
Konflik India-Pakistan: Warisan Kolonial
India dan Pakistan saat ini terlibat dalam eskalasi militer yang berkembang pesat dan berpotensi meledak menjadi perang besar-besaran. Konflik ini dipicu oleh serangan mematikan terhadap wisatawan di wilayah Kashmir yang dikelola India pada 22 April, yang menewaskan 26 warga sipil. Namun, akar konflik ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu.
Pada 7 Mei 2025, India meluncurkan serangan misil ke wilayah Pakistan dan Kashmir yang berada di bawah administrasi Pakistan. Serangan itu menghantam setidaknya enam kota dan menewaskan sedikitnya 31 orang – termasuk dua anak – menurut Islamabad. Sejak itu drone India menyerang kota-kota besar dan instalasi militer Pakistan, sementara India menuduh Pakistan meluncurkan sejumlah misil dan drone ke kota serta fasilitas militernya.
Apa Inti konflik Kashmir?
Terletak di barat laut anak benua India, wilayah ini mencakup luas 222.200 kilometer persegi (85.800 mil persegi) dengan sekitar empat juta orang tinggal di Kashmir yang dikelola Pakistan dan 13 juta di Jammu dan Kashmir yang dikelola India.
Populasinya sebagian besar beragama Islam. Pakistan menguasai wilayah utara dan barat, yaitu Azad Kashmir, Gilgit dan Baltistan. India menguasai wilayah selatan dan tenggara, termasuk Lembah Kashmir dan kota terbesarnya, Srinagar, serta Jammu dan Ladakh.
Berakhirnya penjajahan Inggris dan pemisahan India Britania pada bulan Agustus 1947 menyebabkan terbentuknya Pakistan yang mayoritas penduduknya Muslim dan India yang mayoritas penduduknya Hindu.
Pada saat itu, negara-negara kerajaan seperti Jammu dan Kashmir diberi pilihan untuk bergabung dengan salah satu negara. Dengan populasi Muslim hampir 75 persen, banyak orang di Pakistan percaya bahwa wilayah tersebut secara alami akan bergabung dengan negara itu. Bagaimanapun Pakistan di bawah Muhammad Ali Jinnah diciptakan sebagai tanah air bagi umat Islam. Namun demikian, mayoritas umat Islam di wilayah yang tetap menjadi India setelah pemisahan tetap tinggal di negara itu, tempat Mahatma Gandhi dan perdana menteri pertama India yang merdeka, Jawaharlal Nehru, membangun fondasi negara sekuler.
Maharaja Kashmir awalnya berupaya memperoleh kemerdekaan dari kedua negara, tetapi kemudian memilih untuk bergabung dengan India setelah Pakistan menginvasi, yang memicu perang pertama dari tahun 1947 hingga 1948. Garis gencatan senjata yang ditetapkan setelah itu diformalkan sebagai LoC dalam Perjanjian Simla.
Meskipun demikian, kedua negara terus menegaskan klaimnya terhadap seluruh wilayah, termasuk, dalam kasus India, terhadap Aksai Chin yang dikelola Cina di sisi timur.
Memahami Masalah Anak Benua India
Dalam kitab Mafâhîm Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr, disebutkan masalah anak benua India merupakan isu lama, namun baru belakangan ini menonjol sebagai salah satu masalah utama dunia. Terdapat tiga faktor utama yang membuat wilayah ini menjadi sorotan global: Pertama, meluasnya pengaruh Islam yang mencuat akibat konflik Kashmir. Kedua, meningkatnya kekuatan Tiongkok di kawasan. Ketiga, masuknya India dan Pakistan ke dalam klub negara-negara bersenjata nuklir.
Dari tiga faktor utama itu, dalam konflik India-Pakistan ada beberapa prinsip penting:
- Asal-Usul Konflik: Warisan Kolonial dan Perpecahan Umat.
Konflik Kashmir adalah hasil dari proyek imperialisme Inggris yang membagi India menjadi dua negara (India dan Pakistan) melalui strategi “divide et impera”. Pemisahan tersebut bukan solusi atas konflik agama, melainkan upaya memecah-belah kekuatan umat Islam agar tidak memiliki entitas politik bersatu yang mengancam hegemoni kolonial. Penghapusan Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 sebagai titik balik utama memungkinkan terjadinya konflik ini. Setelah Khilafah runtuh, umat Islam kehilangan satuan politik global yang mampu melindungi wilayahnya, termasuk Kashmir, dari penjajahan dan intervensi asing.
- Karakter Konflik: Konflik Buatan dan Dipelihara.
