2023 sebesar 25,90 juta orang. Sebaliknya, kekayaan Prajogo Pangestu mencapai Rp 847,17 triliun. Low Tuck Kwong mencapai Rp 418,91 triliun. Di Amerika yang menjadi pusat Kapitalisme, jumlah orang miskinnya juga cukup besar. menurut Badan sensus sebanyak 12,4 persen penduduk AS hidup dalam kemiskinan pada tahun 2023.

 

Lalu sejauh mana pentingnya kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam?

Ya, penting sekali. Bahkan mutlak harus diwujudkan.

 

Bagaimana Islam memandang kepemimpinan?

Keberadaan pemimpin menurut Islam itu sangat penting. Tentang betapa pentingnya keberadaan pemimpin,  Rasululah saw. bersabda, “Idzaa kaana tsalasat[un] fii safar[in] fal yuammirru ahadahum (Ketika ada tiga orang dalam safar atau bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu dari mereka pemimpin).” (HR Abu Dawud).

Dalam sebuah perjalanan, temponya hanya sebentar, dengan jumlah hanya tiga orang, sudah harus diangkat seorang pemimpin di antara mereka. Apalagi dalam masyarakat dan negara yang jumlahnya jauh lebih banyak dan hidup dalam jangka waktu yang lama.

Pemimpin juga menempati posisi yang sangat menentukan. Ibarat sopir dalam sebuah mobil yang membawa penumpang, maka nasib semua penumpang sangat ditentukan oleh kecakapan sopir dalam mengemudikan mobil. Jika sopir itu cakap mengemudikan dan mengetahui jalan yang bisa mengantarkan tujuan, maka penumpang akan sampai dengan selamat di tujuan. Sebaliknya,  jika sopirnya tidak cakap mengemudi, ugal-ugalan, dan tidak mengetahui jalan, maka semua penumpang akan celaka  dan tidak sampai tujuan.

Begitulah gambaran seorang pemimpin. Ini sebagaimana yang disampaikan oleh Hujjatul Islam al-Ghazali dalam Ihyaa‘ Ulûm al-Dîn: “Fasaad ar-ra’ayaa bi fasaad al-muluuk (Kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasa).”

Itu menunjukkan betapa besar pengaruh pemimpin terhadap rakyatnya.

 

Untuk apa kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam?

Dalam kaitannya dengan rakyat yang dipimpin, pemimpin berkewajiban melakukan ri’âyah atau pengaturan terhadap urusan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Al-Imaam alladzii ‘alaa an-naasi raa’in wa huwa mas’uulun ‘an ra’iyyatih (Pemimpin yang memimpin rakyat adalah adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai  pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin).” (HR al-Bukhari).

Makna asal ar-ri’âyah adalah hifzh asy-syay‘i; menjaga dan memelihara sesuatu. Itulah tugas pemimpin terhadap rakyatnya. Menjaga dan memelihara aqidah, darah, kehormatan, kekayaan, dan kehidupan mereka, dll.

Karena itu Islam mengecam keras pemimpin yang tidak menjalankan tugas tersebut. Rasulullah saw. sampai mendoakan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan rakyat yang dia urus. Beliau  bersabda, “AlLaahumma man waliya min amri ummatii syay’[an], fa syaqqa ‘alayhim, fasquq ‘alayh; wa man waliya min amri ummatii syay’[an] fa rafaqa bihim, farfuq bih (Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia menyayangi umatku, maka sayangilah ia).” (HR Muslim).

Apalagi pemimpin yang berani berlaku korup dan berbuat curang terhadap rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Maa min ‘abd[in] istar’ahulLaahu ra’iyyat[an] fa maata, wa huwa ghaasy[un] lahaa, illaa harramalLaahu ‘alayhi al-jannata (Tidak ada seorang hamba yang diamanahi oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga atas dirinya).” (HR ath-Thabarani).

 

Mungkinkan pemimpin Islam menjamin kesejahteraan rakyat?

Sangat mungkin.

 

Bagaimana cara Islam untuk mewujudkan itu semua?

Setidaknya ada dua hal. Pertama, dari segi sistem yang harus dijalankan pemimpin. Islam dengan seperangkat hukumnya memastikan setiap orang dapat terpenuhi kebutuhan pokoknya dan memberikan kemungkinan bagi mereka bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Secara ringkas, pemenuhan kebutuhan tersebut dengan mewajibkan kepada setiap laki-laki yang mampu dan punya tanggung jawab terhadap keluarganya untuk bekerja. Jika mereka tidak bisa karena berbagai penyebab, tanggung jawab itu dialihkan kepada ahli warisnya. Jika mereka pun tidak mampu maka tanggung jawab itu dialihkan kepada kaum Muslim dan Negara. Dengan begitu, dipastikan tidak ada seorang pun  yang tidak memenuhi kebutuhan pokok mereka.

