Mengkritisi Dalil Yang Membolehkan Kanz Al-Mal
Pada penjelasan sebelumnya sudah dibuktikan lemahnya argumentasi pendapat yang membolehkan menyimpan emas dan perak jika dikeluarkan zakatnya. Tidak ada satu pun dalil yang absah dijadikan argumentasi untuk mendukung pendapat itu.
Adapun hadis Ummu Salamah yang dijadikan dalil kdbolehan menyimpan emas dan perak jika dikeluarkan zakatnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dari ‘Utab bin Tsabit bin ‘Ajlan, dari ‘Atha` dari Ummu Salamah, bahwa ia berkata:
كُنْتُ أَلْبِسُ أَوْضَاحاً مِنْ ذَهَبٍ، فَقُلْت: يَا رَسُوْلَ الله أَكَنْزٌ هُوَ؟ فَقَال: مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدِّى زكَاَتَهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ
Saya mengenakan perhiasan dari emas. Saya berkata, “Ya Rasulullah, apakah ini kanz (menyimpan)? Nabi saw. menjawab, “Apa yang sudah mencapai nisab ditunaikan zakat, lalu dizakati, maka ia tidak termasuk kanz.” (HR Abu Dawud).
Al-Ahdhah adalah suatu jenis dari perhiasan. Di dalam Al-Qamus al-Muhith disebutkan: Al-Wadlahu (diharakati) adalah putihnya pagi dan rembulan…; juga perhiasan dari perak. Bentuk jamaknya al-awdhah.
Hadis ini dha’if sehingga tidak absah dijadikan sebagai hujjah. Sebabnya, Tsabit bin ‘Ajlan masih diperbincangkan oleh ulama hadis karena beliau menyendiri dalam meriwayatkan hadis. Imam adz—Dzahabi menjelaskan biografi beliau, “Itsbat hadisnya ‘Utab yang berasal dari ‘Atha`, dari Ummu Salamah, diingkari.”
Seandainya hadis ini sahih maka ketentuan ini hanya berlaku khusus pada perhiasan yang dikenakan wanita. Mengenakan perhiasan tidak termasuk kanz. Jika perhiasan itu sudah mencapai nisab, dan dikeluarkan zakatnya, maka ia tidak termasuk kanz. Sebabnya, topiknya tidak termasuk dalam kanz, tetapi masuk ke dalam zakat perhiasan.
Hadis di atas tidak absah dijadikan dalil kebolehan menyimpan harta jika dikeluarkan zakatnya. Ini bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama: Hadis ini datang untuk menjawab suatu pertanyaan. Semua nas yang datang sebagai jawaban atas suatu pertanyaan atau datang untuk menjelaskan topik tertentu, hukumnya wajib dibatasi pada konteks pertanyaan dan topiknya. Ia tidak berlaku umum untuk segala sesuatu. Sebabnya, lafalnya berkaitan dengan pertanyaan dan topiknya. Atas dasar itu, hadis di atas hanya berlaku khusus pada perhiasan. Jika perhiasan telah dizakati, maka ia boleh disimpan. Adapun selain perhiasan tidak boleh (haram).
Tidak bisa dinyatakan, pelajaran itu diambil dari keumuman lafal bukan dari kekhususan sebabnya. Artinya, hadis itu berlaku umum untuk semua harta. Tidak bisa dinyatakan demikian. Pasalnya, as-sabab (sebab) itu berbeda dengan pertanyaan atau topik tertentu. Jika suatu nas berkaitan dengan pertanyaan atau topik tertentu, lafalnya berlaku umum pada topik atau pertanyaan itu saja. Tidak berlaku umum untuk semua topik. Sebagai contoh, Nabi saw. pernah ditanya kebolehan jual-beli kurma basah dengan kurma kering. Nabi saw. bertanya, “Apakah kurma basah (ruthab) akan susut jika kering?” Para Sahabat menjawab, “Iya.” Nabi saw. bersabda, “Jika demikian, tidak boleh.” (HR Abu Ya’la. Disahihkan Imam Al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Jawaban Nabi saw. berhubungan dan hanya berlaku pada topik yang ditanyakan, yakni jual-beli ruthab (kurma basah) dengan tamr (kurma kering).
Hadis riwayat Abu Dawud di atas tidak absah dijadikan hujjah untuk menetapkan kebolehan menyimpan emas dan perak jika dikeluarkan zakatnya. Sebabnya, topiknya berlaku khusus untuk perhiasan.
Kedua: Ayat zakat datang dalam bentuk umum untuk semua kanz (menyimpan harta), sedangkan hadis Ummu Salamah khusus untuk perhiasaan. Dengan demikian, hadis Ummu Salamah mengkhususkan keumuman ayat zakat. Dalam arti, semua kanz (menyimpan emas dan perak) diharamkan, kecuali perhiasan yang dikeluarkan zakatnya. Hadis Ummu Salamah tidak mungkin dipahami berlaku umum untuk semua harta. Sebabnya, jika hadis tersebut berlaku umum, maka ia menghapus keumuman ayat yang melarang kanz. Me-nasakh al-Quran dengan as-Sunnah tidak diperbolehkan walaupun mutawatir. Apalagi hadis Ummu Salamah adalah hadis ahad.
Berdasarkan dua tinjauan di atas, gugurlah hadis Ummu Salamah sebagai dalil kebolehan kanz jika dikeluarkan zakatnya.
