Haji: Simbol Persaatuan Umat
Jika dibandingkan dengan pada masa Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin hingga Kekhilafahan Utsmaniyah, ibadah haji hari ini mengalami reduksi makna dan substansi yang luar biasa. Ibadah haji hari ini hanya dianggap sebagai prosesi ritual belaka. Pesan luhur yang tersirat dalam setiap prosesi ibadah haji tidaklah membekas pada diri orang yang menunaikan ibadah haji.
Padahal banyak pelajaran berharga yang bisa diambil. Misalnya, makna politis yang dikandung dalam ritual haji. Padahal andai saja makna politis haji mampu diejawantahkan dalam kehidupan, bukan mustahil akan memberikan konstribusi yang berharga untuk kemajuan umat.
Pada zaman penjajahan, misalnya, jamaah haji betul-betul mendapatkan pencerdasan politik sepulangnya dari Makkah. Semangat mereka untuk bangkit melawan penjajahan semakin besar. Hal itu yang membuat Belanda takut luar biasa. Mereka mencoba menghalang-halangi keberangkatan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Dalam buku Politik Islam Hindia Belanda1 karya Dr. Husnul Aqib Suminto, dikisahkan bahwa pada tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda pernah dengan tegas melarang orang Indonesia untuk berhaji. Kebijakan tersebut dikeluarkan Pemerintah Belanda karena mereka mendapati kenyataan bahwa berbagai perlawanan umat Islam kepada Belanda banyak dimotori oleh para haji dan ulama.
Bahkan Belanda akhirnya mengangkat Snouck Hurgronje, seorang Orientalis yang pernah membantu Pemerintah Hindia Belanda untuk “memadamkan” perlawanan rakyat Aceh, menjadi Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasihat Kantor Urusan Pribumi dan Arab).
Dalam pengamatannya, Snouck melihat perbedaan antara jamaah haji yang hanya beberapa bulan tinggal di Makkah dengan beberapa mukimin atau yang tinggal ‘menahun’ di Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Mukimin yang disebut oleh Snouck sebagai “koloni Jawa” ini dia sebut sebagai reservoir bagi Islam di Indonesia.
Pada akhir abad ke-19 jumlah mukimin Indonesia di Tanah Suci merupakan yang terbesar dan bagian paling aktif. Snouck mengambil kesimpulan,”Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh tubuh Muslimin Indonesia.”
Pada akhirnya segala gerak gerik para mukimin ini selalu diawasi Konsul Belanda di Jeddah dan wakilnya di Makkah.2
Snouck Hurgronje juga membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai “kekuatan sosial politik”. Snouck lalu membagi Islam atas tiga kategori, yakni: a) Bidang agama murni atau ibadah; b) Bidang sosial kemasyarakatan; dan c) Bidang politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politiek, atau kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Hindia-Belanda.
Snouck Hurgronje memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelesaikan berbagai masalah yang menyangkut ketiga kategori di atas. Dalam bidang agama murni, atau ibadah, Pemerintah Hindia-Belanda disarankan untuk bersikap netral dan memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan perintah agamanya. Tentu sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Khusus tentang masalah meningkatnya pelaksanaan ibadah haji, walaupun Pemerintah Hindia-Belanda sangat takut akan dampak yang ditimbulkan oleh para haji yang memimpin berbagai pemberontakan di Nusantara dan terus mengawasi mereka, Snouck tetap memasukkan persoalan ibadah haji ke dalam kawasan netral, karena ibadah haji masih menyangkut urusan ibadah. Pemberian kebebasan dalam pelaksanaan ibadah haji, menurut Snouck, “akan meyakinkan para ulama tentang niat baik Pemerintah Belanda, dan akan menyadarkan pula bahwa mereka tidak perlu takut pada pemerintah kolonial, selama tidak mencampuri urusan politik.”3
Jadi jelas bahwa ibadah haji pada zaman dulu memberikan pengaruh yang luar biasa. Ibadah haji mengajarkan kepada jamaah haji tentang perjuangan; tentang ketidakrelaan untuk dijajah. Doktrin semangat kebangkitan didapatkan oleh para jamaah selama pelaksanaan ibadah haji. Wajar kalau sekembalinya dari menunaikan ibadah haji, mereka mempelopori perlawanan terhadap Belanda di berbagai daerah di Nusantara.
Sayang, hal itu tidak kita jumpai dari pelaksanaan ibadah haji saat ini. Ibadah haji saat ini seolah kehilangan makna yang hakiki, termasuk makna politisnya. Ada beberapa penyebabnya.
1) Sekularisasi di Dunia Islam.
Reduksi makna politis ibadah haji terjadi seiring dengan menguatnya arus sekularisme di Dunia Islam. Sekularisme yang tumbuh dan berkembang di Dunia Islam adalah produk imperialisme Eropa. Pada abad ke-19 M, kaum penjajah kafir Barat membawa paham baru bernama sekularisme ke negara-negara Islam.
