Tafsir

Ancaman Bagi Mereka Yang Mendustakan Rasul saw.

إِنَّآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَيۡكُمۡ رَسُولٗا شَٰهِدًا عَلَيۡكُمۡ كَمَآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ رَسُولٗا  ١٥ فَعَصَىٰ فِرۡعَوۡنُ ٱلرَّسُولَ فَأَخَذۡنَٰهُ أَخۡذٗا وَبِيلٗا  ١٦

Sungguh Kami telah mengutus seorang rasul (Nabi Muhammad saw.) kepada kalian sebagai saksi atas diri kalian, sebagaimana Kami telah mengutus seorang rasul kepada Fir‘aun. Namun, Fir‘aun mendurhakai rasul itu sehingga Kami siksa dia dengan siksaan yang berat. (QS al-Muzzammil [73] 15-16)

 

Ayat ini mengingatkan tentang azab yang ditimpakan kepada Fir’aun yang mendurhakai rasul yang diutus kepada dia. Penyampaian kisah itu sebagai ancaman kepada orang-orang yang mendustakan dan mendurhakai Rasulullah saw.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

إِنَّآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَيۡكُمۡ رَسُولٗا شَٰهِدًا عَلَيۡكُمۡ ١٥

Sungguh Kami telah mengutus seorang rasul (Nabi Muhammad saw.) kepada kalian sebagai saksi atas diri kalian.

 

Ayat ini ditujukan kepada orang-orang musyrik. Dalam ayat sebelumnya, penyebutan mereka digunakan dengan kata ganti orang ketiga (ghaybah), sementara khithâb (seruan) ditujukan kepada Rasulullah saw. Dimulai dari firman-Nya:

وَذَرۡنِي وَٱلۡمُكَذِّبِينَ ١١

Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang mendustakan.

 

Hingga firman-Nya:

وَعَذَابًا أَلِيمٗا  ١٣

..dan azab yang pedih.1

 

Dengan begitu, maka terjadi al-iltifât (pengalihan) dari al-ghaybah (orang ketiga, yang dibicarakan) menjadi al-khithâb (orang kedua, yang diseru). Tujuannya li taqrî‘ wa al-tawbîkh (mencela) karena tidak adanya keimanan.2

Sebelumnya Allah SWT memerintahkan beliau untuk bersabar terhadap perkataan mereka dan meninggalkan mereka dengan cara yang baik, kemudian beralih menjadi ancaman kepada mereka.3

Menurut Ibnu ‘Asyur, kalimat dalam ayat ini merupakan ist’nلaf ibtidâ`, yakni kalimat baru yang terputus dengan kalimat sebelumnya secara i’râb. Oleh karena itu, khithâb atau seruan dalam ayat ini tidak dikategorikan sebagai al-iltifât. Alasannya, kalimat ini dipindahkan tujuannya, yang berbeda dengan tujuan dalam kalimat sebelumnya.4

Tujuan dari penyampaian berita di sini dimaksudkan sebagai ancaman bagi mereka, bahwa mereka akan ditimpa azab sebagaimana yang telah menimpa bagi orang-orang yang serupa dengan mereka dalam hal mendustakan Rasul. 5

Ayat ini diawali dengan huruf [اِنَّ] yang berguna sebagai ta‘kîd (menegaskan) berita yang disebutkan sesudahnya. Penegasan tersebut lantaran yang menjadi al-mukhâthabûn, yakni objek yang diseur, adalah orang-orang yang mengingkari bahwa Allah SWT telah mengutus seorang rasul kepada mereka.6 

Orang-orang yang kepada mereka diutus seorang rasul adalah penduduk Makkah, orang-orang kafir Makkah,  atau semua orang kafir.7 Rasul yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw.8

Meskipun yang diseru ayat ini adalah orang-orang kafir Quraisy, yang dimaksud di sini bukan hanya mereka, namun seluruh manusia.9 Tentang hal ini telah maklum karena banyak disebutkan dalam ayat lainnya bahwa Rasulullah saw. diutus kepada seluruh manusia; bukan untuk suku Quraisy, penduduk Makkah, atau bangsa Arab saja. Di antaranya adalah firman Allah SWT:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ ٢٨

Tidaklah Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad saw.), kecuali kepada seluruh manusia (QS Saba‘ [34]: 28).

