Afkar

Mencari Solusi Ketidakadilan Atas Dunia Islam (Catatan dari International Muslim Lawyer Conference [IMLC])

Ketidakadilan dunia yang diciptakan sistem Kapitalisme-sekular dalam bidang ekonomi tercermin dengan adanya jurang kesenjangan yang kian lebar antar si Kaya dan si Miskin. Dalam bidang hukum ketidakadilan itu terpampang di hadapan mata dengan berbagai masalah penindasan, pengusiran atas kaum Muslimin dari negerinya yang tak kunjung ada solusinya. Banyak masalah yang menimpa kaum Muslim. Di antaranya penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan pengusiran dari negerinya. Ini seperti yang menimpa Muslim di Rohingya, Suriah, Palestina, Uyghur-cina, dll. Sampai kini belum ada solusi. Boleh jadi masih ada jutaan orang hidup dalam tenda-tenda pengungsian. Bahkan banyak juga yang mengalami pembunuhan secara sistematis hingga tuduhan teroris.

Kini kian marak pula monsterisasi dan kriminalisasi atas ajaran Islam. Di antaranya seperti ajaran tentang jilbab, jihad, syariah, khilafah, dll. Hingga kini pun belum ada solusi tuntas atas ketidakadilan tersebut.

Ketidakadilan hukum pun semakin parah karena sistem hukum internasional sering tak berdaya menghadapi arogansi negara besar. Apalagi negara itu punya hak veto seperti AS dan Cina. Betapa banyak laporan ke Pengadilan Internasional yang tak menemui keadilan. Proses hukum internasional bukan saja sulit berlaku adil, bahkan sering mengalami jalan buntu. Ini berimplikasi pada kemandegan proses hukum. Dalam kondisi inilah diperlukan langkah dan umpan “terobosan hukum”. Hal inilah yang mendorong penyelenggaraan International Muslim Lawyer Conference (IMLC), sebagaimana diungkap oleh Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.

Para Lawyers dan pakar hukum (law expert) turut hadir dan memberikan buah pikirannya. Ada 6 (enam) pembicara Internasional dan 3 (tiga) pembicara Nasional yang hadir dalam IMLC tersebut. Pembicara yang hadir; Mr. Abdul Rafee (Amerika), Mr. Abu Dawud (Inggris), Mr. Mohmmed Abu Hishaam (Belanda), Mr. Abdul Hakim (Malaysia), Mr. Ramzi Nasser (Yaman), Mr. Ren Wiramie (Australia) dan Indonesia; Prof. Suteki, S.H., M.Hum (Law Expert), Prof. Atif Latipul Hayat, P.hD (International Law Expert), Ustadz H. M. Ismail Yusanto (Muslim intellectual).

 

Beberapa Gagasan Para Pembicara

Pertama: Nasionalisme melahirkan dehumanisasi. Menurut Mr. Abdur Rafe (Pembicara dari Amerika), konsep nasionalisme adalah problem dasar bagi kemanusiaan secara politik dan ekonomi. Bahkan menciptakan kelas rasial. Itulah kenyataan yang terjadi kini. Di negara-negara nation state atau nasionalis saat ini banyak kematian akibat dominasi terhadap kelompok minoritas.  Namun, negara-negara Barat terus mengklaim bahwa konsep nasionalisme adalah konsep yang humanis dan harmonis. Mereka menunjukkan bukti seperti penghapusan kebijakan perbudakan terhadap warga kulit hitam.

Padahal sejatinya nasionalisme telah melahirkan dehumanisasi. Atas nama nasionalisme, banyak kematian manusia dan penguasaan sumberdaya alam oleh korporasi. Akibat nasionalisme pula Muslim Rohingya tidak memiliki identitas kenegaraan karena dianggap komunitas ilegal yang mendiami Rakhine, Myanmar.

Pemerintah Myanmar menjadikan Muslim Rohingya menjadi pengungsi yang tidak memiliki status warga negara dan tidak diterima dengan baik di negara mana pun. Padahal wilayah Rakhine adalah tanah mereka sendiri yang ingin dikuasai oleh Pemerintah Burma.

Akibat nasionalisme pula, Muslim Rohingya tidak memiliki akses legal ke negara mana pun, bahkan di negaranya sendiri, Myanmar. Justru mereka dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. Kamp-kamp konsentrasi ini hanyalah kebijakan untuk melanjutkan aksi kekejaman terhadap Muslim Rohingya. Inilah wajah dari satu bentuk nation state.

Kedua: Nasionalisme memicu kejahatan kemanusiaan Internasional. Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat dari Indonesia) menyeru seluruh manusia, hentikan kejahatan kemanusiaan di Uighur! Ia pun menyeru UN, ICC, ASEAN dan OKI untuk aktif menghentikan kekejaman Pemerintah Cina agar tidak berdampak lebih serius!

