TarikhTsaqafah

Jaringan Ulama Bogor, Pejuang Islam Sejak Era Utsmaniyah (Abad 19–20 M) (Bagian 3)

Semua riwayat sepakat bahwa Rd. Aria Wangsa Goparana bermukim dan berdakwah di Sagalaherang. Bahkan ada mesjid tua yang dinisbahkan kepada beliau atau setidaknya penerusnya, yakni Mesjid al-Ikhlas Sagalaherang. Dari tempat hijrahnya dakwah meluas hingga ke Wanayasa – Purwakarta saat ini dan Cikundul – Cianjur yang dibuktikan dengan persebaran keturunannya dari kalangan ulama dan umara di wilayah tersebut. Bahkan disebutkan negeri Jampang – Sukabumi tunduk kepada putranya, Dalem Cikundul Rd. Aria Wiratanu. Rd. Aria Wangsa Goparana diperkirakan hidup di masa Sunan Gunung Jati atau setidaknya pada masa cucunya, Panembahan Ratu Zainul Arifin. Trah penerusnya lalu bergabung di bawah kuasa Sultan Agung Hanyakrakusuma, sang wakil Khalifah Utsmaniyah di wilayah Mataram Islam; trah Sagalaherang – Wanayasa di bawah Bupati Ukur (Bandung) Tumenggung Wirangunangun, sedangkan Rd. Aria Wiratanu memimpin Cikundul dan sekitarnya. Seiring waktu trah Cianjur menyebar ke wilayah lain, terutama Bogor, lalu Sindangkasih (Purwakarta Kota saat ini).

Peran jaringan ini lebih banyak dalam administrasi dan pemerintahan yang saat itu dikuasai kafir Belanda. Secara umum mereka menjadi bupati, penghulu dan semisalnya serta terlihat seakan menjadi loyalis Belanda karena kedudukan mereka sebagai menak/bangsawan. Namun, jika diteliti lebih lanjut, apa yang dilaksanakan tak semua untuk kepentingan kolonial, bahkan cenderung menyalahi program westernisasi dan kristenisasi yang diusahakan Kafir Belanda.

Dalem Solawat merupakan gelar yang disematkan karena dikenal banyak melantunkan Shalawat Nabi saw. sebagai wirid hariannya. Selain itu, gelar Haji didapatkan setelah melaksanakan perjalanan berat untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekkah al-Mukarramah. Meskipun dianggap pejabat kolonial, keberhasilan sampai ke Mekkah yang saat itu diurus oleh Syarif Mekkah sebagai Wali Khilafah Utsmaniyah di Hijaz tentu bukan sekadar perjalanan biasa. Ini jelas menyalahi strategi Belanda dengan program edukasinya. Program tersebut diterapkan kepada Priyayi Jawa bertujuan membentuk loyalis kolonial Belanda yang bukan saja tunduk secara politik, namun juga budaya dan pemikiran.

Di antara peran Dalem Solawat ialah bekerja sama dan memberikan sarana terbaik untuk pengembangan dakwah dan pendidikan Islam di wilayah pemerintahannya, baik saat menjabat Bupati Karawang – Purwakarta maupun saat menjadi Bupati Bogor. Di Karawang beliau bekerja sama dengan Syaikh Baing Yusuf dan mendirikan Mesjid Agung Karawang (kini menjadi Mesjid Agung Syaikh Baing Yusuf Purwakarta) dan di Bogor beliau membina hubungan baik dengan Hb. Abdullah al-‘Atthas Keramat Empang dan membangun Mesjid Agung ath-Thahiriyyah. Kedua mesjid tersebut masih eksis hingga saat ini dan berfungsi sebagai sarana ibadah dan pendidikan umat.

 

Syaikh Baing Yusuf

Syaikh Baing Rd. H. Muhammad Yusuf ibn Jayanegara lahir di Bogor dan hidup sezaman dengan Dalem Solawat, bahkan mendampingi dirinya sebagai penghulu di Karawang – Purwakarta, sesama trah jaringan Dalem Cikundul Rd. Aria Wiratanu. Adapun silsilahnya sebagai berikut:

Syaikh Baing Rd. H. Muhammad Yusuf (Penghulu Karawang – Purwakarta, Pendiri Mesjid Agung) ibn Rd. Jayanegara ibn Dalem Muhidin ibn Dalem Sabirudin ibn Rd. Astra Manggala Wiratanudatar III ibn Rd. Wiramanggala Aria Wiratanudatar II ibn Rd. Jayasasana Aria Wiratanu ibn Rd. Aria Wangsa Goparana.

Masa hidup dan perjuangan Syaikh Baing Yusuf semasa dengan Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan al-Jilani al-Hasani, guru dari para guru ulama Bilad al-Jawi (Nusantara). Disebutkan Syaikh Nawawi Banten pernah menjadi muridnya, meskipun dikatakan tak mulaazamah lama. Selain itu, dikatakan terdapat hubungan erat dengan Syaikh Cempaka Putih atau Kyai Abdul Hamid Pangeran Dipanegara. Gelar Haji yang disematkan menunjukkan beliau termasuk bagian dari Jaringan Ulama al-Jawi “generasi lama” sebelum era Syaikh Nawawi Banten. Ini karena perjalanan Haji pada masa lalu era Khilafah Utsmaniyah bukan sekadar ibadah ritual, namun juga gerakan pendidikan, politik dan sosial.

Haji termasuk ibadah utama kaum Muslim dan menjadi bagian dari Rukun Islam. Meskipun hanya diwajibkan bagi yang mampu, haji menjadi ibadah yang diperhatikan kaum Muslim pada umumnya. Sebagian kaum Muslim bahkan bekerja lebih keras. Mereka bahkan ada yang menabung sekian lama atau menjual harta berharga supaya tercapai “kemampuan” yang disyaratkan untuk ibadah haji.

Berbeda dengan saat ini, haji pada masa lalu bukan sekadar ibadah ritual, namun juga pertemuan sosial-politik dan perjalanan intelektual, terutama bagi Muslim Bilad al-Jawi (Nusantara). Selama mukim di al-Haramain, mengingat jarak yang jauh dan waktu tempuh yang tidak sebentar, haji dimanfaatkan sebaik mungkin bukan hanya untuk ibadah di kedua tempat mulia, Mesjid al-Haram dan Mesjid Nabawi. Haji juga digunakan untuk menjalin hubungan sosial-politik dengan kaum Muslim dunia dan perwakilan sang Khalifah di Kairo atupun Istanbul serta membentuk jaringan ulama yang kelak dikenal sebagai Ashabul Jawi atau al-Jawiyyin. [Bagian 3]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − 11 =

Back to top button