Afkar

Politik Islam Untuk Semua

Islam adalah agama sempurna sekaligus sistem hidup yang meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia (Lihat: QS an-Nahl [16]: 89).

Penjelasan al-Quran adakalanya dinyatakan secara jelas (sharâhat[an]). Adakalanya mengacu pada Sunnah Nabi saw., Ijmak Sahabat, Ijtihad atau Qiyas. Adakalanya pula dengan menjelaskan kaidah-kaidah global, tujuan-tujuan umum dan pokok-pokok perundang-undangan.

Politik termasuk hal yang diatur oleh Islam. Politik (as-siyasâh)  berakar dari kata sâsayasûsusiyâsat[an]. Artinya: mengatur, memimpin, memelihara dan mengurus suatu urusan. Dalam Islam politik bukan menitikberatkan pada perebutan kekuasaan, namun pada pengaturan urusan masyarakat dengan hukum-hukum Islam, baik di dalam maupun di luar negeri.

Politik dilaksanakan oleh negara dan rakyat. Negara secara langsung melakukan pengaturan ini dengan hukum-hukum Islam. Rakyat mengawasi, mengoreksi dan meluruskan negara jika menyimpang dari Islam.  Gambaran ini diungkapkan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276H): “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.”

Keberadaan tiang (kekuasaan/negara), tali dan pasak (rakyat) adalah sebagai penopang  untuk menegakkan tenda (Islam). Jika tenda (Islam) tegak, maka dia akan menaungi siapa saja yang berada di bawahnya, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.

 

Bukan untuk Kelompok Tertentu

Kadang muncul kekhawatiran pada sebagian pihak bahwa politik Islam akan menjadikan dominasi kelompok tertentu, lalu menzalimi kelompok lain. Apalagi non-Muslim. Jika berkaca pada realitas politik dalam kapitalisme-sekulerisme niscaya kekhawatiran itu sangat beralasan. Namun, jika berkaca pada Islam, lalu negara dan rakyat memiliki kesadaran politik yang islami, tentu hal tersebut bisa dihindari.

Secara manusiawi, adanya kecenderungan hati kepada sebagian kelompok adalah wajar. Tidak bisa dipungkiri. Akan tetapi, kecenderungan tersebut tidak boleh menjadikan adanya kebijakan yang tidak adil kepada rakyat. Abdullah bin Rawahah ra. saat diutus untuk menghitung hasil kebun-kebun Khaibar, dan beliau hendak disuap oleh Yahudi Khaibar, beliau berkata:

يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ، وَاللهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللهِ إِليَّ وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ. فَأَمَّا مَا عَرَّضْتُمْ مِنَ الرَّشْوَةِ فَإِنها سُحْتٌ، وَإِنا لا نَأْكُلُهَا

Wahai kaum Yahudi! Demi Allah, kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci. Meski demikian, kebencianku tidak akan membuatku berbuat lalim kepada kalian. Adapun semua perhiasan yang kalian berikan kepadaku sebagai suap, itu semua adalah haram, dan kami tidak memakan itu (HR Malik, ath-Tabharani, Abdur Razzaq).

 

Islam telah mengharamkan fanatisme kelompok maupun kesukuan, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

وَمَنْ قَاتَل تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّة يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَة فَقُتِل فَقِتْلَة جَاهِلِيَّة

Siapa saja yang berperang di bawah bendera kefanatikan, marah karena fanatik kesukuan atau menyerukan kefanatikan atau menolong (berperang) karena kefanatikan, kemudian dia terbunuh, maka matinya seperti mati jahiliah (HR Muslim, an-Nasaي dan Ibnu Majah).

 

Bintu Watsilah Ibnul Asqa’  pernah mendengar bapaknya bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, ‘ashabiyah (fanatik kesukuan) itu apa?”  Beliau menjawab, “Engkau menolong kaummu dalam kezaliman.”

