اَلصِّيْغَة لِلْعُمُوْمِ
Lafal/ungkapan umum adalah: lafzh[un] mufrad[un] al-ladzî yastaghriqu jamî’a mâ yashluhu lahu min afrâdihi bi lafzh[in] ay bi wadh’[in] wâhid[in] dûna maziyat[in] li ahadi afrâdihi ‘alâ al-âkhar fî ad-dalâlah illâ wurida at-takhshîsh (lafal tunggal yang mengambil semua satuannya yang layak untuk dirinya melalui satu lafal, yakni satu ketetapan makna asal tanpa keistimewaan untuk salah satu satuannya atas yang lain dalam hal maknanya, kecuali dinyatakan sebagai pengkhususan).
Lafal merupakan suatu bentuk redaksi (ash-shîghat), yakni ucapan yang menunjukkan makna tertentu. Lalu apakah ada redaksi atau bentuk lafal tertentu yang ditetapkan oleh ahlu al-lughah untuk menunjukkan keumuman?
Dalam hal ini secara garis besar ada dua pendapat. Pertama: Pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada redaksi khusus di dalam bahasa untuk umum. Ini merupakan pendapat minoritas ulama seperti Ibnu al-Muntab dari kalangan Malikiyah dan Muhammad bin asy-Syuja’ ats-Tsalji (al-Balkhi) dari kalangan Hanafiyah. Mereka disebut kelompok arbâb al-khushuush (Ibnu Qudamah [w. 621 H], Rawdhah an-Nâzhir, 2/14; az-Zarkasyi [w. 793 H], Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqhi, 4/23).
Kedua: Untuk umum ada redaksi khusus yang ditetapkan oleh ahlu al-lughah untuk menunjukkan keumuman secara hakikat. Ini merupakan pendapat jumhur, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad; juga kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan yang lainnya (Lihat: Az-Zarkasyi [w. 793 H], Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, 4/24). Ini yang lebih raajih (kuat).
Di dalam bahasa, terdapat redaksi-redaksi khusus yang menunjukkan keumuman. Terdapat lafal-lafal yang ditetapkan oleh ahlu al-lughah untuk keumuman. Dengan itu dibenarkan untuk berargumentasi dengan lafal tersebut bahwa yang diinginkan dari lafal itu adalah keumuman sehingga makna yang ditunjukkan bersifat umum (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 3/236).
Dari penelaahan terhadap nas-nas syariah, dapat diketahui bahwa redaksi atau lafal umum ada beberapa macam. Pertama: Berupa isim jamak. Ini ada tiga jenis: (1) isim jamak yang dimakrifatkan dengan alif lam li al-jinsi atau li al-istighrâq dan bukan li al-‘ahdi; baik isim jamak yang salîm (seperti al-muslimûn, al-muslimâtun) atau jamak taksîr (seperti ar-rijâl); (2) isim jamak yang naakirah, baik yang jamak salîm (seperti muslimûn, muslimâtun) atau jamak taksîr (seperti rijâl[un]); (3) isim mawshûl yang menunjukkan jamak, yakni al-ladzîna dan al-latî.
Kedua: Isim yang dimakrifatkan dengan idhâfah, baik isim jamak (seperti awlâdikum, ummahâtikum, rijâlikum, amwâlikum) maupun isim mufrad (seperti ‘aduwwikum, mâlu al-yatîm).
Ketiga: Isim mufrad yang dimakrifatkan dengan alîf lâm al-jinsiyah (alif lam yang bersifat jenis). Imam Ibnu Qudamah (w. 621 H) di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannatu al-Munâzhir merinci isim mufrad ini ada dua jenis: (1) isim jenis, yaitu isim yang tidak ada bentuk tunggalnya (seperti al-hayawân, an-nâs, al-mâ‘u, at-turâb); (2) lafzhu al-wâhidi, yakni lafal al-mufrad (seperti as-sâriqu, as-sâriqatu, az-zâniyu, az-zâniyatu, lafal al-insân dalam QS al-‘Ashr [103]: 2, dan lainnya).