Apa yang terjadi di Uighur merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan internasional. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) The Roma Statute of the International Criminal Court (ICC): “Kejahatan terhadap Kemanusiaan, yaitu serangan meluas atau sistematik terhadap kelompok penduduk sipil yang ditandai oleh tindakan pembunuhan dan pemusnahan.”

Ia mengingatkan, kejahatan kemanusiaan terhadap umat Islam tidak hanya di Uighur. Juga di Palestina, Rohingya, Suriah dan Bosnia. Menurut Prof. Suteki, PBB tidak mampu menghentikan kejahatan tersebut. Pemimpin negeri-negeri Muslim pun hanya peduli wilayahnya. Tidak peduli kepada umat Islam yang berbeda negara. Padahal Uighur berbatasan dengan negeri-negeri mayoritas Muslim. Secara logika seharusnya mudah membela dan menyelamatkan mereka. Namun, apa daya, hukum internasional kini tak berpihak pada keadilan.

Ketiga: Hukum Internasional digunakan negara kolonial untuk memperkokoh hegemoni dan penjajahan mereka. Mr. Wakil Abu Dawud (Inggris), yang merupakan Lawyer dari United Kingdom, membongkar fakta bahwa undang-undang (UU) Internasional telah digunakan negara-negara kolonial untuk menguatkan hegemoni mereka.

Ia juga menekankan, undang-undang internasional hak asasi manusia yang didirikan pasca Perang Dunia II telah terbukti dilanggar. Bahkan menurut dia, kekuatan Barat (Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia) menggunakan dalih memerangi ISIL masuk ke Suriah sehingga kondisi umat Islam semakin parah dan konflik tak kunjung usai.

Dalam Islam perjanjian itu sangat dihargai sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk melanggar. ”Umat Islam juga tidak membedakan antara non-Muslim dan Muslim karena berdasarkan firman Allah bahwa semua makhluk ciptaan Allah adalah sama di mata Allah,” jelasnya.

Bahkan terbukti, kata Abu Dawud, Islam mampu mengubah dari kondisi masyarakat yang sebelumnya barbar menjadi keadaan peta hubungan internasional dengan konsep yang lebih manusiawi.

Keempat: Nasionalisme menyebabkan umat Islam terpecah-pecah dan lemah. Menurut Mr. Ramzi Nasser (Yaman), konsep nasionalisme bukanlah cara pandang Islam. Hal itu pula yang kemudian menyebabkan umat Islam saat ini terpecah-belah.

Bagi seorang Muslim, sejatinya tidak berlaku pernyataan bahwa kaum Muslim itu memiliki masalahnya masing-masing dan tidak menjadi masalah Muslim yang lain. Contohnya,  “Kaum Muslim di Palestina bukanlah masalah bagi kaum Muslim di Yaman.”

Sesungguhnya pernyataan itu a-historis. Hal itu, tidak ada dalam kamus umat Islam. Sesungguhnya semua masalah di Kashmir, Myanmar, Afghanistan dan di seluruh dunia adalah masalah bersama bagi umat Islam sedunia.

Solusi atas semua ini hanyalah dengan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Khilafah akan memenuhi hak asasi manusia. Dengan itu manusia akan terbebas dari berbagai bentuk kezaliman.

Kelima: Hukum Internasional bersifat eurosentris dengan spirit kolonialis. Prof. Atif Latiful Hayat, Ph.D (Ahli Hukum Internasional) menyampaikan bahwa Hukum Internasional itu tidak lain adalah wujud dari nilai-nilai Eropa. Apalagi dalam nilai-nilai Eropa di sini ada semangat kolonialisme.

Hukum Internasional yang eurosentris itu tidak bisa dilepaskan sebetulnya dari hegemoni masyarakat Eropa pada era penjajahan. Hukum Internasional yang berbasis pada nilai-nilai Eropa itu dijadikan justifikasi bahwa mereka itu sebetulnya tidak menjajah.

Oleh karena itu, menurut Prof. Atif, ada sekularisasi Hukum Internasional yang dilakukan oleh Hugo Grotius sebagai bapak Hukum Internasional modern. Ia menambahkan, tujuan Grotius melakukan itu adalah agar Hukum Internasional dapat diterima oleh bangsa-bangsa yang lain, khususnya warga Muslim. “Akan tetapi, pada era Khlafah Turki Utsmani mereka menolak karena itu dianggap sebagai hukum yang berbasis kanonik (hukum yang mengatur gereja Katolik).”

Ia menegaskan, Dunia Islam seharusnya tidak berharap banyak dari Hukum Internasional. “Faktanya, kekuatan Dunia Islam saat itu tidak mempraktikkan hukum internasional. Karena itu kita tidak bisa mengembangkan praktik-praktik yang kemudian menjadi hukum internasional,” pungkasnya.

Keenam: Kezaliman atas umat Islam, termasuk Uyghur, karena tiada pelindung umat, Khilafah. Menurut Mr. Abdul Hakim Othman (Malaysia), hanya Khilafah yang mampu membebaskan kaum Muslim Uighur di Xinjiang dari rezim Cina.  Menurut dia, hanya Khilafah yang mampu menekan rezim Cina, sekaligus untuk menghentikan penyiksaan terhadap kaum Muslim Uighur di Xinjiang dan melepaskan mereka.