Jika kepala negara membuat kebijakan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu serta menyulitkan kelompok Islam yang lain, maka rakyat–terutama  ulama–dituntut  mengambil peran politik, yakni dengan menasihati penguasa. Khalifah Abu Ja’far al-Manshur pernah menyampaikan keinginannya kepada Imam Malik bin Anas untuk menyeragamkan kaum Muslim dengan kitab Muwaththa’-nya. Imam Malik menolak dan menasihati Khalifah agar jangan melakukan itu. Padahal kebijakan Khalifah ini berpotensi ‘menguntungkan’ Imam Malik, namun akan menyulitkan mazhab lainnya.

Sebaliknya, jika sebagian rakyat ingin mempengaruhi negara agar membuat kebijakan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu serta menyulitkan kelompok lain, maka semestinya kepala negara juga tidak menyetujui itu.  Pernah dikatakan kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Andai engkau menyatukan manusia atas satu mazhab.”. Beliau menjawab, “Tidak berbeda pendapatnya mereka (dalam perkara ikhtilaf) tidaklah menggembirakan hatiku.”

Kemudian beliau menulis perintah ke berbagai wilayah:

لِيَقْضِ كُلُّ قَوْمٍ بِماَ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ فُقَهَاؤُهُمْ

Hendaklah setiap kaum memutuskan dengan apa yang telah disepakati oleh ahli fikih mereka (HR ad-Darimi).

 

Bukan untuk Kaum Muslim Semata

Politik Islam–dalam  kaitannya dengan kehidupan publik–berpihak kepada semua rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini tercermin dalam berbagai bidang berikut:

 

  1. Agama dan keyakinan.

Dalam sistem Khilafah, non-Muslim yang hidup sebagai warga negara (ahludz-dzimmah) dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing. Begitu juga dalam hal makanan, minuman, pernikahan sesama mereka, dan pakaian. Mereka diperlakukan sesuai dengan agama mereka. Tentu dalam batas apa yang dibolehkan hukum-hukum syariah. Rasulullah saw. menyatakan:

أَنَّه مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّتِهِ أَوْ نَصْرَانِيَّتِه فَإِنَّه لَا يُفْتن عَنْهَا

Sungguh siapa saja yang tetap dalam keyahudiannya dan kenasraniannya tidaklah akan diganggu karenanya (HR al-Baihaqi).

 

Selain itu terkait orang-orang orang musyrik (Majusi/penyembah api), beliau  menetapkan: “Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap Ahlul Kitab.” Ketentuan ini berlaku untuk selain sembelihan dan wanita mereka yang tetap diharamkan bagi umat Islam.

 

  1. Politik dan hukum.

Dalam bidang politik, Muslim maupun non-Muslim secara umum dipandang sama. Semua berhak menempati jabatan apa saja asalkan memenuhi syarat dan memiliki kapabilitas. Hanya saja, memang ada jabatan yang hanya boleh dijabat oleh Muslim, misalnya jabatan kepala negara dan yang terkategori sebagai penguasa (hukkâm), dan posisi-posisi yang mensyaratkan hanya boleh dilakukan oleh Muslim.

Adanya syarat Muslim untuk jabatan tertentu yang ditetapkan oleh syariah  bukanlah bentuk diskriminasi kepada non-Muslim, namun merupakan limitasi yang juga ada dalam sistem apapun. Bahkan limitasi dalam sistem Islam ‘lebih longgar’ dan lebih memungkinkan untuk dicapai dibandingkan dalam sistem lain. Sebagai contoh, ada syarat  di suatu negara: “Presiden ialah orang xxx asli”. Syarat ini menutup peluang bagi siapapun yang bukan berdarah xxx asli untuk menjadi presiden.  Ketika kemudian diubah menjadi “presiden harus seorang warga negara xxx sejak kelahirannya”, tetap saja menutup peluang bagi siapapun yang lahirnya bukan berwarga negara xxx. Padahal asal suku bangsa, tempat kelahiran dan asal orangtua adalah ketetapan Allah yang tidak bisa diubah. Berbeda dengan syarat Muslim, siapapun dia, apapun sukunya, lahir dimanapun, apapun agamanya, semua terbuka peluang untuk memenuhi syarat tersebut dengan mudah, yakni dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Adapun di depan hukum ‘uqûbât (sanksi), secara umum tidak dibedakan antara Muslim dan ahludz dzimmah. Rasul saw. memberlakukan hukum qishash terhadap seorang Yahudi yang membunuh seorang budak untuk merampas anting-anting budak tersebut, juga menerapkan had zina baik kepada Muslim maupun non-Muslim yang berzina.