John L. Esposito4 dalam Ensiklopedi Oxford, menyatakan bahwa sekularisme berfungsi sebagai ideologi yang dipaksakan dari luar oleh para penjajah. Hal itu yang terjadi di berbagai negeri-negeri Muslim yang memisahkan diri dari Kekhilafahan Utsmaniyah. Apalagi setelah Kekhalifahan Utsmaniyah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I. Akhirnya, Kekhilafahan tersebut benar-benar dihancurkan oleh Gerakan Turki Muda yang dipimpin oleh Mustafa Kemal.
Hal tersebut tidak hanya terjadi di Turki, namun juga di negeri-negeri Islam yang lainnya. Negara kafir penjajah telah berhasil melakukan proses sekularisasi dan liberalisasi secara masif dan ekspansif melalui proyek globalisasi, modernisasi dan westernisasi. Ketiganya merupakan gerakan pemikiran yang mengusung prinsip-prinsip atau elemen-elemen pandangan hidup Barat.
2) Agama sebatas aktivitas ritual.
Penyebab kedua tereduksinya makna dan substansi ibadah haji adalah menguatnya pandangan bahwa ajaran agama cukup dipandang sebatas aktivitas ritual. Agama bukan lagi sebagai pandangan dan jalan hidup (way of life).
Pendangkalan pemaknaan atas setiap pelaksanaan ibadah atau ajaran agama, termasuk ibadah haji, menjadi sebatas aktivitas ritual, terjadi seiring dengan semakin derasnya arus sekularisasi dan liberalisasi di Dunia Islam.
3) Sekat negara-bangsa akibat nasionalisme.
Dalam konteks ibadah haji, para jamaah haji datang dari berbagai penjuru dunia. Tidak hanya dari negeri-negeri Islam, tetapi juga dari negara-negara Barat tempat umat Islam tinggal. Seluruhnya bertemu dan berinteraksi. Mereka disatukan oleh akidah dan pandangan hidup yang sama. Selama menunaikan ibadah haji mereka mempunyai tujuan yang sama. Jamaah haji juga memiliki kesolidan yang tinggi yang digerakkan oleh kekuatan akidah dan pemahaman agama mereka. Mereka bisa menyatu begitu kuatnya.
Semuanya ini membuktikan bahwa umat ini adalah umat yang satu. Mereka kuat. Mereka tidak bisa dikalahkan oleh siapapun karena persatuan mereka.
Ironisnya, kekuatan umat yang dahsyat tersebut belum dapat ditransformasikan dalam kehidupan nyata pasca haji. Pasalnya, adanya sekat-sekat negara-bangsa (nation state) yang menjadi penghalang utama. Ketika jamaah haji kembali ke daerah asalnya, kepentingan yang diperjuangkan sering bukan kepentingan umat Islam secara keseluruhan, tetapi kepentingan negara atau negeri tempat mereka tinggal.
Inilah dampak buruk paham nasionalisme. Memang sejak awal nasionalisme digunakan oleh negara-negara kafir Barat untuk memecah-belah umat Islam. Nasionalismelah yang digunakan untuk menghasut umat Islam untuk memisahkan diri dari wilayah yang pada mulanya menjadi bagian dari Daulah Khilafah seperti Arab Saudi, Syiria, Lebanon, Kuwait, Irak, Yordania dan lainnya. Nasionalisme merupakan konsep yang sangat bertentangan dengan Islam karena menyeru pada fanatisme kesukuan/kebangsaan. Sebaliknya, Islam menyerukan persatuan manusia berdasarkan pada akidah Islam, yaitu keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Peran Strategis Ibadah Haji ke Depan
1) Menguatkan makna politis ibadah haji.
Perjalanan haji Rasulullah saw. sesungguhnya kental dengan pesan politisnya. Dalam Haji Wada’ pada tahun 10 H, misalnya, Rasulullah saw. menyampaikan khutbah yang menyejarah dan terekam dalam kitab-kitab ulama, seperti dalam Kitab Siirah Nabawiyyah yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. Di antara isi khutbah beliau adalah: “Ketahuilah, sembahlah Rabb kalian. Dirikanlah oleh kalian shalat lima waktu. Laksanakanlah puasa Ramadhan kalian. Bayarkanlah zakat harta kalian dengan sukarela. Tunaikanlah haji di rumah Tuhan kalian. Taatilah waliyul amri kalian. Niscaya kalian masuk surga Rabb kalian.”
Pesan kepada para jamaah haji untuk taat kepada pemimpin merupakan pesan yang sarat muatan politis.
Masih banyak makna politis ibadah haji yang seharusnya mampu dipetik. Misalnya, ibadah haji harus mampu membangkitkan kesadaran dan persatuan umat. Bisa disaksikan, bagaimana persatuan umat saat pelaksanaan ibadah haji. Tidak ada lagi sekat-sekat warna kulit, batas-batas kebangsaan, perbedaan suku, perbedaan bahasa, orang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat biasa, maupun sekat-sekat lainnya. Semua sama. Berbaur menjadi satu dan sederajat. Semua sadar, hanya satu yang menyatukan mereka, yaitu akidah Islam.
