
Pengkhususan As-Sunnah (Bagian 1)
تَخْصِيْصُ السُّنّةِ
(Bagian 1)
Pengkhususan as-Sunnah maksud-nya adalah pengkhususan atas keumuman as-Sunnah. Pengkhu-susan itu tidak lain atas keumuman nas, termasuk atas keumuman as-Sunnah. Pengkhususan itu terjadi dengan dalil yang bersambung (muttashil[un]) dan dalil yang terpisah (munfashil[un]). Pengkhususan as-Sunnah dengan dalil yang bersambung hanya terjadi dengan nas as-Sunnah. Sebabnya, lafal yang dikhususkan dan yang mengkhususkan ada dalam nas yang sama. Ini yang disebut dengan pengkhususan bersambung (takhshîsh[un] muttashil[un]).
Pengkhususan as-Sunnah yang dibahas di sini adalah pengkhususan melalui dalil yang terpisah (takhshîsh[un] munfashil[un]). Hal itu terjadi melalui dalil yang lebih khusus dari nas as-Sunnah yang dikhususkan. Pengkhususan as-Sunnah itu terjadi dengan nas al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas.
Pengkhususan as-Sunnah dengan al-Quran
Pengkhususan as-Sunnah dengan al-Quran boleh. Ini menjadi pendapat mayoritas para imam, ulama ushul dan fuqaha. Pasalnya, al-Quran dan as-Sunnah sama-sama merupakan wahyu. Jadi apa yang dinyatakan oleh wahyu dikhususkan oleh apa yang juga dinyatakan oleh wahyu. Tentu ini boleh.
Al-Quran dinyatakan oleh wahyu secara lafal dan maknanya. Adapun as-Sunnah dinyatakan oleh wahyu secara maknanya saja, sementara lafalnya dari Rasul saw. Meski demikian, pengkhususan itu berkaitan dengan makna, bukan berkaitan dengan lafal. Jadi keberadaan as-Sunnah yang secara lafal berasal dari Rasul saw. itu tidak berpengaruh. Sebabnya, as-Sunnah itu secara makna berasal dari wahyu Allah SWT sehingga keumuman makna as-Sunnah dapat dikhususkan oleh kekhususan makna al-Quran.
Allah SWT berfirman:
وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩
Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).
Menurut Imam al-Amidi (w, 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, as-Sunnah itu termasuk syay’[in] (sesuatu) sehingga ada di bawah keumuman makna syay‘[in]. Jadi al-Quran sah menjadi menjelaskan (tibyân[an]). Yang mengkhususkan (al-mukhashshish) adalah yang menjelaskan (al-mubayyin). Dengan demikian al-Quran sah menjadi al-mukhashshish (yang mengkhususkan) as-Sunnah.
Adapun firman Allah SWT:
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ ٤٤
Kami telah menurunkan kepada kamu al-Quran agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (QS an-Nahl [16]: 44).
Ayat ini menjadikan Rasul saw. menjelaskan (al-mubayyin) al-Kitab yang telah diturunkan dan hal itu dengan Sunnah beliau. Ayat ini menunjukkan bahwa pengkhususan (takhshîsh) itu dari Rasul saw., bukan dari Allah SWT, yakni dengan as-Sunnah, bukan dengan al-Quran. Namun, sifat Nabi saw. sebagai al-mubayyin (yang menjelaskan) apa yang telah diturunkan, hal itu tidak menghalangi al-Quran menjelaskan as-Sunnah, karena as-Sunnah dan al-Quran sama-sama dari Allah. Dengan demikian al-Quran boleh menjelaskan, yakni mengkhususkan as-Sunnah.
Contoh pengkhususan as-Sunnah dengan al-Quran, dinyatakan klausul syarat yang disampaikan oleh Suhail bin Amru dalam Shulhu Hudaybiyah dan disetujui oleh Rasul saw.:
لاَ يَأْتِيكَ مِنَّا أَحَدٌ، وَإِنْ كَانَ عَلَى دِينِكَ إِلَّا رَدَدْتَه إِلَيْنَا
Tidaklah seorang pun dari kami datang kepadamu, jika dia di atas agamamu, kecuali engkau kembalikan dia kepada kami (HR al-Bukhari, an-Nasa’i di dalam Sunan al-Kubrâ, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ).
Lafal “ahad[un]” itu bersifat umum; mencakup laki-laki dan perempuan. Artinya, berdasarkan as-Sunnah dengan persetujuan Rasul saw., maka orang Muslim dari Quraisy baik laki-laki maupun perempuan yang datang kepada Rasul saw. harus dikembalikan. Lalu hal itu dikhususkan dengan firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٖ فَٱمۡتَحِنُوهُنَّۖ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّۖ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ مُؤۡمِنَٰتٖ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلۡكُفَّارِۖ ١٠
Hai orang-orang yang beriman, jika datang berhijrah kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Karena itu jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
Ayat ini mengkhususkan yang harus dikembalikan hanya yang laki-laki saja.
Contoh lain, sabda Rasul saw.:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَه إِلا الله
Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengatakan Lâ ilaaha illâlLâh (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan an-Nasai).
Hadis ini dikhususkan oleh firman Allah SWT:
… حَتَّىٰ يُعۡطُواْ ٱلۡجِزۡيَةَ عَن يَدٖ وَهُمۡ صَٰغِرُونَ ٢٩
… sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk (QS at-Taubah [9]: 29).
Jadi, sabda Rasul saw. itu dikhususkan pada kaum kafir selain ahlu-adz-dzimmah.