Konflik Kashmir bukanlah konflik yang “alami”, melainkan konflik buatan (artificial conflict) yang sengaja dipelihara oleh kekuatan besar, khususnya Barat dan lebih khusus lagi Amerika Serikat, demi kepentingan geopolitik dan pengaruh strategis di kawasan Asia Selatan.
Konflik ini dimanfaatkan untuk: Pertama, mengontrol India dan Pakistan agar tetap bergantung pada dukungan militer dan diplomatik Barat. Kedua, menjaga instabilitas regional agar negara-negara Muslim tidak bersatu dalam satu entitas kekuasaan.
- Kritik terhadap Solusi Internasional.
Semua solusi yang ditawarkan oleh Komunitas Internasional, termasuk PBB, perundingan bilateral, atau pendekatan regional seperti SAARC, dianggap tunduk pada logika Barat dan status quo internasional yang tidak adil. Semua pendekatan internasional terhadap isu Kashmir ala Komunitas Internasional (PBB) bermasalah: Pertama, tidak menempatkan wilayah ini sebagai bagian integral dari umat Islam. Kedua, tidak mengakui hakikat konflik sebagai penjajahan oleh India atas tanah Islam. Ketiga, mengabaikan penderitaan rakyat Kashmir atas nama stabilitas geopolitik.
- Keberadaan Penguasa di Pakistan.
Kepemimpinan sipil dan militer di Pakistan sulit dilepaskan dalam posisi mereka sebagai agen Barat, khususnya Amerika Serikat atau Inggris. Dalam peristiwa-peristiwa penting seperti Perang Kargil 1999, kepemimpinan Pakistan (PM Nawaz Sharif dan Jenderal Pervez Musharraf) menghentikan operasi militer atas tekanan AS. Padahal pasukan mujahidin hampir merebut kembali Kashmir. Pengkhianatan ini menjadi bukti bahwa perubahan tidak bisa dilakukan melalui sistem demokrasi atau nasionalisme, melainkan melalui revolusi sistemik untuk menegakkan Khilafah.
Pengakuan terbuka Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Asif, bahwa negaranya telah menjalankan “pekerjaan kotor” untuk Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya selama tiga dekade, menjadi sorotan serius bagi Dunia Islam. Dalam wawancara dengan Sky News (25 April 2025), Asif menyebut keterlibatan Pakistan dalam perang melawan Uni Soviet dan Perang Melawan Teror pasca-11 September sebagai sebuah “kesalahan besar” yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Pakistan.
Lebih dari sekadar penyesalan, pernyataan ini membuka tabir tentang bagaimana sebagian besar rezim di Dunia Islam telah menjadi alat kepentingan asing. Kelompok-kelompok yang dulu dipromosikan oleh Barat kini dicap sebagai teroris, dan negara-negara seperti Pakistan menjadi ladang eksperimen kebijakan luar negeri AS dan sekutunya. Pengakuan ini sebagai bukti bahwa banyak rezim represif di negeri-negeri Muslim adalah boneka kekuatan imperialis yang secara sadar memfasilitasi pendudukan dan penindasan terhadap umat Islam.
Solusi Ideologis sebagai Jalan Keluar
Konflik India–Pakistan di Kashmir tidak bisa dipisahkan dalam pandangan ideologis Islam yang menolak batas negara, nasionalisme, perundingan dan sistem internasional saat ini. Karena itu tiga poin penting harus tetap diperhatikan: Pertama, Pembebasan Kashmir melalui jihad dan penegakan Khilafah. Kedua, Penolakan terhadap solusi politik Barat dan PBB. Ketiga, perubahan yang mendasar (inqilâbiyah) untuk menggulingkan penguasa-penguasa boneka dan mendirikan kembali Khilafah Islam.
Solusi utama terhadap konflik Kashmir adalah tegaknya kembali Khilafah Islamiyah yang akan: Pertama, menghapus batas-batas nasional buatan seperti India dan Pakistan. Kedua, menyatukan umat Islam dalam satu negara global yang akan membebaskan wilayah Muslim dari penjajahan, termasuk Kashmir, Palestina, dan lainnya. Ketiga, mengerahkan kekuatan militer (jihad) untuk membebaskan wilayah Muslim yang dijajah, bukan atas nama nasionalisme atau kepentingan diplomatik. “Kashmir adalah tanah Islam dan wajib atas umat Islam membebaskan Kashmir sebagaimana mereka membebaskan tanah-tanah yang dijajah lainnya. Perundingan dengan penjajah bukan solusi, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap darah para syuhada Kashmir.” [Abu Fatih Sholahuddin]





