
Peristiwa Pada Hari Kiamat
Ditiuplah sangkakala. Itulah hari pelaksanaan ancaman (20). Datanglah tiap-tiap diri. Bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi (21). (QS Qaf [50]: 20-21).
Dalam ayat-ayat sebelumnya, diberitakan tentang adanya dua malaikat yang mencatat amal perbuatannya. Yang satu duduk di sebelah kanan. Yang lainnya duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapan pun yang diucapkan manusia melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. Diingatkan juga kepastian datangnya sakaratul maut.
Setelah dalam ayat ini Allah SWT mengabarkan tentang datangnya peristiwa besar, yakni peniupan sangkakala. Mengenai hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnnya, al-Biqa’i berkata, “Ketika diperkirakan: Manusia lalu diambil secara paksa dari tengah-tengah keluarga, saudara-saudara, kaum dan tetangga-tetangga. Mereka kemudian digabungkan ke dalam orang-orang yang telah mati, sementara mereka berada di alam barzakh, menunggu kedatangan orang-orang lainnya yang akan bergabung dengan mereka. Mereka terus berada dalam keadaan demikian hingga semua yang akan datang kepada mereka telah tiba. Ayat ini dihubungkan dengan kalimat sebelumnya untuk menunjukkan keluasan kekuasaan dari Sang Penguasa Kerajaan, Kemuliaan, dan Keperkasaan.”1
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
Ditiuplah sangkakala.
Menurut jumhur, huruf al-wâwu dalam ayat tersebut merupakan al-‘athf (kata hubungan). Dengan demikian ayat ini di-‘athaf-kan dengan ayat sebelumnya, yakni firman Allah SWT:
(Seketika itu) datanglah sakratulmaut dengan sebenar-benarnya.2
Jika dalam ayat sebelumnya dikabarkan tentang datangnya kematian kepada manusia, yang merupakan al-Qiyâmah al-sughrâ (Kiamat kecil), maka dalam ayat ini diberitakan tentang kepastian terjadinya al-Qiyâmah al-kubrâ (Kiamat besar). Itulah Kiamat yang sebenarnya. Peristiwa berakhirnya kehidupan dunia beserta penghuninya.
Peristiwa Kiamat ditandai dengan ditiupnya sangkakala. Disebutkan: « وَنُفِخَ فِي الصُّورِ » (ditiuplah sangkakala). Kata « نُفِخَ » (dan ditiuplah) merupakan bentuk mâdhî (yang menunjukkan masa lampau). Penggunaan kata yang menunjukkan waktu lampau tersebut berguna « لِتَحَقُّقِ وُقُوعِهِ » (untuk menunjukkan kepastian terjadinya peristiwa tersebut).3 Hal itu seperti halnya dalam firman Allah SWT:
Ketetapan Allah pasti datang. Maka dari itu janganlah kalian meminta agar dipercepat (kedatangan)-nya (QS an-Nahl [16]: 1).4
Kata « النَّفْخِ » secara bahasa bermakna « دفع الهواء » (mendorong udara), sebagaimana sudah diketahui semua orang.5 Yang ditiup adalah « الصُّورِ » (sangkakala).
Menurut bahasa, kata « الصُّورِ » adalah « القَرْن » (tanduk, terompet yang bentuknya menyerupai tanduk). Adapun al-shûr yang dimaksud oleh ayat ini dan banyak ayat lainnya adalah terompet yang Allah SWT tugaskan kepada Malaikat Israfil untuk ditiup pada Hari Kiamat. Itulah terompet sangkakala. Menurut al-Qurthubi, al-shûr adalah tanduk yang terbuat dari cahaya yang akan ditiup Israfil, seperti bentuk terompet, kata Mujahid.6
Tentang hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
“Bagaimana aku merasa senang, sedangkan pemegang sangkakala telah menempelkan terompet di mulutnya. Keningnya berkerut menunggu diperintahkan untuk meniupnya.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang harus kami ucapkan?” Rasulullah saw. Menjawab, “Ucapkanlah oleh kalian, ‘HasbunalLaahu wa ni’mal Wakiil ‘alâlLâh tawakkalnâ (Cukuplah Allah Penolong kami. Dia adalah sebaik-baik pelindung, kepada Alllah kami bertawakal).” (HR Ahmad).
Peristiwa peniupan sangkakala itu juga diberitakan dalam beberapa ayat lain. Ketika al-shûr atau sangkakala itu ditiup, seluruh penduduk langit dan bumi terkejut dan panik luar biasa. Lalu mereka pun mati. Setelah ditiup lagi, manusia yang telah mati dihidupkan kembali. Allah SWT berfirman:
Ditiuplah sangkakala. Lalu matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang Allah kehendaki. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi. Kemudian tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing) (QS az-Zumar [39 ]: 68).
Berdasarkan ayat ini, sangkakala itu ditiup dua kali, yakni nafkhat ash-shaa’iq (tiupan mematikan) dan nafkhat al-ba’ts (tiupan membangkitkan).7 Selain dua tiupan itu, ada pula yang mengatakan tiupan lainnya, yakni nafkhat al-faza’ (tiupan mengejutkan). Ini diberitakan dalam firman-Nya:
(Ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala. Lalu terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang Allah kehendaki. Mereka semua datang menghadap Allah dengan merendahkan diri (QS an-Naml [27]: 87).
