
Tekanan Ekonomi dan Sikap Terhadap Gaza
Gaza berada di titik nadir. Lebih dari 61.400 nyawa melayang. Sebanyak 153.000 lainnya luka-luka. Anak-anak menjadi korban paling tragis. Terdapat 217 jiwa, termasuk 100 anak, mati kelaparan. Akses bantuan sangat berisiko. Ratusan tewas dan ribuan terluka hanya demi mendapatkan makanan. Infrastruktur kesehatan nyaris runtuh. Sekitar 94% rumah sakit rusak. Banyak yang tutup. Rumah ibadah pun luluh lantak. Sekitar 79% masjid hancur dan 3 gereja hilang. Hampir 70% bangunan di Gaza rusak atau hancur berat. Ribuan keluarga kehilangan rumah. Krisis pangan kian mencekik. Hanya sedikit bantuan yang masuk. Kelaparan mencapai fase akut. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah wajah-wajah manusia, tangisan anak-anak dan harapan yang direnggut. Doctors Without Borders (MSF) melaporkan telah merawat lebih dari 1.300 pasien Palestina yang mengalami luka tembak. MSF menyatakan kondisi tersebut sebagai “pembantaian terencana” (Al-Jazeera, 9/8/2025).
Namun, Dunia Islam diam seribu bahasa.
Bagaimana sikap Indonesia? Tampaknya kelu. Lidah tak kuasa bicara. Mengapa? Pada April 2025, dunia menyaksikan bagaimana sebuah negara besar bisa menekan negara lain lewat kekuatan ekonomi. Ambil contoh Amerika Serikat (AS). Trump menetapkan tarif 32% untuk produk ekspor Indonesia. Trump menuding Indonesia mendapat “keuntungan tidak adil” hanya karena surplus perdagangan dan keberanian bergabung dengan BRICS. Berikutnya, Mei 2025, pintu negosiasi dibuka, tetapi dengan syarat yang tegas: Indonesia harus membuka pasar dan membeli produk strategis AS jika ingin tarif turun. Sebuah tawaran yang terdengar seperti pilihan, padahal sejatinya ultimatum.
Pertengahan Juni 2025, Pemerintah Indonesia akhirnya menyetujui paket pembelian strategis berupa 50 unit Boeing senilai ±USD 10 miliar. Plus impor LNG dan energi terbarukan senilai USD 15 miliar. Totalnya puluhan miliar dolar mengalir ke AS. Imbalannya? Tarif turun dari 32% menjadi 19% yang bersifat sementara, penuh syarat dan jauh dari pembebasan penuh. “Tarif memang turun, tetapi harga yang harus dibayar mahal banget,” Pak Fikri berkomentar. “Indonesia membayar dengan membeli produk mereka dalam jumlah luar biasa. Terasa menang, tapi rapuh di substansi dan realitas,” tambahnya.
Di sinilah pelajaran diplomasi itu terasa relevan ketika Indonesia harus bersikap terkait Gaza, Palestina. Di tengah puluhan ribu nyawa melayang, anak-anak mati kelaparan, rumah sakit hancur berantakan, dan kota pun luluh lantak tidak karuan, dunia menunggu suara Indonesia. Bukan sekadar pernyataan manis, tetapi tindakan nyata yang berani.
Pertanyaannya: Bisakah harapan itu terwujud? “Kalau pengalaman diplomasi tarif ini menjadi cerminan, jangan heran andai sikap Indonesia terhadap Gaza akan berhenti pada level retorika,” ujar saya.
“Iya ya, Indonesia mungkin mengutuk, Indonesia mungkin berdoa. Namun, Indonesia menahan langkah tegas demi menjaga kenyamanan hubungan dengan kekuatan besar seperti AS,” jawab Pak Fikri.
“Kita tahu, AS itu penopang utama zionis Yahudi,” ujar Pak Eko.
Saya bilang, “Benar. Sekadar contoh, lihat saja berbagai media mengabarkan bahwa pada Februari 2024 Kongres AS menyetujui legislatif senilai ±$19,3 miliar, yang mencakup $14,1 miliar untuk operasi militer, $4 miliar untuk pertahanan udara (termasuk Iron Dome dan David’s Sling), $1,2 miliar untuk sistem pertahanan laser Iron Beam. Selain itu, paket itu juga mencakup $9,2 miliar bantuan kemanusiaan untuk Gaza dan wilayah lain.”
“Saya juga pernah baca pada April 2025, Senat AS menolak dua resolusi yang berusaha memblokir penjualan senjata senilai $8,8 miliar ke zionis Yahudi,” sahut Pak Fikri.
Ini pada satu sisi. Pada sisi lain, penurunan tarif menjadi 19% dari sebelumnya 32% akan berpengaruh pada psikologis Pemerintah Indonesia. “Bagaimana mungkin bersikap keras kepada AS, padahal Indonesia menjalin hubungan dagang yang baik dengan AS? Bersikap keras terhadap zionis Yahudi sama saja dengan memusuhi AS,” ujar Pak Eko.
“Ini tidak mungkin. Jadi, tidak mengherankan jika sikap Pemerintah Indonesia terhadap Gaza akan kelu. Tidak tegas. Bahkan terkesan sejalan dengan sikap AS,” simpulnya.
Pada 6 Agustus 2025 dalam Sidang Kabinet, Presiden Prabowo Subianto menyatakan tengah menyiapkan Pulau Galang di Kepulauan Riau untuk menjadi tempat pengobatan bagi 2.000 warga Gaza, Palestina, yang terluka. “Presiden kemarin juga memberikan arahan untuk Indonesia memberikan bantuan pengobatan untuk sekitar 2.000 warga Gaza yang menjadi korban perang,” kata Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, Kamis (7/8/2025).
“Yang luka-luka, yang mengalami apa, mungkin kena bom, kena reruntuhan dan segala macam. Rencananya disiapkan pusat pengobatannya nanti di Pulau Galang,” lanjut Hasan. Seakan, hal ini terlihat bagus, membantu korban. Namun, ini juga sejalan dengan keinginan zionis Yahudi.
“Media di Israel melaporkan bahwa Israel disebut telah mencapai kesepakatan dengan lima negara yang siap menerima warga Gaza, termasuk Indonesia, Ethiopia dan Libia,” kutip BBC.Com, pada 7/8/2025.
Belum lagi, pada bulan Januari 2025 Presiden AS Trump mengusulkan untuk merelokasi sebagian penduduk Gaza, Palestina, ke Indonesia. Karena itu, benar perkataan pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, “Membawa warga Gaza ke Indonesia sesuai dengan keinginan Israel agar Gaza dikosongkan rakyat Palestina.”
Apalagi media zionis Yahudi mengabarkan adanya diskusi pemerintah zionis sudah berdiskusi dengan Pemerintah Indonesia terkait hal tersebut. Hikmahanto meminta Pemerintah berterus terang perihal laporan komunikasi dengan Israel dan dugaan insentif tertentu dalam relokasi warga Gaza, demi mencegah kemarahan masyarakat.
Pengamat Timur Tengah, Faisal Assegaf, menyampaikan hal senada dengan mengatakan, “Resistensi nanti bisa muncul. Pemerintah harus jujur.”
“Tampak, tekanan ekonomi itu sangat berpengaruh terhadap sikap terhadap Gaza, Palestina,” simpul Pak Fikri.
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia].