 

Dalam ayat ini digunakan dalam bentuk nakirah, yakni [رَسُوْلًا] (seorang rasul). Sebabnya, mereka sudah tahu tentang rasul yang dimaksud.10  Juga berguna li al-ta’zhîm (untuk mengagungkan) kedudukan Rasullah saw. sehingga bermakna: “Sungguh Kami telah mengutus seorang rasul yang memiliki kedudukan yang agung dan posisi yang sangat tinggi serta mencakup semua sifat yang mulia.”11

Penyebutan ‘rasûl’ itu menunjukkan bahwa ancaman dan peringatan keras yang ditujukan mereka tidak terkait Rasululullah saw. sebagai pribadi, namun berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai rasul atau utusan Allah SWT.12

Rasul yang diutus kepada mereka itu disifati dengan kata [شَاهِدًا] (saksi).13 Artinya, rasul itu menjadi saksi di akhirat atas mereka, baik tentang akidah maupun amal mereka. Wahbah al-Zuhaili berkata tentang makna ayat ini, “Kami telah mengutus untuk kalian seorang rasul, yaitu Muhammad bin Abdullah, yang akan menjadi saksi pada Hari Kiamat atas amal perbuatan kalian dan apa yang muncul dari kalian; apakah menerima atau menolak; menaati atau membangkang.”14

Bahkan bukan menjadi saksi atas mereka, Rasulullah saw. juga menjadi saksi atas umat-umat lain selain mereka. Allah SWT berfirman:

وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ شَهِيدٗا  ٤١

Kami mendatangkan engkau (Nabi Muhammad saw.) sebagai saksi atas mereka? (QS an-Nisa’ [4]: 41).15

 

Penetapan Rasul saw. menjadi saksi atas mereka lantaran beliau telah menunaikan tugas sebagai penyampai risalah kepada mereka secara sempurna. Menurut Sayyid Thanthawi, Rasulullah saw. akan menjadi saksi atas kalian pada Hari Kiamat karena beliau sudah menyampaikan risalah Allah SWT tanpa lalai sedikit pun.16

Kemudian Allah SWT berfirman:

كَمَآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ رَسُولٗا  ١٥

…sebagaimana Kami telah mengutus seorang rasul kepada Fir‘aun.

 

Huruf al-kâf memberikan makna tasybîh (penyerupaan). Ayat ini menyerupakan pengutusan Nabi Muhammad saw. kepada penduduk Makkah sebagai saksi atas mereka, seperti halnya pengutusan seorang rasul kepada Fir’aun sebagai saksi atasnya.17

Rasul yang diutus kepada Fir’aun itu adalah Nabi Musa bin Imran as.18

Penyebutan secara khusus nama Musa as. dan Fir’aun dan berita keduanya telah masyhur di kalangan penduduk Makkah.19 Kisah Fir’aun yang ditenggelamkan di Laut Merah saat mengejar Nabi Musa as. juga populer di tengah bangsa Arab. Karena itu ketika disebutkan nama Fir’aun, mereka pun langsung bisa mengingat peristiwa yang menimpa mereka.

Rasulullah saw. dan Musa as. sama-sama utusan Allah SWT untuk menyampaikan risalah. Rasulullah saw. diutus kepada penduduk Makkah. Musa as. diutus kepada Fir’aun.

Dari segi objek dakwahnya juga terdapat keserupaan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, orang-orang yang menolak risalah Rasulullah saw. adalah orang-orang yang mendustakan beliau dari kalangan ulî an-na’mah (orang-orang yang hidupnya berkelebihan).  Demikian pula keadaan Fir’aun. Menurut al-Harari, Fir’aun adalah pemimpin orang-orang yang hidupnya berkelebihan, makmur dan menyombongkan diri. Jadi antara Fir’aun dan mereka ada aspek kesamaan, keserupaan keadaan dan hubungan batin.20

Aspek keserupaan lainnya adalah keduanya sama-sama tumbuh di tengah kaumnya masing-masing dan mereka pun meremehkan keduanya.21 Muhammad saw. disakiti dan diremehkan oleh penduduk Makkah karena beliau dilahirkan di tengah-tengah mereka. Fir‘aun merendahkan dan menyakiti Musa as. karena dialah yang mengasuh Musa as.22

Tentang makna ayat ini, Syihabuddin al-Alusi berkata, “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul, menjadi saksi atas kalian, lalu kalian mendurhakai dia, sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun sorang rasul, lalu dia mendurhakai dirinya.”23

Kemudian Allah SWT berfirman:

فَعَصَىٰ فِرۡعَوۡنُ ٱلرَّسُولَ فَأَخَذۡنَٰهُ أَخۡذٗا وَبِيلٗا  ١٦

Namun, Fir‘aun mendurhakai rasul itu sehingga Kami menyiksa dia dengan siksaan yang berat.

