Dunia IslamTsaqafah

Cina Mediasi Rekonsiliasi Saudi-Iran, Ada Apa?

Rekonsiliasi Saudi-Iran tak pelak mengundang perhatian banyak pihak. Pasalnya, kedua negara ini telah lama berseteru dan tampak berseberangan dalam banyak hal. Iran dalam kurun waktu yang panjang kerap dituduh aktif mengekspor ‘ideologi’-nya di kawasan Timur Tengah. Belum lagi perkembangan nuklir Iran yang dianggap mengancam keamanan Kawasan, termasuk Saudi. Dalam kasus Yaman, Iran dianggap mendukung musuh Saudi, kelompok Houti. Isu sektarian pun kerap muncul antara Sunni dan Syiah.

Setelah terputus selama enam tahun, Arab Saudi dan Iran sepakat untuk memulihkan kembali hubungan diplomatiknya. Yang yang juga mengundang tanda tanya, kesepakatan pemulihan hubungan keduanya ini disepakati di Beijing, Cina, pada Jumat (10/3/2023), dengan ditengahi diplomat paling senior negara itu, Wang Yi. Muncul anggapan rekonsiliasi Saudi-Iran ini berseberangan dengan kepentingan Amerika dan Israel. Benarkah perkembangan terakhir ini mengancam kepentingan Amerika?

Sebagai sebuah negara besar yang punya banyak kepentingan di wilayah yang ‘super’ strategis pula, tentu Amerika tidak akan pernah membiarkan perkembangan apapun yang mengancam kepentingannya. Apalagi di Kawasan Timur Tengah Amerika memiliki kepentingan yang besar mulai dari ideologis, geopolitik, kekayaan alam hingga faktor menjaga eksistensi entitas Yahudi di kawasan itu. Karena itu sangat tidak masuk akal kalau perkembangan yang terakhir ini di luar jangkauan atau kendali negara super power ini.

Penting pula dicatat, dalam menjalankan strategi global maupun regionalnya, Amerika kerap menjalankan politik ‘dua wajah’ yang seolah bertentangan, namun pada dasarnya tetap dalam kerangka kepentingan Amerika. Karena  itu sangat ‘lugu’ memahami sepak terjang Amerika hanya dari apa yang ada di depan mata. Harus juga dijangkau apa yang ada di balik satu peristiwa. Politik ‘dua wajah’ ini tampak di kawasan Timur Tengah dari bagaimana sikap Amerika menempatkan Saudi dan Iran dalam kendali atau orbit kepentingan Amerika.

Saudi diposisikan sebagai negara yang secara general diposisikan sebagai mitra Amerika. Washington secara terbuka menunjukkan hal itu dalam pergolakan kawasan Timur Tengah. Tampak dalam kunjungan yang intensif para pemimpin Amerika ke Saudi dan tentu saja disambut positif oleh Saudi. Hampir semua presiden terpilih Amerika dalam kurun waktu panjang memiliki agenda prioritas untuk berkunjung ke Saudi Arabia. Amerika pun secara terbuka menunjukkan keseriusannya untuk mempertahankan hubungan dengan Saudi.

Bahkan dalam isu-isu kritis seperti tudingan Saudi melindungi al-Qaida, atau ancaman wahabisme, termasuk isu pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Saudi, Amerika—meskipun tentu saja berkomentar—tetap  mempertahankan relasi positifnya dengan Saudi. Tentu saja dalam kasus tertentu kelihatannya Saudi ‘melawan’ Amerika seperti masalah harga minyak.

Adapun Iran diposisikan oleh Amerika sebagai negara musuh yang berseberangan dengan Amerika. Iran bahkan dianggap sebagai pendukung teroris. Bahkan di era George W. Bush bersama Irak, Korea Utara, negara ini (Iran) disebut sebagai poros setan (Axis of Evil). Amerika juga berseteru dengan Iran secara terbuka dalam masalah pengembangan kemampuan nuklir Iran. Namun, perlu diperhatikan, dalam banyak hal justru Iran melakukan beberapa langkah politik yang sejalan dengan kepentingan Amerika, meskipun dalam posisi ‘musuh’ Amerika.

