Soal Jawab

Bolehkah Meninggalkan Identitas Islam Dalam Berpolitik?

Soal:

Apakah boleh bagi seorang Muslim, ketika berpolitik dan melakukan aktivitas politiknya, menanggalkan identitasnya keislamannya?

 

Jawab:

Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya agar memeluk Islam secara kâffah, dalam seluruh aspek kehidupan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ  ٢٠٨

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sungguh ia musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).

 

Imam al-Qurthubi menjelaskan: “Ketika Allah SWT menjelaskan kepada umat manusia, baik Mukmin, kafir maupun munafik, maka Dia (seolah) berfirman: Jadilah kalian dalam satu agama, berhimpunlah kalian dalam Islam, dan berpegangteguhlah dengannya. Kata “as-Silmi” di sini maknanya Islam. Ini dinyatakan oleh Mujahid dan diriwayatkan oleh Abu Malik dari Ibn ‘Abbas.”1

Karena itu ayat ini memerintahkan semua umat manusia untuk memeluk Islam secara kâffah. Ibn ‘Abbas ra. menjelaskan, ayat ini ditujukan kepada orang Yahudi dan Nasrani agar memeluk Islam secara kâffah (menyeluruh). Artinya, jika orang Yahudi dan Nasrani saja diperintahkan masuk Islam secara kâffah, apatah lagi orang Islam. Tentu lebih wajib lagi.

Karena itu al-Qurthubi menjelaskan makna kâffah di dalam ayat ini: Pertama, menyeluruh; meliputi seluruh ajaran Islam. Kedua, menolak yang lain, di luar Islam. Dengan kata lain, orang yang telah memeluk Islam wajib mengambil Islam secara menyeluruh dan menolak yang lain selain Islam. Itu baru disebut masuk Islam secara kaffah.2

Pengertian ini diperkuat oleh firman Allah SWT:

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ  ٨٥

Siapa saja yang mencari agama selain Islam sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima dari dirinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali ‘Imran [3]: 85).

 

Karena itu, baik Muslim maupun non-Muslim, jika mengambil selain Islam sebagai agama, tidak akan diterima oleh Allah. Orang Muslim tidak dibenarkan mengambil Islam dan  pada saat yang sama juga mengambil yang lain. Itu juga tidak akan diterima. Inilah yang dimaksud memeluk Islam secara kâffah. Menyeluruh dan menolak yang lain selain Islam.

Dengan kata lain, seorang Muslim wajib mengimani dan mengambil Islam secara utuh. Tidak boleh sepotong-sepotong. Dipilih-pilih yang enak dan mudah saja (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 85).

Karena itu haram hukumnya meninggalkan identitas Islam dalam hal apapun. Sebaliknya, identitas Islam harus dipegang teguh oleh setiap Muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. Tidak hanya saat beribadah, tetapi juga dalam melakukan kegiatan lain seperti ekonomi, sosial, pendidikan, politik, pemerintahan dan sebagainya.

Dalam konteks politik maupun yang lain, di luar konteks ibadah, identitas Islam wajib dipegang teguh, dan dijadikan identitas diri setiap Muslim. Menurut Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani:

اَلسِّيَاسَة هِيَ رِعَايَة شُؤُوْنِ الأُمَّة دَاخِلِيا، وَخَارِجِيا وَتَكُوْنُ مِنْ قِبَلِ الدَّوْلَةِ وَالأُمَّةِ، فَالدَّوْلَة هِيَ الَّتِيْ تُبَاشِرُ هَذِهِ الرِّعَايَةِ عَمَلِيا، وَالأُمَّة هِيَ الَّتِيْ تُحَاسِبُ هَذِهِ الدَّوْلَة

Politik adalah mengurusi urusan umat di dalam dan luar negeri. Hal itu dilakukan oleh negara dan umat. Negaralah  yang melaksa-nakan pengurusan ini secara langsung, sedangkan umatlah mengoreksi negara.3

 

Mengurusi umat di dalam negeri itu dilakukan oleh negara dengan cara menerapkan ideologi Islam (akidah dan syariah) secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Tugas umat adalah mengoreksi jalannya penerapan ideologi Islam ini jika terjadi penyimpangan. Adapun mengurusi umat di luar negeri adalah hubungan negara dengan bangsa, umat dan negara lain. Mengemban dan menyebarkan ideologi ke luar negeri. Itulah politik luar negeri negara Islam.