Keempat: Isim naakirah dalam konteks naafiy (penafian), syarthu (syarat) atau naahiy (larangan). Misalnya, “mâ anzalallâhu ‘alâ basyarin min syay`[in]” (QS al-An’am [6]: 91); “in jâ`akum fâsiq[un] bi naba`[in]” (QS al-Hujurat [49]: 6); “lâ yaskhar qawm[un] min qawm[in] … wa lâ nisâ`[un] min nisâ`[in]” (QS al-Hujurat [49]: 11), lafal basyar[in], fâsiq[un], qawm[un], nisâ`[un]. Semuanya bermakna umum dalam konteksnya.
Kelima: Lafal “man” untuk yang berakal, “mâ” untuk yang tidak berakal, “ayyumâ dan ayyu” untuk yang berakal dan tidak berakal, “ayna, aynamâ, haytsu” untuk tempat, “matâ, ayyâna” untuk waktu, dan yang lainnya. Semua lafal ini bermakna umum dalam konteks syarat atau al-jazâ` dan istifhâm (pertanyaan). Contoh dalam konteks syarat atau jazâ`: “fa man syahida minkum asy-syahra falyashumhu” (QS al-Baqarah [2]: 185); “wa mâ tunfiqu min khayrin yuwaffa ilaykum” (QS al-Baqarah [2]: 72); atau sabda Nabi saw.: “‘alâ al-yaddi mâ akhadzat hattâ tu`adiyahu (tangan [orang] itu bertanggung jawab atas apa yang dia ambil sampai dia tunaikan [kembalikan]) (HR Ahmad); “aynamâ takûnû yudrikkumu al-mawtu” (QS an-Nisa’ [4]: 78).
Aisyah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا باطِلٌ، فَنِكَاحُهَا باطِلٌ، فَنِكَاحُهَا باطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَه
Perempuan siapapun yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil. Jika dia (suaminya) menggauli dirinya maka untuk dia (perempuan itu) mahar dengan apa yang menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih maka penguasa adalah wali orang yang tidak punya wali (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, asy-Syafi’iy, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Keenam: Apa yang ditegaskan dengan atau disandarkan pada lafal kullu, jamî’, ajma’. Misalnya “Kullu nafs[in] bi mâ kasabat rahînah (Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah dia perbuat)” (QS al-Muddatsir [74]: 38); juga sabda Rasul saw.: “Kullu mawlûd[in] yûladu ‘alâ al-fithrah … (Setiap anak dilahirkan di atas fitrah)…” (HR al-Bukhari).
Dalil bahwa ada lafal-lafal yang ditetapkan oleh ahlu al-lughah itu untuk menunjukkan keumuman adalah bahwa orang Arab membedakan antara penegasan (ta‘kîd) umum dan khusus dalam asal penetapan bahasanya. Mereka mengatakan tentang kekhususan: “Raytu Zayd[an] ‘aynahu nafsahu”. Mereka tidak mengatakan: “Raytu Zayd[an] kullahum ajma’în”. Mereka berkata tentang keumuman: “Raytu ar-rijâla kullahum ajma’în”. Mereka tidak mengatakan: “Raytu ar-rijâla ‘aynahu nafsahu”.
Perbedaan penegasan itu menunjukkan perbedaan yang ditegaskan (al-mu‘akkad). Sebabnya, penegasan (ta‘kîd) itu sesuai dengan yang ditegaskan (al-mu‘akkad). Ini menunjukkan bahwa ahlu al-lughah memang menetapkan lafal tertentu untuk menunjukkan keumuman (Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 3/237).