Contoh lainnya, Abu Sa’id al-Khudzri ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:
مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ
Apa yang dipotong dari hewan yang hidup maka itu bangkai (HR al-Hakim, Ibnu Majah dan Ibnu al-Jauzi).
Ketentuan ini dikhususkan oleh firman Allah SWT:
… وَمِنۡ أَصۡوَافِهَا وَأَوۡبَارِهَا وَأَشۡعَارِهَآ أَثَٰثٗا وَمَتَٰعًا إِلَىٰ حِينٖ ٨٠
…dan (Dia jadikan pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kalian pakai) sampai waktu (tertentu) (QS an-Nahl [16]: 80).
Sabda Rasul saw. itu menyatakan bahwa apapun yang dipotong dari tubuh hewan yang masih hidup merupakan bangkai dan haram. Lalu ayat ini mengkhususkan bulu domba (ash-shûf), bulu unta (asy-sya’ru) dan bulu kambing (al-wabar) yang diambil dari hewan itu yang masih hidup. Semua itu boleh dimanfaatkan.
Contoh lainnya, Rasul saw. bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَة أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأ
Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika berhadats sampai dia berwudhu (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah).
Sabda Rasul saw. ini bersifat umum; mencakup semua kondisi. Ini dikhususkan oleh firman Allah SWT:
… وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا … ٤٣
Jika kalian sakit, atau sedang dalam safar, atau datang dari tempat buang air, atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci) (QS an-Nisa’ [4]: 43).
Ayat ini mengkhususkan kondisi jika tidak mendapat air maka bertayamum, tidak berwudhu. Sebaliknya, jika mendapat air maka tetap berlaku sabda Rasul tersebut, yakni wajib berwudhu.
Contoh lainnya, Rasul saw. bersabda:
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ الله لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Ambillah dariku, ambillah dariku. Allah telah menjadikan jalan untuk mereka, gadis dengan perjaka (sanksinya) dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, sementara janda dengan duda (sanksinya) adalah dicambuk seratus kali dan dirajam (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai di Sunan al-Kubrâ, al-Baihaqi).
Ini bersifat umum mencakup orang merdeka dan hamba sahaya. Lalu ini dikhususkan oleh firman Allah SWT:
فَإِذَآ أُحۡصِنَّ فَإِنۡ أَتَيۡنَ بِفَٰحِشَةٖ فَعَلَيۡهِنَّ نِصۡفُ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ مِنَ ٱلۡعَذَابِۚ ٢٥
Jika mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami (QS an-Nisa’ [4]: 25).
Ayat ini menyatakan bahwa hamba sahaya wanita yang muhshan, jika berzina, maka hukumannya separuh dari hukuman wanita merdeka yang muhshan.
Pengkhususan as-Sunnah dengan al-Quran itu juga boleh dengan mafhuum dari nas al-Quran. Contohnya sabda Rasul saw.:
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ
Orang mampu yang menunda-nunda bayar utang berarti menghalalkan kehormatannya dan sanksinya (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Menurut Waki’ dalam riwayat Imam Ahmad, juga Sufyan dalam riwayat ath-Thabarani di dalam Al-Mu’jam al-Kabîr: “Yuhillu ’irdhahu, yakni syikâyatuhu (pengaduan atas dirinya); dan ‘uqûbatuhu, yakni habsuhu (penahanan dirinya)”. Menurut Ibnu al-Mubarak dalam riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi, “Yuhillu ‘irdhahu, yakni yughallazhu lahu (dikerasi); dan ‘uqûbatahu, yakni yuhbasu lahu (ditahan). Menurut Ali ath-Thanafisi dalam riwayat Ibnu Majah, “Yuhillu ‘irdhahu, yakni syikâyatuhu (diadukan); dan ‘uqûbatuhu, yakni sijnuhu (dipenjara).”
Ini dikhususkan oleh mafhuum firman Allah SWT:
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا ٢٣
Karena itu sekali-kali janganlah kalian mengatakan kepada keduanya (ibu bapak) perkataan “ah” dan janganlah kalian membentak mereka (QS al-Isra’ [17]: 23).
Mafhûm muwâfaqah ayat ini bahwa perlakuan tidak baik kepada orangtua (ibu bapak) lebih dari berkata “ah” lebih diharamkan. Mengadukan dan memenjarakan/menahan ibu bapak jelas haram menurut ayat ini. Jadi ketentuan hadis itu berlaku untuk debitur selain kedua orangtua (ibu bapak). Menurut Ibnu Najar al-Hanbali (w. 972 H) di dalam Syarhu Kawakib al-Munîr, “Ibu-bapak tidak diadukan dan tidak disanksi karena utang kepada anaknya, bahkan tidak dituntut. Ini menurut pendapat yang shahih dan menjadi pendapat mayoritas ulama.”
Ini seperti pendapat Imam al-Amidi (w. 630 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Qadhi Abu Ya’la (w. 458 H) di dalam Al-‘Iddah fî Ushûl al-Fiqhi, Imam asy-Syayrazi (w. 476 H) di dalam Al-Luma’ fî Ushûl al-Fiqhi, Imam al-Isnawi (w, 772 H) di dalam Nihâyah as-Sûl Syarhu Minhâj al-Wushûl dan ulama lainnya.
Ini beberapa contoh pengkhususan as-Sunnah dengan al-Quran. Pengkhususan itu dapat dengan manthûq dan mafhûm.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]