 

  1. Ekonomi dan kesejahteraan.

Dalam bidang ekonomi, hukum syariah juga berlaku untuk seluruh rakyat tanpa memandang agama dan suku asalnya. Ketika Rasulullah saw. menetapkan:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَه

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah tersebut adalah miliknya (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad).

 

Ketetapan ini berlaku untuk Muslim dan non-Muslim. Begitu juga ketika Muslim diharamkan riba, maka terhadap Nasrani  Najran, Rasulullah saw. juga menetapkan:

أَنَّ مَنْ بايَعَ مِنْكُمْ بالربا فَلَا ذِمَّةَ لَه

Sungguh siapa saja yang berjual beli dengan riba maka tidak ada dzimmah bagi dirinya (HR Ibnu Abi Syaibah).

 

Hanya saja, memang ada pengecualian dalam apa-apa yang Rasulullah saw. tentukan. Mereka, misalnya, tidak dilarang untuk meminum khamr maupun memakan  babi dan makanan yang menurut mereka boleh dimakan (di lingkungan/komunitas mereka, red.).

Dari sisi jaminan kesejahteraan, Islam menjamin seluruh rakyat tanpa ada diskriminasi apapun. Rasulullah saw. bersabda:

وَأَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ الله تَعَالَى

Penduduk negeri manapun yang berada di pagi hari, sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan maka jaminan Allah telah lepas dari mereka (HR Ahmad).

 

Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab ra. pernah melihat orangtua mengemis, yang ternyata beragama Yahudi. Beliau bertanya, “Apa yang memaksa engkau mengemis?” Dia menjawab, “Untuk membayar jizyah, kebutuhan hidup dan karena aku sudah tua (tidak sanggup bekerja).” Khalifah Umar ra. Mengutus dia kepada penjaga Baitul Mal dan berkata:

انْظُرْ هَذَا وَضُرَباءَهُ؛ فَوَالله مَا أَنْصَفْنَاه أَن أكلنَا شبيته ثُمَّ نَخُذُلُهُ عِنْدَ الْهَرَمِ

Lihatlah orang ini dan yang seperti dia! Demi Allah, kita tidak adil kepada dia. Kita mengambil jizyah pada masa mudanya, kemudian kita menelantarkan dia ketika dia lanjut usia (HR Abu Yusuf, Al-Kharaaj, hlm. 126).

 

Tidak aneh jika Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan:  “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan  bagi siapapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.”

 

  1. Pendidikan.

Pada dasarnya, semua warga negara–muslim maupun non-Muslim–wajib  terikat dengan kurikulum pengajaran yang telah ditetapkan oleh negara. Karena kurikulum pendidikan negara berasaskan akidah dan syariah Islam, maka non-Muslim pun harus mempelajari sebagian hukum Islam, terutama yang terkait dengan urusan public. Sebagaimana dalam sistem sekuler, seorang Muslim juga belajar hukum-hukum sekuler.

Meskipun demikian, orang-orang non-Muslim juga dibolehkan mengajarkan ajaran-ajaran mereka sendiri (di lingkungan/komunitas mereka, red.). Negara tidak boleh melarang mereka  karena  ini merupakan  hak mereka yang tidak boleh dihalang-halangi.

 

  1. Keamanan.

Dalam bidang keamanan, semua rakyat juga diperlakukan sama. Bahkan non-Muslim seolah mendapat posisi “istimewa”: hanya wajib membayar jizyah bagi yang lelaki. Mereka tidak wajib berperang saat negara diserang. Hal ini diakui oleh TW Arnold dalam bukunya:  ”Ketika Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya pelindung gereja Yunani. Penindasan kepada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian Pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil…”

WalLâhu a’lam. [Muhammad Taufik NT]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + nine =

Back to top button