“Jika mereka bergeming, Khilafah akan memberikan peringatan secara militer dan mengerahkan para pasukan yang siap berjuang di jalan Allah untuk menyelamatkan Muslim Uighur di Xinjiang,” tegasnya.

Senada dengan Mr. Abdul Hakim Othman (Malaysia), Mr. Ren Wiramie (Australia) memandang bahwa Barat begitu mudah menghegemoni negeri-negeri Muslim akibat tidak adanya Khilafah. Barat telah membagi-bagi negeri Muslim dengan sekat-sekat batas wilayah. Apalagi Afganistan adalah negeri Muslim yang menjadi target dari proyek Barat.

Dampak lain, akibat tiadanya Khilafah, adalah umat Islam terpecah-belah karena ikatan ‘ashabiyah, yaitu nasionalisme. Seseorang yang membawa nasionalisme di hatinya akan membawa keburukan di kepalanya. Nasionalisme adalah racun bagi umat Islam. Rasulullah saw. telah memperingatkan tentang bahaya nasionalisme.

Barat telah menggunakan militernya di wilayah kaum Muslim, menggunakan alat politiknya untuk menjaga dominasinya, termasuk menggunakan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank untuk mempertahankan kekuatan Barat dengan mengontrol ekonomi suatu negara.

Ketujuh: Menjadi AnsharulLah menyambut kebangkitan umat. Menurut Ustadz H. Muhammad Ismail Yusanto, umat Islam mestinya menjadi AnsharulLah, menolong agama Allah, menolong umat. Jika kita masing-masing bertekad menjadi AnsharulLah, maka fajar kebangkitan akan tegak kembali dan institusi yang melindungi umat Islam. Ia lalu mengutip QS ash-Shaff ayat 14

Menurut Ismail, sesungguhnya nasib umat Islam tidak akan kembali, kecuali kembali posisi mulia sebagai khayru ummah, kecuali atas dasar ikhtiar, perjuangan usaha umat Islam sendiri.

“Nasib umat Islam ditentukan oleh umat Islam, bukan orang lain. Karena itu yakinkan pada diri kita bahwa kita ini hidup tidak lain untuk menyerahkan, mengorbankan serta mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran, bahkan nyawa kita untuk tegaknya kembali Khilafah,” imbuhnya.

“Allah SWT menyebutkan kita ini sebagai khayru ummah,  kalian adalah umat terbaik. Ini predikat dilekatkan kepada umat Islam,” tegasnya.

Menurut Ismail pula, hal itu adalah predikat yang sungguh sangat tinggi, predikat yang hakiki bukan predikat yang majasi, bukan predikat yang semu,

Senada dengan Ustadz Ismail, menurut Mr. Muhammad Abu Hisyam (Pembicara dari Belanda),  generasi kaum Muslim harus menyadari bahwa problematika umat Islam saat ini adalah tanggung jawab seluruh kaum Muslim di dunia.  Abu Hisyam menegaskan, Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah adalah institusi yang dibutuhkan untuk mengusir penjajah dari bumi Palestina. “Kita juga harus selalu ingat dengan hadis Nabi saw. akan kembalinya Khilafah untuk membebaskan tanah Palestina,” pesannya lagi.

Ia menggambarkan, secara sejarah, pembebasan Palestina dari Yahudi pernah terjadi pada masa Kekhilafahan Abbasiyah.

“Problematika Palestina ini semakin memburuk, disebabkan hancurnya Khilafah Utsmani pada tahun 1924. Kemudian, Inggris membantu Yahudi untuk mendirikan negara di tanah Palestina pada tahun 1948,” ungkapnya.

Abu Hisyam memaparkan, Amerika juga bertanggung jawab. Amerika telah memperkuat Yahudi dan membantu apa saja yang dibutuhkan. “Akibatnya, pendudukan atau penjajahan bangsa Yahudi kepada Palestina itu semakin masif,” lugasnya.

“Sayang, para penguasa Arab berkhianat kepada Palestina. Resolusi Dewan Keamanan PBB pun tak mampu menyelesaikan problematika Palestina hingga saat ini. Realitas penjajahan Yahudi terhadap Palestina terus berlanjut sampai saat ini, dan bahkan semakin parah,” sesalnya.

Terakhir, Abu Hisyam memaparkan bagaimana dulu kaum Muslim membebaskan Palestina. “Pada masa Khalifah Umar, ketika itu Umar menerima kunci Palestina sebagai tanah kharaj. Kemudian, juga di masa Salahuddin al-Ayyubi, Palestina kembali ke tangan kaum Muslim,” pungkasnya. [Disarikan dari IMLC, 03 Oktober 2021.]

(Catatan dari International Muslim Lawyer Conference [IMLC])

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − six =

Back to top button