Sejak awal Revolusi Iran, peran Amerika tidak bisa diabaikan. Selama keberadaan Khomeini di Prancis di “ Neauphle-le-Château”, ia dikunjungi delegasi Gedung Putih dan terjadi perjanjian kerjasama Khomeini dengan Amerika.  Hal ini pernah diungkap mantan Presiden Iran Abu al-Hasan Banu Shadr pada 1 Desember 2000 di channel Aljazeera. Dalam pergolakan di Timur Tengah, Iran kerap dimunculkan oleh Amerika sebagai ancaman, terutama nuklirnya, untuk melegitmasi ‘payung keamanannya’ di kawasan ini.

Lalu dalam dinamika politik Lebanon yang ada dalam kendali Amerika, Washington membiarkan keberadaan Hizbullah yang didukung penuh Iran. Termasuk membiarkan Hizbullah bersama Iran mendukung keberadaan rezim Assad dalam konflik Suriah.

Dalam pergolakan di Irak masa pendudukan, khususnya setelah tahun 2005, Amerika mengizinkan sampainya koalisi partai yang mendukung Iran untuk sampai ke pemerintahan dengan pimpinan Ibrahim al-Ja’fari dan berikutnya al-Maliki. Amerika pun membiarkan Iran mendukung pemerintah boneka Amerika ini untuk memperkuat posisinya. Iran segera membuka kedutaan besar di Irak langsung setelah pendudukan.  Begitu al-Ja’fari terpilih, menteri luar negeri Iran waktu itu, Kamal Kharazi, langsung mengunjungi Baghdad pada tahun 2005.

Presiden Iran Ahmadinejad mengunjungi Irak pada awal tahun 2008. Irak berada di bawah reruntuhan pendudukan secara langsung. Ahmahdinejad menjadi presiden pertama yang mengunjungi Irak pada awal taun 2008 di bawah reruntuhan pendudukan.  Nejad juga melakukan kunjungan ke Afganistan tahun 2010, sementara Afganistan masih ada di bawah pendudukan Amerika. Nejad memberikan dukungan kepada rezim Karzai, pelayan pendudukan Amerika.

Karena itu sangat sulit diterima kalau rekonsiliasi ini di luar kendali Amerika. Apalagi kemudian dikatakan Cina telah menggeser kepemimpinan Amerika di kawasan ini. Hal ini tampak dari proses rekonsiliasi ini tidak lepas dari koordinasi dengan Amerika. Amerika telah menyambut baik kesepakatan itu. Juru bicara Gedung Putih Karen Jean-Pierre mengatakan, “Kami mengetahui laporan tentang kesepakatan antara Iran dan Arab Saudi. Secara umum kami menyambut baik setiap upaya untuk membantu mengakhiri perang di Yaman dan meredakan ketegangan di kawasan Timur Tengah. Ini adalah salah satu sebab yang mendorong Presiden Biden untuk melakukan perjalanan ke kawasan tersebut selama musim panas lalu untuk melakukan berbagai pembicaraan.”

Demikian pula, pada 16/3/2023, kanal Al-Arabiya Saudi, mengutip seorang pejabat Arab Saudi, “Kerajaan Arab Saudi memberi tahu sekutunya, termasuk Amerika Serikat, sebelum menandatangani kesepakatan dengan Iran di Beijing. Al-Khaleej online, pada 17/3/2023, melansir pernyataan pejabat Amerika bahwa “pembicaraan sedang terjadi di koalisi politik Irak, bahwa Amerika Serikat adalah pihak yang mendorong Riyadh untuk benar-benar mempercepat kesepakatan”.

