
Syariah Islam
Konsekuensi seseorang mengimani dan mengesakan Allah SWT adalah ketundukannya pada syariah-Nya. Demikian sebagaimana perkataan sebagian ulama:
Tauhid itu mengharuskan adanya iman. Siapa saja yang tidak punya iman maka ia tidak bertauhid. Iman menuntut syariah. Siapa saja yang tidak menerapkan syariah maka tidak ada iman dan tauhid pada dirinya…1
Pembahasan tentang hukum syariah setidaknya mencakup pembahasan tentang: (1) Siapakah Al-Hâkim (Pembuat Hukum); (2) Al-Mahkûm ‘alayhi (Pihak yang dibebani dengan hukum syariah); (3) Al-Mahkûm fîh (perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan); (4) Hukum syariah itu sendiri.
Makna Al-Hâkim
Istilah al-hâkim dalam peradilan, maknanya adalah al-qâdhî. Dalam bidang politik, al-hâkim bermakna munaffidzu al-hukmi bayna an-nâs (pelaksana hukum di tengah-tengah manusia). Dua makna ini tidak dibahas dalam tulisan ini, yang akan dibahas adalah al-hâkim dalam terminologi ushul fikih, yakni yang bermakna:
Pihak yang memiliki otoritas untuk memberikan penilaian atas tindakan dan benda2.
Mengapa yang dinilai hanya perbuatan dan benda? Hal itu karena sesuatu yang terindera kemungkinannya hanya ada dua hal tersebut. Yang dimaksud dengan “penilaian atas tindakan dan benda” adalah berkaitan dengan penilaian status perbuatan-perbuatan manusia dan barang-barang yang digunakan manusia, apakah baik ataukah buruk, apakah terpuji ataukah tercela.
Apakah penetapan hukum tentang baik dan buruk, terpuji dan tercela itu wewenang akal atau wewenang syariah (Allah SWT)? Inilah objek pembahasan al-hâkim ini. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang pertama dan paling penting berkaitan dengan hukum. Pasalnya, pengetahuan terhadap hukum dan jenis-jenisnya bergantung pada hal ini. Begitu juga sikap manusia terhadap suatu perbuatan, apakah dia lakukan atau tidak dilakukan, dia berhak memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, itu juga berkaitan dengan pembahasan ini.
Pembuat Hukum
Penilaian terpuji (al-hasan) dan tercela (al-qabîh) atas perbuatan dan benda bisa dibagi dari tiga aspek: Pertama, dari segi realitasnya; apakah benda dan perbuatan tersebut? Kedua, dari sisi kesesuaian dan ketidaksesuaiannya dengan tabiat manusia dan kecenderungan fitrahnya. Ketiga, dari sisi pujian dan celaan atas pelakunya atau tidak ada pujian sekaligus celaan atas pelakunya; yakni dari sisi adanya pahala atau siksa atas pelakunya atau tidak ada pahala dan tidak ada siksa atas pelakunya.
Terkait dengan penilaian al-hasan dan al-qabîh dari aspek pertama dan kedua, manusia dengan akalnya memiliki otoritas untuk itu. Imam asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fuhûl menyatakan:
Asy’ariyah dan Muktazilah sepakat bahwa akal dapat memahami al-hasan dan al-qabîh dalam dua sisi. Pertama, selaras tidaknya suatu objek dengan tabiat manusia. Yang selaras dengan tabiat adalah hasan (terpuji) menurut akal dan yang disharmoni adalah tercela menurut akal. Kedua, terkait sifat kesempurnaan dan kekurangan; sifat kesempurnaan adalah terpuji menurut akal dan sifat-sifat kekurangan adalah tercela menurut akal.3
Contoh lainnya, dalam dua aspek pertama, akal mampu memahami bahwa ilmu adalah terpuji dan kebodohan adalah tercela; kaya itu terpuji dan miskin itu tercela; sehat itu terpuji dan sakit itu tercela. Begitu juga tampak jelas bagi akal, apakah kecenderungan fitri manusia menyukai atau sebaliknya menjauhi. Menolong orang yang kesulitan adalah terpuji dan menyakiti orang lain adalah tercela; memberi orang lain adalah terpuji dan mengambil harta orang lain secara paksa adalah tercela. Jelas, manusia itu cenderung pada perbuatan menolong orang kesulitan dan menjauhi dari menyakiti orang lain sebab tabiat manusia itu menjauhi kezaliman.
Akal menjadi al-hâkim dalam dua aspek itu. Sebabnya, hal itu kembali pada realita sesuatu yang bisa diindera oleh manusia dan dipahami oleh akalnya, atau kembali pada tabiat dan fitrah manusia. Manusia bisa merasakan dan akalnya bisa memahami. Karena itulah Rasulullah saw. marah kepada Muawiyah bin al-Hakam ra. saat mengetahui bahwa dia memukuli budaknya gara-gara ada gembalaannya ada yang hilang. Di sisi lain beliau tidak marah saat Muawiyah bin al-Hakam berbicara spontan saat salat berjamaah karena ketidaktahuannya. Hal ini karena untuk mengetahui bahwa memukuli budak adalah tercela itu cukup dengan akal saja, sementara untuk mengetahui bahwa berbicara dalam salat itu tercela tidak ditetapkan oleh akal, sehingga orang yang baru masuk Islam seperti Muawiyah bin al-Hakam wajar saja tidak mengetahuinya.