Berpolitik, yakni mengurusi urusan umat, di dalam dan luar negeri, dengan menerapkan Islam secara kâffah itu hukumnya wajib, baik oleh negara maupun umat. Ini sebagaimana dalam Hadis Nabi saw.:

كُلُّكُمْ رَاعٍ ومَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ؛ فَالإِمَامُ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، والرَّجُلُ في أهْلِهِ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ في بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَة وَهِيَ مَسْؤُولَة عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِه رَا ع وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Kalian semua adalah penggembala (pengurus), dan penanggungjawab atas rakyat (yang diurus)-nya. Seorang imam (pemimpin) adalah penggembala, dan dialah yang bertanggungjawab terhadap rakyat (yang diurus)-nya. Seorang pria adalah pengurus keluarganya, dan dialah yang bertanggungjawab terhadap keluarga yang diurusnya. Wanita adalah pengurus di dalam rumah suaminya, dan dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan keluarganya. Pembantu adalah pengurus harta tuannya, dan dialah yang bertanggungjawab atas urusannya.”4

 

Hadis menjelaskan tentang kedudukan setiap orang sebagai pelaku politik pada levelnya. Masing-masing mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap apa yang diurusnya. Itulah politik. Karena itu Syaikh Hisyam ‘Abdul Karim al-Badrani menyatakan, “Sesungguhnya tugas politik  adalah tanggung jawab semua pihak di dalam masyarakat Islam, sesuai dengan posisi mereka dalam kekuasaan, atau untuk mengoreksi dan memberikan ketaatan untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman.”5

Lalu, bagaimana cara mengurus urusan tersebut? Bagi kaum Muslim, tak ada cara lain, kecuali dengan menggunakan Islam secara kaAffah. Karena itu seorang Muslim juga politikus. Sebabnya, politik dalam pandangan Islam adalah mengurusi urusan umat dengan syariah Islam, maka mutlak wajib menguasai fikih Islam dengan baik dan benar. Seorang ahli fikih tidak boleh berhenti pada penguasaan hukum fikih, tetapi harus sampai pada level implementasi fikih ke dalam kehidupan. Baru hukum fikih tersebut akan bisa diwujudkan dalam kehidupan. Jika tidak, hukum fikih tersebut hanya sebatas gagasan.

Begitu juga sebaliknya. Seorang politikus yang tidak menguasai fikih tidak akan bisa mengurusi urusan umat dengan baik dan benar. Karena itu fikih dan politik, dalam pandangan Islam, tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, fikih adalah solusinya, sedangkan politik adalah cara bagaimana mengimplementasikan fikih tersebut dalam kehidupan.

Karena itu berpolitik itu hukumnya fardhu sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan jihad. Sama-sama wajib. Tidak boleh dibeda-bedakan. Jika demikian, fikih akan melekat di dalam politik, dan tidak bisa dipisahkan; sekaligus menjadi identitas, yang membedakannya, antara politik Islam dan bukan.

Namun, ketika politik kaum Muslim tidak menggunakan hukum syariah, maka politiknya tidak mempunyai identitas yang jelas, bahkan oportunis, dan hipokrit. Inilah yang digambarkan dalam al-Quran:

مُّذَبۡذَبِينَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ لَآ إِلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ وَلَآ إِلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَلَن تَجِدَ لَهُۥ سَبِيلٗا  ١٤٣

Mereka (orang-orang munafik) dalam keadaan ragu di antara yang demikian (iman atau kafir). Tidak termasuk golongan (orang beriman) ini dan tidak (pula) golongan (orang kafir) itu. Siapa saja yang dibiarkan sesat oleh Allah (karena tidak mengikuti tuntunan-Nya dan memilih kesesatan), kamu tidak akan menemukan jalan (untuk memberi petunjuk) bagi dirinya (QS an-Nisa’ [4]: 143).

 

Karena itu tidak boleh seorang Muslim menanggalkan identitasnya dalam berpolitik. Apapun alasannya. Sebaliknya, dia wajib terikat dengan hukum syariah dalam segala aspek kehidupannya. Betapapun ujiannya. Berat atau ringan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [KH Hafidz Abdurrahman, MA]

 

Catatan kaki:

1        Al-Imam al-‘Allamah al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, hal.

2        Al-Imam al-‘Allamah al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz I, hal.

3        Al-Imam al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim as-Siyasah li Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, cet. IV, tahun 1425 H/2005 M, hal. 5.

4        Hr. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Umar

5        Syaikh Hisyam ‘Abdul Karim al-Badrani, Mu’ahillat as-Siyasi al-Mubdi’, Muasssasah al-Bashair li ad-Dirasat wa an-Nasyr, Irak, cet. I, 1441 H/2020 M, hal. 78.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − 11 =

Back to top button