 

Allah SWT berfiman: [فَعَصى] Secara bahasa, kata tersebut merupakan lawan dari ketaatan.24 Makna ini pula yang terkandung dalam ayat ini. Menurut as-Sam’ani, ayat ini bermakna: Dia keluar dari ketaatan.25 Al-Qurthubi menuturkan bahwa makna [فَعَصى] di sini adalah mendustakan rasul itu dan tidak mau beriman.26

Menurut Syihabuddin al-Alusi, penyebutan kembali kisah mereka menampakkan buruknya urusan kedurhakaan Fir’aun. Hal itu karena kedurhakaan itu dilakukan terhadap seorang rasul, bukan karena terhadap Musa.27

Demikian juga nama Fir’aun yang kembali disebut. Tidak cukup dengan menyebut dhamîr (kata gantinya)nya serta ditaruh di depan. Tujuannya untuk memberitahukan betapa buruknya kemaksiatan atau kedurhakaan tersebut. Bahkan kedurhakaan itu sudah mencapai puncaknya.28

Kata rasul kembali diulang dalam bentuk ma’rifah, yakni: [الرَّسُوْلَ]. Ini menunjukkan bahwa rasul yang dimaksud adalah rasul yang disebutkan sebelumnya. Huruf al-âm ini adalah al-‘ahdiyyah.29 

Akibat kedurhakaan yang dia lakukan, Allah SWT pun menghukum dan mengazab dia. Allah SWT berfirman: [فَاَخَذْنه]. Artinya, [عَاقَبْنَاه] (maka Kami telah menghukum dia).30

Kata [أَخْذا] berkedudukan sebagai maf’ûl muthlaq. Gunanya untuk menguatkan fi’il-nya, yakni hukumannya.31 Menjadi semakin kuat ketika disifati dengan kata [وّبِيْلًا] (yang berat).32

Kata [الوبيل] adalah shifah musyabbahah yang menunjukkan sifat yang permanen dari kata [وبُلَ – يَوبُل]. Dalam kalimat: [وبُلَ الأمرُ] berarti [اشتدَّ] (perkara itu semakin keras).33 Makna ini sesuai dengan yang dikemukakan Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, al-Sudi dan at-Tsauri. Intinya, makna kata [الوبيل] di sini adalah [شَدِيدًا] (sangat keras).34

Dengan demikian makna penggalan ayat ini adalah, “Kami menghancurkan dia dengan penghancuran yang mengerikan dan tidak terbayangkan; menenggelamkan dia di laut bersama kaumnya.”35

Penenggelaman Fir’aun beserta orang-orang yang bersama dia diberitakan dalam beberapa ayat (Lihat, misalnya: QS al-Zukhruf [43]: 55).

Ayat ini mengingatkan agar menjadikan peristiwa yang menimpa Fir’aun dan bala tentaranya sebagai pelajaran. Begitulah akibat dan kesudahan orang-orang yang zalim. Karena itu siapa pun yang tidak ingin mendapatkan nasib yang sama, semestinya dia meninggalkan sifat tersebut. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya.

WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Lihat Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisia: al-Dar al-Tunisyiyyah, 1984), 272; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur`ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 267

2        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 202. Lihat juga al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 120

3        Lihat Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 272

4        Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 272

5        Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 272

6        Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 273. Lihat juga Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15 (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), 162

7        al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 382

8        al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 382; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 202

9        Lihat al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 204

10      Lihat Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 273

11      Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15, 162

12      Lihat Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 273

13      al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 395; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 267

14      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 204. Lihat juga al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 358

15      al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31 (Beirut: Dar Thauq al-Najah, 2001), 357

16      Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasîth li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15, 162

17      Lihat Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasîth li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15, 162

18      al-Samarqandi, Bahr al-’Ulûm, vol. 3, 417

19      Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15, 162; al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31, 357

20      Lihat al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31, 357

21      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 317

22      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 358

23      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 317

24      Lihat Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 211; al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân (Beirut: Dar al-Qalam, 1992), 570

25      al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 6 (Riyadh: Dar al-Wathan, 1997), 82

26      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishiryyah, 1964), 48. Lihat juga al-Samarqandi, Bahr al-’Ulûm, vol. 3, 417

27      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 120

28      Lihat Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasîth li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15, 162. Penjelasan senada juga dikemukakan Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 274

29      Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 274

30      al-Samarqandi, Bahr al-’Ulûm, vol. 3, 417; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 358; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 204

31      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 202

32      Lihat al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 395

33      Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 3, 2394

34      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 693; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 256

35      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 444

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 + ten =

Back to top button