Adapun penilaian terpuji dan tercela dari sisi ketiga, yakni dari sisi pujian dan celaan atau dari sisi pahala dan siksa di akhirat, maka al-hâkim terhadap perbuatan dan sesuatu dari sisi ini adalah syariah, bukan akal. Imam al-Haramain (w. 478 H) menyatakan:
Kemudian, di antara hukum syariah adalah penetapan sesuatu tercela dan terpuji. Keduanya kembali pada perintah dan larangan (Allah). Maka dari itu, sesuatu tidak jelek dalam hukum Allah SWT karena zatnya, sebagaimana tidak terpuji karena zatnya.4”
Al-Hâkim dalam sisi ketiga ini adalah syariah semata tanpa akal. Hal itu berdasarkan argumentasi secara ‘aqli dan naqli. Argumentasi secara ‘aqli: Pertama, akal mustahil mengeluarkan hukum atas sesuatu yang tak bisa diindera. Keberadaan pujian dan celaan atas perbuatan dan sesuatu atau pahala dan siksa atas perbuatan atau sesuatu jelas tidak bisa diindera oleh akal. Karena itu mustahil akal bisa mengeluarkan status terpuji dan tercela atau pahala dan siksa atas perbuatan dan sesuatu. Itu artinya akal mustahil menjadi al-hâkim. Al-Hâkim dalam hal ini hanya syariah semata.
Kedua, status terpuji dan tercela itu tidak boleh diserahkan pada kecenderungan fitri manusia. Sebabnya, kecenderungan manusia itu menilai terpuji atas apa yang sesuai dengan kecenderungan itu dan menilai tercela apa yang tidak sesuai. Tak jarang, kecenderungan manusia sesuai dengan apa yang justru tercela seperti zina, riba, menampakkan kecantikan di muka umum, dsb. Sebaliknya, tak jarang kecenderungan manusia mencela sesuatu yang justru terpuji, seperti memerangi musuh, amar makruf nahi mungkar, berinfak, dsb. Menyerahkan penilaian status terpuji dan tercela pada akal artinya menyerahkan status hukum pada kecenderungan manusia atau hawa nafsu manusia. Ini akan mendatangkan bahaya (dharar) bagi umat manusia.
Ketiga, penilaian akal dan kecenderungan manusia itu dipengaruhi oleh kepentingan, situasi, lingkungan dan waktu. Akibatnya, penilaian manusia akan berubah-ubah. Ini berbahaya dalam hal penilaian terpuji dan tercela; menyebabkan status hukum yang salah dan berubah-ubah.
Dengan demikian penilaian terpuji dan tercela atas perbuatan dan sesuatu itu tidak boleh diserahkan pada akal, melainkan pada syariah. Sebab, syariahlah yang mengetahui hakikat terpuji dan tercela, pahala dan siksa atas perbuatan dan sesuatu.
Adapun argumentasi secara naqli atau secara syar’i, syariah telah mengaitkan penilaian terpuji dan tercela dengan perintah untuk mengikuti Rasul saw. dan mencela hawa nafsu. Banyak ayat al-Quran yang mengaitkan pahala dan surga atas apa yang diperintahkan atau dihalalkan oleh syariah, sebaliknya mengaitkan siksa dan neraka dengan apa yang dilarang atau diharamkan. Karena itu, sesuatu yang dipastikan secara syar’i bahwa al-hasan adalah apa yang dipuji oleh syariah dan al-qabîh adalah apa yang dicela oleh syariah.
Imam as-Sarakhsi (w. 483 H) menyatakan:
Apa yang benar-benar terpuji adalah apa yang dinilai terpuji oleh syariah dan apa yang benar-benar tercela adalah apa yang dinilai tercela oleh syariah.5
Dengan demikian, al-hâkim atas perbuatan dan sesuatu hanyalah syariah. Artinya, yang berhak menetapkan hukum atas perbuatan dan sesuatu hanyalah syariah, bukan akal. Inilah perbedaan dan kontradiksi paling mendasar antara Islam dan demokrasi.
WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]
Catatan kaki:
- Hasyim Asy’ari, Adabul ’Alim Wal Muta’allim (Jombang: Maktabah at-Turats al-Islamy, t.th), h. 12.
- Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, Cet. III., vol. 3 (Beirut: Dâr al-Ummah, 2005), h. 14.
- Muhammad bin ‘Ali As-Syaukani, Irsyâd Al-Fuhûl Ilâ Tahqîq al-Haqqi Min ‘Ilm al-Ushûl, Cet. I. (Beirut: Dâr al-Kitab al-’Arabi, 1999), Juz 1, h. 28.
- Imâm al-Haramain Abu al-Ma’âli Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, Al-Burhân Fî Ushûl al-Fiqh, Pentahkik. Shalah bin Muhammad bin Uwaidhah, Cet. I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), Juz 1, h. 8.
- Imam as-Sarakhsi, Ushûl As-Sarakhsi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), Juz 2, h. 65.