Sebagian kaum Muslim yang membolehkan kanz jika dikeluarkan zakatnya juga beralasan bahwa ayat yang berisi larangan kanz telah dihapus dengan ayat yang mewajibkan zakat. Jawaban atas argumentasi ini adalah, ayat yang mewajibkan zakat turun pada tahun ke-2 Hijrah. Adapun ayat larangan kanz turun pada tahun ke-9 Hijrah. Ayat yang lebih awal turun tidak bisa menghapus ayat yang lebih akhir turun. Selain itu, menyatakan bahwa suatu ayat menghapus ayat lain harus ditunjukkan oleh dalil. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan adanya nasakh maka tidak ada nasakh di dalamnya.
Nasakh tidak cukup ditetapkan sekadar karena adanya pertentangan antara dua ayat. Hukum asal ayat-ayat di dalam al-Quran adalah tidak saling bertentangan. Jika zhahir ayat menunjukkan pertentangan, ulama tidak langsung menetapkan adanya nasakh. Mereka berusaha mengumpulkannya dan mencari jalan agar dua ayat itu bisa diamalkan. Pasalnya, mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara mutlak.
Adapun dakwaan mereka, bahwa ayat kanz telah dihapus dengan ayat zakat, jelas tidak terbukti. Zhahir ayat-ayat itu menunjukkan tidak adanya pertentangan sehingga keduanya masih mungkin diamalkan. Ayat kanz menyebut larangan kanz secara mutlak, sedangkan ayat zakat menetapkan kewajiban zakat. Bagaimana bisa dinyatakan ayat zakat menghapus ayat kanz, sedangkan keduanya mengandung ketentuan hukum yang tidak bertentangan?
Selain itu, bagaimana bisa dinyatakan ayat zakat menghapus ayat kanz, sedangkan ayat zakat turun lebih dulu daripada ayat kanz, bahkan berselisih tujuh tahun?
Sebagian kaum Muslim yang membolehkan kanz jika dikeluarkan zakatnya juga berargumentasi dengan hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar ra., bahwa beliau pernah berkata kepada seorang laki-laki Arab yang bertanya kepada dirinya mengenai QS at-Taubah ayat 34 (walladzina yaknizun adz-dzahab wa al-fidldlah):
مَنْ كَنَزَهَا فَلَمْ يُؤَدِّ زكَاتَهَا فَوَيْلٌ لَهُ، إِنَّمَا كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَنْزِلَ الزَّكَاةَ، فَلَمَّا نَزَلَتْ جَعَلَهَا الله طُهْرًا لِلْأَمْوَالِ
Siapa saja yang menyimpannya (emas dan perak) dan tidak mengeluarkan zakatnya, celakalah dia. Ini sebelum turun perintah zakat. Ketika turun perintah zakat, Allah menjadikan zakat sebagai penyuci harta-harta (HR al-Bukhari).
Mereka mengatakan, khabar Ibnu ‘Umar tidak dinyatakan takhshish Quran dengan as-Sunnah, atau nasakh Quran dengan as-Sunnah. Namun, hadis ini merupakan informasi sahih dari Ibnu ‘Umar tentang adanya nasakh al-Quran dengan al-Quran. Sebabnya, perintah zakat ditetapkan berdasarkan al-Quran, bukan dengan as-Sunnah. Hadis ini wajib diamalkan karena merupakan hadis sahih yang menuturkan ayat kanz (QS at-Taubah [9]: 34) dihapus ayat lain. Jawaban atas argumentasi ini adalah sebagai berikut:
Pertama, riwayat Ibnu ‘Umar, adalah hadis ahad yang berlaku di atasnya semua hukum hadis ahad. Hadis ahad hanya menghasilkan zhann, sedangkan ayat kanz qath’i tsubut dan dilalah. Yang qath’i harus dikuatkan dibandingkan yang zhanni. Hukum yang terkandung di dalam ayat kanz lebih kuat untuk tidak dihapus daripada dihapus berdasarkan riwayat ahad yang zhanni.
Kedua, khabar-khabar yang menuturkan nasakh ayat sama dengan riwayat hadits yang mengandung suatu hukum yang mengapus hukum lain yang terkandung di dalam ayat Quran. Sebagaimana hadis tidak bisa menghapus ayat, demikian juga riwayat Ibnu ‘Umar, ia tidak bisa menghapus ayat, sekadar karena ada informasi nasakh di dalamnya.
Ketiga, sesungguhnya Ibnu ‘Umar ra. tidak meriwayatkan adanya nasakh ayat dari Rasulullah saw. Sebabnya, konteks hadis Ibnu ‘Umar adalah jawaban beliau sendiri saat ditanya laki-laki Arab tentang ayat kanz. Jawaban beliau tidak disandarkan kepada Rasulullah saw. Dengan demikian, jawaban Ibnu ‘Umar ra. adalah pendapat beliau sendiri, bukan riwayat dari Rasulullah saw. Pendapat sahabat tidak absah dijadikan sebagai dalil syariah.
Keempat, zakat difardhukan pada tahun ke-2 Hijriyah, sedangkan ayat pengharaman kanz turun pada tahun ke-9 Hijriah. Bagaimana bisa dinyatakan, hukum yang terkandung di dalam ayat kanz dihapus dengan perintah zakat, sedangkan ayat zakat turun lebih dulu dibandingkan ayat kanz?
Empat tinjauan ini sudah cukup untuk menggugurkan istidlal dengan hadits Ibnu ‘Umar ra. Larangan kanz tidak dihapus oleh perintah zakat dan tetap berlaku tanpa ada batasan.
alLaahu a’lam bi ash-shawwaab. [Gus Syams]