Hadis PilihanTsaqafah

Proteksi Milik Umum

عَنِ ابْن عَبَّاس رَضِيَ الله عَنْهُمَا: أَنَّ الصَّعْبَ بْنَ جَثَّامَةَ، قَالَ : إِنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ: لا حِمَى إِلَّا لله وَلِرَسُولِهِ

Dari Ibnu Abbas ra. dinyatakan bahwa Ash-Sha’bu bin Jatsamah berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada (wewenang) proteksi kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim).

 

Hadis ini dikeluarkan oleh: Imam al-Bukhari, yakni hadis no. 2370 dan 3012; Imam Abu Dawud di dalam Sunan Abi Dâwud, yakni hadis no. 3083 dan 3084; Imam Ahmad di dalam Al-Musnad, yakni hadis no. 16423; Imam an-Nasa’i di dalam Sunan al-Kubra, hadis no. 5743 dan 8570; Imam Ibnu Hibban di dalam Shahîh Ibni Hibbân, yakni hadis no. 136, 137, 4684, 4685 dan 4787; Imam al-Hakim di dalam Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn, yakni hadis no. 2358; Ma’mar bin Rasyid (w. 153 H) di dalam Jâmi’ Ma’mar bin Rasyid, yakni hadis no. 19750; Abu Dawud ath-Thayalisi di dalam Musnad Abi Dâwud ath-Thayalisi, yakni no. 1326; Imam asy-Syafi’i di dalam Musnad asy-Syafi’iy, yakni no. 1504; Ibnu Zanzawayh di  dalam Al-Amwâl li Ibni Zanzawayh, yakni no. 145; Ibnu Abiy ‘Ashim di al-Ahâd wa al-Matsaniya no. 905; Imam ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr; Imam al-Baihaqi di  dalam Sunan al-Kubrâ dan Ma’rifatu as-Sunan wa al-Atsâr; Imam al-Baghawi di Syarhu as-Sunnah; dan yang lainnya.

Imam Ibnu Baththal menyatakan, al-himâ secara bahasa maknanya al-man’u (menghalangi). Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) mengatakan di dalam ‘Umdah al-Qâri Syarhu Shahîh al-Bukhârî: “Di dalam Al-Mughrib dikatakan al-himâ adalah tempat padang gembalaan yang dihalangi (diproteksi) dari orang; mereka tidak boleh menggembalakan dan tidak boleh mendekat.”

Di dalam Ash-Shihâh dinyatakan: “Hamaytu himâyah. Maknanya: Aku menolaknya. Ini sesuatu yang di-hima, yakni dilarang/tidak boleh mendekat. Aku (al-‘Aini) katakan: Ini menunjukkan bahwa lafal himâ adalah isim bukan mashdar menurut wazan fi’la dengan makna maf’ûl yakni mahmiy yakni mahzhûr (yang dilarang). Ini adalah makna secara Bahasa.”

Ibnu al-Atsir berkata: “Dikatakan: Dulu pemimpin pada masa jahiliah, jika datang di tanah subur, membawa anjing ke tempat tinggi. Lalu dia meng-hima (memproteksi) wilayah itu sejauh lolongan anjing itu terdengar. Orang lain tidak ikut serta di dalamnya, sedangkan dia ikut serta bersama kaum di semua tempat mereka menggembala. Lalu Nabi saw. melarang hal itu.”

Ibnu Syihab az-Zuhri menyatakan: “Telah sampai kepada kami bahwa Nabi saw. meng-hima an-Naqi’, sementara Umar meng-hima as-Sarafah dan az-Zabadah.” (HR al-Bukhari).

Imam Abu Dawud di dalam hadis no. 3083 meriwayatkan dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa Nabi saw. telah meng-hima an-Naqi’. Di dalam hadis no. 3084 dari Ibnu Abbas dari ash-Sha’bu bin Jatsamah bahwa Nabi saw telah meng-hima an-Naqi’. Imam al-Baihaqi (w) di dalam Sunan al-Kubrâ hadis no. 11808 mengeluarkan hadis dari Ibnu Umar ra.:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمَى النَّقِيعَ لِخَيْلِ الْمُسْلِمِينَ تُرْعَى فِيهِ

Sungguh Nabi saw. telah menghima an-Naqi’ untuk kuda kaum Muslim digembalakan di situ.