 

Sponsor Cina dan Kepentingan Amerika

Kepentingan Amerika dalam rekonsiliasi Iran-Saudi yang disponsori Cina ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan Amerika terhadap Cina dan entitas penjajah Yahudi. Amir Hizbut Tahrir, al-‘Alim Syaikh Abu Rasytah  dalam Soal-Jawab-nya  (10 Ramadhan 1444 H/1 April 2023 M) menulis:

 

Mengapa hal itu terjadi? Mengapa Amerika melalui tipudayanya telah memberikan peran kepada Cina untuk menyelesaikan rekonsiliasi? Berikut beberapa alasannya:

Pertama, karena Amerika tidak membangun hubungan diplomasi dengan Iran. Amerika tidak ingin tampak seolah-olah rela terhadap Iran. Sebaliknya, Amerika menampakkan seolah-olah dalam permusuhan dengan Iran dan tidak ingin menampakkan bahwa Iran berjalan di orbit Amerika dan melayani Amerika dalam sejumlah kebijakan sebagaimana yang diakui oleh para penjabat Iran.

Kedua, Amerika ingin memberikan jalan kepada Cina dalam kancah internasional. Lalu Cina berilusi bahwa ia akan menjadi negara besar secara global. Berikutnya Amerika mengelabui Cina dengan menggunakan Cina dalam misi-misi tertentu. Ini seperti Amerika yang menggunakan Rusia dalam masalah Suriah dan isu-isu lainnya.

Ketiga, menyindir secara tidak langsung kepada Cina bahwa jika negara itu ingin menjadi negara yang berpengaruh secara global, Cina harus sepaham dan bekerjasama dengan Amerika, dan bukan dengan Rusia. Amerika menggunakan godaan itu sebagai senjata melawan Cina jika Cina ingin menyalahi kebijakan Amerika. Dengan demikian Amerika menghalangi Cina dari pengaruh internasional dan mengepung Cina seperti yang Amerika lakukan dengan Rusia.

Keempat, Amerikalah yang berada di belakang permintaan Saudi dan Iran kepada Cina untuk mensponsori kesepakatan ini dan penandatanganannya. Hal itu supaya tidak tampak bahwa Amerikalah yang mengelola kesepakatan ini secara langsung, melainkan tampak bahwa Cina yang ada di belakangnya. Amerika dengan itu ingin mencapai dua tujuan dengan satu lemparan batu:

  • Menggagalkan rencana Yahudi untuk normalisasi dengan Arab Saudi dan menyerang Iran, dan kemudian mempermalukan Amerika untuk mendukung Yahudi karena lobi Yahudi Amerika pada saat Amerika disibukkan dengan perang Rusia-Ukraina.
  • Dengan menampakkan Cina yang mensponsori kesepakatan ini dan bukannya Amerika akan menghalangi lobi Yahudi menghadang Biden selama Pemilu tahun depan. Biden tidak ingin memberikan justifikasi untuk lobi Yahudi yang bisa menghalangi dirinya dalam Pemilu ke depan.

Lalu mengapa entitas Yahudi gelisah dengan kesepakatan itu? Itu karena kesepakatan tersebut menggagalkan apa yang telah direncanakan oleh entitas Yahudi. Kesepakatan ini telah mengejutkan perdana menteri entitas Yahudi, Netanyahu. Saat mengunjungi Italia dan mempromosikan normalisasi dengan Arab Saudi, dia terkejut dengan normalisasi Saudi-Iran. Hingga saat ini Netanyahu belum memberikan komentar tentang masalah ini. Kesepakatan itu merupakan tamparan sangat keras di wajahnya. Kementerian Luar Negeri entitas Yahudi menolak mengomentari kesepakatan tersebut.

Para analis Yahudi menganggap pemulihan hubungan Saudi-Iran merupakan tamparan dan pukulan bagi (Israel). Mereka menganggap itu sebagai hambatan untuk normalisasi antara entitas Yahudi dan Arab Saudi. Kesepakatan ini merupakan pesan untuk (Israel) bahwa dia tidak diizinkan untuk mengarahkan serangan ke Iran. Semua ini menegaskan bahwa Amerika adalah pihak yang menginginkan kesepakatan ini dan dia ingin agar Cina menjadi mediator dan bahwa Amerikalah yang ada di belakang permintaan Iran dan Arab Saudi kepada Cina untuk mensponsori kesepakatan tersebut dan penandatanganannya. [AF]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 − 3 =

Back to top button