Kedua, dari segi pemimpin yang harus menjalankan sistem tersebut. Islam mewajibkan pemimpin untuk mengurus rakyatnya dengan  benar. Pemimpin diwajibkan menunaikan amanah dan memutuskan perkara dengan adil. Ketika itu dijalankan, Islam memberikan penghargaan yang sangat tinggi. Dalam Hadis Nabi saw. disebutkan salah satu dari tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah SWT pada Hari Kiamat adalah imâm ‘âdil (pemipin yang adil).

 

Bagaimana  cara Islam memastikan bahwa calon pemimpin itu mampu dan mau menjalankan amanah?

Pertama: Islam mensyaratkan pemimpin harus Muslim, yakni orang yang beraqidah Islam atau beriman. Ingat, keimanan yang benar akan mendorong pelakunya untuk menjadi orang yang taat kepada Alllah SWT dan hukum-Nya. Tanpa iman, tidak akan ada dorongan untuk melakukan itu. Bahkan sebaliknya, ia akan mudah melakukan kezaliman dan kejahatan.

Kedua, pemimpin juga disyaratkan harus adil. Kebalikan dari sifat adil adalah fasiq. Orang fasik tidak sah diangkat sebagai pemimpin. Dengan demikian track record perilaku calon pemimpin sangat diperhatikan. Mereka yang suka bohong, korup dan melakukan kemaksiatan lainnya tidak boleh diangkat jadi pemimpin.

Ketiga, harus memiliki kemampuan. Bagi mereka yang tidak mampu menunaikan amanah diminta untuk tidak menerima jabatan itu, apalagi memintanya. Ketika Abu Dzar al-Ghifari ra. meminta jabatan kepada beliau, beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah. Sungguh jabatan itu adalah amanah dan pada Hari Kiamat adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambil amanah itu dengan haq dan menunaikan kewajiban yang dia pikul di dalamnya.” (HR Muslim).

Dengan kriteria pemimpin tersebut, maka sistem Islam yang memastikan setiap rakyat dapat memehi kebutuhannya itu dapat terwujud.

 

Apa perbedaan kekuasaan dalam Islam jika dibanding dengan ideologi lain?

Dalam semua ideologi lainnya,  kekuasaan hanya berorientasi pada dunia semata. Karena itu semua keputusan hanya didasarkan pada standar manfaat duniawi. Tidak ada halal-haram.

Ini jelas berbeda dengan Islam. Dalam Islam, menjalankan kekuasaan dan mengatur urusan rakyat harus berorientasi akhirat. Artinya, harus menjadikan halal-haram sebagai standar.

Tadi dikatakan bahwa Islam menjamin setiap individu dapat terpenuhi kebutuhan pokoknya dan memungkinkan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan tambahannya. Islam menetapkan bahwa dalam melakukan pemenuhan itu wajib terikat dengan ketentuan syariah. Sebagai contoh, riba tidak boleh dilakukan meskipun dianggap sangat bermanfaat. Sebabnya, itu diharamkan oleh syariah.

 

Untuk apa kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam?

Hal paling mendasar dalam kepemimpinan dan kekuasaan Islam adalah untuk menerapkan hukum Allah SWT. Telah maklum bahwa menerapkan syariah secara kaaffah itu wajib, sementara perintah itu tidak bisa dijalankan kecuali oleh Imam atau Khalifah. Karena itu keberadaan Imam atau Khalifah itu menjadi wajib, sebagaimana kaidah yang sangat masyhur: Mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib. Artinya, selama sebuah kewajiban tidak bisa dijalankan secara sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.

Tentang hal ini, ada rumusan yang sangat bagus disampaikan al-Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Dalam kitab itu disebutkan: Al-Imaamah mawdhuu’ah li Khilafah an-Nubuwwah fii hiraasah ad-diin wa siyaasah ad-dunyaa’ (Kepemimpinan itu diadakan dan diposisikan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia).”

Ketika menjelaskan tugas-tugas Khalifah, Imam al-Mawardi menyebutkan yang pertama adalah hifzh al-dîn, yakni menjaga dan memelihara agama dengan prinsip-prinsipnya yang kokoh dan segala sesuatu yang menjadi kesepakatan ulama salaf. Disebutkan juga, Khalifah harus menegakkan hukum dengan tegas agar segala yang dilarang oleh Allah tidak mudah dilanggar dan memelihara hak-hak hamba-Nya agar tidak mudah diselewengkan dan diremehkan.

Dengan demikian aspek mendasar yang membedakan kepemimpinan dan kekuasaan Islam adalah keberadaan aqidah dan syariah. Aqidah sebagai dasar kekuasaan. Syariah harus diterapkan dalam semua aspek kehidupan. Semua itu dilakukan dalam rangka mencari ridha Allah SWT. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − fifteen =

Back to top button