 

Di hadis no. 11806, Imam al-Baihaqi menyebutkan bahwa Ibnu Syihab az-Zuhri menyatakan: “Umar punya hima. Telah sampai kepadaku bahwa Umar melakukan hima untuk unta sedekah (zakat).”

Imam al-Baihaqi di dalam hadis no. 11810 meriwayatkan ucapan Utsman: “Adapun hima maka Umar sebelumku melakukan hima untuk unta sedekah (zakat). Saat aku diangkat, unta sedekah (zakat) bertambah banyak. Karena itu aku menambah al-hima ketika unta sedekah (zakat) bertambah.”

Dari semua riwayat itu, Imam al-Baihaqi menyatakan di akhir hadis no. 11811 “Di dalam hadis ini dan sebelumnya ada dalaalah bahwa makna sabda Nabi saw. “himâ illa lilLâh wa li Rasûlihi”, yang beliau inginkan bahwa tidak ada himâ kecuali menurut semisal apa yang di-hima oleh Rasul-Nya untuk kebaikan (kemaslahatan) kaum Muslim.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî menyatakan: Asy-Syafi’i berkata, “Hadis ini dimungkinkan bermakna dua: Pertama, tidak seorang pun boleh meng-hima untuk kaum Muslim kecuali apa yang dihima oleh Nabi saw. Kedua, maknanya tidak boleh seorang pun meng-hima kecuali menurut semisal apa yang di-hima oleh Nabi saw. Menurut makna pertama, tidak seorang pun penguasa setelah Nabi saw. boleh melakukan hima. Menurut makna kedua, hima dikhususkan dengan orang yang menggantikan posisi Rasulullah saw, yaitu khalifah secara khusus.”

Menurut Imam Ibnu Baththal (w. 449 H) di dalam Syarhu Shahîh al-Bukhârî li Ibni Baththal makna sabda Nabi saw., “â himâ illa illâhi wa lirasûlihi” adalah bahwa tidak ada hima (proteksi) untuk seorang pun yang khusus untuk dirinya yang mana dia menggembala ternaknya di situ tanpa orang lain, melainkan itu untuk Allah dan untuk Rasul-Nya. Wewenang hima untuk orang yang mewarisi hal itu dari Nabi saw adalah para khalifah setelah beliau jika memerlukan hal itu untuk kemaslahatan yang mencakup kaum Muslim dan manfaat meliputi mereka seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman karena mereka memerlukan hal itu.

Dari semua di atas dan penjelasan para ulama, bahwa yang di-hima oleh Rasul, Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah bukan milik individu atau pribadi melainkan tanah mati atau harta milik umum. Hima atau proteksi itu dilakukan untuk kemaslahatan kaum Muslim yang menuntut dilakukan proteksi. Yang berwenang melakukan proteksi adalah Khalifah. Tentu itu juga berlaku untuk orang yang menjadi wakil dan diberi wewenang oleh khalifah. Artinya, yang berwenang adalah Daulah. Proteksi itu bukan hanya untuk menggembalakan unta zakat, melainkan boleh untuk kepentingan lain selama kemaslahatan kaum Muslim menuntut hal itu. Misalnya untuk keperluan konservasi, keperluan jihad, dan sebagainya.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyataan di dalam Nizhâm al-iqtishâdî fî al-Islâm (hal. 222): “Hima yang dilarang di dalam hadis tersebut mencakup dua perkara: Pertama, tanah mati yang boleh dihidupkan dan diambil oleh setiap orang. Kedua, seseorang meng-hima sesuatu yang telah Rasulullah jadikan bagi manusia memiliki hak secara bersana-sama di dalamnya yaitu seperti air, padang dan api. Misalnya, mengkhususkan saluran air, lalu dia airi tanamannya, kemudian dia larang orang lain sehingga tidak bisa mengairi tanamannya.”

Beliau menyimpulkan, dan dengan demikian menjadi jelas, bahwa boleh bagi Negara melakukan hima, yakni memproteksi tanah mati dan harta yang termasuk kepemilikan umum untuk suatu kemaslahatan bagi kaum Muslim, dengan syarat, hal itu dalam bentuk yang tidak menimpakan dharar terhadap seorang pun.

WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine − 6 =

Check Also
Close
Back to top button