Jika kesadaran itu ditransformasikan dalam kehidupan nyata, maka di hadapan sesama Muslim, umat Islam akan merasa sama. Sebaliknya, mereka akan merasa superior di hadapan orang-orang kafir. Mereka tidak rela jika tanah dan harta mereka dirampok oleh negara-negara kafir penjajah. Mereka juga tidak akan rela jika saudara mereka dibantai atau ditangkap dan dipenjarakan atas kehendak negara-negara kafir penjajah sekalipun dilakukan dengan menggunakan tangan saudara mereka, sesama Muslim. Jika kesadaran itu ada, mereka pasti bangkit dan merdeka. Semua kekuatan yang menghalangi kebangkitan mereka pun akan mereka taklukkan, termasuk para penguasa antek penjajah.
Ketika dua Tanah Haram, Makkah dan Madinah, dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah haji dan ziarah bagi jamaah haji, maka mereka yang mempunyai modal pengetahuan sejarah tentang kedua tanah itu pasti akan merasakan pengaruh yang luar biasa dalam diri jamaah haji. Betapa tidak. Di sana mereka bisa menyaksikan langsung lembah Aqabah, tempat Nabi saw. dibaiat menjadi kepala Negara Islam pertama. Mereka juga bisa menyaksikan Hudaibiyah, tempat Perjanjian Hudaibiyah dilakukan, yang menjadi pintu masuk Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Kemudian di Madinah jamaah haji akan menemukan Masjid Nabawi yang menjadi pusat pemerintahan Nabi saw.
Manakala jamaah haji memahami sejarah yang terjadi di masing-masing tempat tersebut dan bagaimana perjuangan Rasulullah saw., tentu semangat dan kesadaran politik mereka akan bangkit. Mereka sadar bahwa Nabi saw. dan generasi terbaik umat ini dulu mendirikan Negara Islam dimulai dengan perjuangan yang luar biasa.
Semua itu seharusnya dapat melecutkan semangat dan kesadaran yang membuncah dalam diri jamaah haji. Dengan begitu, ketika berhaji, mereka tidak sekadar mendapatkan haji mabrur, tetapi juga menjadi pribadi yang di dalam dirinya telah tertanam semangat, kesadaran dan tekad yang kuat untuk mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para Sahabat.
2) Ibadah haji sebagai sarana persatuan umat.
Ibadah haji ke depan seharusnya juga bisa menjadi sarana untuk mewujudkan persatuan umat. Hal itu tidak akan pernah mampu diwujudkan jika umat Islam masih tersekat-sekat oleh Negara-bangsa seperti saat ini. Jumlah yang besar hanya laksana buih di samudera yang luas. Dengan tegaknya kembali institusi politik umat yaitu Daulah Khilafah, dan di bawah kepemimpinan tunggal seorang Khalifah atau Amirul Mukminin, maka menjadikan ibadah haji sebagai sarana untuk mewujudkan persatuan umat menjadi sesuatu yang mudah.
Prosesi ibadah haji membuktikan bahwa umat Islam ini bisa bersatu dalam satu tujuan sekalipun negeri, bangsa, warna kulit, mazhab bahkan bahasa mereka berbeda. Jika saja, realitas pemandangan yang agung (masyhad al-a’zham) dalam ibadah haji tersebut bisa ditransformasikan dalam kehidupan politik, maka umat ini tidak akan lagi terperangkap di dalam negara-bangsa. Sebaliknya, mereka hanya mau hidup dalam satu negara, di bawah satu bendera, Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasuululLâh, satu imam, satu sistem (syariah) dan satu negara, yaitu Daulah Khilafah.
Dengan demikian seharusnya setelah pulang berhaji, semangat persatuan umat Islam sedunia itu masih membekas, kemudian diceritakan dan disebarkan kepada seluruh umat Islam di negeri masing-masing. Tentu agar menginspirasi untuk segera mewujudkan persatuan umat. Jamaah haji adalah entitas yang paling mungkin melakukan itu. Pasalnya, dengan mata-kepala sendiri mereka saksikan sendiri betapa hebatnya aura persatuan umat Islam.
Karena itu sangat mendesak untuk menguatkan pemaknaan politis ibadah haji. Tentu agar ibadah haji tak hanya sebatas ritual semata, tetapi juga memberikan atsar yang besar mengenai pentingnya umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi politik yang satu. Itulah Daulah Khilafah yang akan menjamin keadilan, mewujudkan kesejahteraan, menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia serta menebarkan rahmat bagi seluruh alam.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Fajar Kurniawan ; Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD)]
Catatan kaki:
1 Suminto, H.A. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, Jakarta.
2 Ibid
3 Ibid
4 Esposito, J.L. 1995. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Oxford University Press, Oxford, New York.