Dengan demikian peniupan sangkakala menimbulkan kegemparan dan kematian serta kebangkitan manusia dari kuburnya. Di dalam ayat ini tidak disebutkan secara jelas al-nafkhah atau tiupan yang ke berapa. Bisa jadi yang dimaksud adalah al-nafkhah al-ûlâ atau tiupan pertama. Alasannya, ini merupakan penjelasan terhadap apa yang datang pada sakaratul maut.8 Bisa pula, al-nafkhah al-tsâniyyah (tiupan kedua) atau al-nafkhah al-âkhirah (tiupan yang terakhir) ketika manusia dibangkitkan. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Qurthubi, Fakhruddin ar-Razi, asy-Syaukani, al-Alusi dan az-Zuhaili. Menurut mereka, al-nafkhah atau tiupan yang disebutkan dalam ayat ini adalah al-nafkhah al-âkhirah atau tiupan terakhir untuk menghidupkan manusia.9
Menurut Fakhruddin ar-Razi, penafsiran yang kedua itu lebih tepat. Sebabnya, setelahnya disebutkan: « ذلِكَ يَوْمُ الْوَعِيدِ » (itulah hari pelaksanaan ancaman). Jika firman-Nya: « وَجاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ » (dan datanglah sakaratul maut) mengisyaratkan terjadinya kematian, maka firman-Nya: « وَنُفِخَ فِي الصُّورِ » (dan ditiuplah sangkakala) mengisyaratkan pengembalian dan penghidupan.10
Menurut Wahbah az-Zuhaili, yang dimaksud dengan itu adalah « نفخة البعث » (tiupan untuk membangkitkan atau menghidupkan kembali). Alasannya, karena itu adalah hari yang sangat mengerikan. Itulah yawm al-wa’îd, yakni hari yang Allah janjikan kepada kaum kafir dengan siksa di akhirat.11
Lalu dilanjutkan:
Itulah hari pelaksanaan ancaman.
Kata « ذلِكَ » (itu) menunjuk pada waktu pada hari itu, seolah dikatakan: Waktu itu adalah « يَوْمُ الْوَعِيدِ » (hari ancaman).12 Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, dalam penggalan ayat ini ada bagian yang dihilangkan, yakni: « وَقْتُ ذَلِكَ يَوْمُ الْوَعِيدِ » (waktu itu adalah hari pelaksanaan ancaman).13 Juga berarti hari pelaksanaan ancaman dan perealisasian azab bagi kaum kafir.14
Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa hari ketika sangkakala ditiup itu merupakan hari pelaksanaan ancaman. Imam al-Qurthubi dan Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Itulah hari yang telah Allah janjikan kepada kaum kafir untuk mengazab mereka.”15
Sebenarnya, hari itu adalah yawm al-wa’d (hari perwujudan janji) dan yawm al-wa’îd (haru perwujudan ancaman) secara bersamaan. Akan tetapi, yang disebutkan yawm al-wa’îd (hari perwujudan ancaman) untuk al-takhwîf (untuk menakut-nakuti).16 Menurut Muhammad al-Amin al-Harari, penyebutan ancaman secara khusus, meskipun hari itu juga merupakan yawm al-wa’d (hari janji), dimaksudkan untuk memberikan kesan yang menggetarkan. Oleh karena itu, penjelasan dimulai dengan keadaan kaum kafir.17
Di antara pelajaran penting dari ayat ini adalah mengimani peristiwa peniupan terompet sangkakala pada Hari Kiamat. Peristiwa tersebut dengan jelas disebutkan dalam ayat ini. Selain ayat ini, masih banyak ayat lainnya yang memberitakan hal yang sama (Lihat, misalnya: QS Thaha [20]: 103; QS al-Kahfi [18]: 99; QS al-Mukminun [23]: 101).
Fakhruddin ar-Razi berkata, “Tidak ada keraguan di kalangan kaum Muslim bahwa Allah SWT telah menciptakan sebuah qarn (terompet) yang ditiup oleh satu malaikat. Terompet itu disebut dengan al-shûr, sebagaimana telah Allah SWT sebutkan makna ini di beberapa tempat dalam Kitab-Nya yang mulia.”18
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
- al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, 18 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 423
- Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 26 (Tunisia: al-Dar al-Tunusiyyah, 1984), 207; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 127, 135
- al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1994), 90
- Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 26 (Tunisia: al-Dar al-Tunusiyyah, 1984), 207
- Nashiruddin, Mabâhits al-‘Aqîdah fî Sûrat al-Zumar (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1995), 551
- al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 13, 239
- al-Nasafi, Madârik al-Tansîl wa Haqâiq al-Ta‘wîl, 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), 193. Lihat juga Ibnu ‘Ajibah, al-Bahr al-Madîd fî Tafsîr al-Qur‘ân al-Majîd, 5 (Turki, Dr. Hasan ‘Abbas Zaki, 2008) , 103
- al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 127, 135
- al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 13; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 127, 135; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 90; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 333; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, vol. 26, 293
- al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 127, 135
- al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, 26, 293
- Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 127, 135
- Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 9, 534
- al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, 26, 293
- al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 13; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 22, 346. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1994), 90
- Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 9, 534-535; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13, 333
- al-Harari, Tafsîr Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, 27 (Beirut: Dar Thaq al-Najah, 2001), 442
- al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 13 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arab, 1420 H), 28