Nas-nas syariah menggunakan lafal-lafal itu untuk menunjukkan keumuman. Imam ath-Thabarani, misalnya, telah mengeluarkan di dalam Mu’jam al-Kabîr hadis nomor 12739 dari Ibnu Abbas ra. ketika turun ayat:
إِنَّكُمۡ وَمَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنتُمۡ لَهَا وَٰرِدُونَ ٩٨
Sungguh kalian dan apa saja yang kalian sembah selain Allah adalah umpan Neraka Jahanam; kalian pasti masuk ke dalamnya (QS al-Anbiya’ [21]: 98).
Abdullah ibnu az-Ziba’ra berkata: Aku mendebat Muhammad untuk kalian. Lalu dia berkata: “Muhammad, bukankah yang diturunkan kepada engkau: “Sungguh kalian dan apa saja yang kalian sembah selain Allah adalah umpan Neraka Jahanam; kalian pasti masuk ke dalamnya”? Beliau menjawab, “Benar.” Lalu dia berkata, “Ini Nashara menyembah Isa, Yahudi ini menyembah ‘Uzair dan Bani Tamim ini menyembah malaikat. Lalu mereka di neraka?” Lalu Allah SWT menurunkan firman-Nya:
إِنَّ ٱلَّذِينَ سَبَقَتۡ لَهُم مِّنَّا ٱلۡحُسۡنَىٰٓ أُوْلَٰٓئِكَ عَنۡهَا مُبۡعَدُونَ ١٠١
Sungguh orang-orang yang pernah ada, untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami. Mereka itu dijauhkan dari neraka (QS al-Anbiya’ [21]: 101).
Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Imam al-Baghawi (w. 321 H) di dalam Syarhu Musykal al-Atsâr, hadis nomor 986; Muhammad bin Ishaq al-Fakihi (w 279 H) di dalam Akhbâr Makkah fî Qadîm ad-Dahri wa Hadîtsihi, hadis nomor 1362; Imam al-Hakim di dalam Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn, hadis nomor 3449, dan ia berkata, “Ini hadis shahih sanad-nya, tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkan hadis tersebut.” Adz-Dzahabi di dalam Talkhîsh-nya menyatakan, “(Hadis ini) shahih.”
Ibnu az-Zib’ara berargumentasi dengan keumuman lafal mâ mencakup apa saja selain Allah yang disembah sehingga termasuk Isa as., ‘Uzair dan malaikat, adalah di neraka. Pemahaman az-Zib’ara itu tidak diingkari oleh Nabi saw., tetapi Allah menurunkan QS al-Anbiya] [21]: 101 untuk mengkhususkan keumuman itu sehingga Isa as., ‘Uzair dan malaikat tidak di neraka.
Selain itu, juga telah terjadi Ijmak Sahabat atas pemberlakuan banyak lafal di dalam nas syariah pada keumumannya. Misalnya, mereka memberlakukan “az-zâniyatu wa az-zâniyu”, “wa as-sâriqu wa as-sâriqatu”, “wa man qutila mazhlûm[an]”, “wa dzarû mâ baqiya min ar-ribâ”, “wa lâ taqtulû anfusakum”, “lâ taqtulû ash-shayda wa antum hurum”, “lâ washiyata li wârits[in]” (HR Ahmad), “lâ tunkahu al-mar`atu ‘alâ ‘ammatihâ wa lâ ‘alâ khâlatihâ” (HR Muslim) dan masih banyak lainnya dengan menerapkan lafal-lafal tersebut dalam keumumannya.
Semua itu menegaskan bahwa ahlu al-lughah telah menetapkan redaksi atau lafal-lafal tertentu untuk keumuman. Lafal-lafal itu dijadikan argumentasi bahwa dia menunjukkan konotasi yang bersifat umum, yakni encakup atau berlaku atas semua unit/ satuannya, kecuali jika ada pengkhususan terhadap keumuman tersebut.
Dengan demikian memang ada redaksi atau lafal khusus yang ditetapkan oleh ahlu al-lughah yang bersifat umum, yaitu berbagai redaksi atau lafal yang disebutkan di atas.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]