Pelajaran dari Krisis Sri Lanka dan Mesir
Sri Lanka, negara di bagian selatan India, dalam beberapa bulan terakhir mengalami krisis ekonomi dan pemerintahan. Negara itu kesulitan untuk mengimpor berbagai komoditas esensial seperti makanan dan bahan bakar akibat kekurangan cadangan devisa. Kekurangan makanan dan bahan bakar serta obat-obatan menyebabkan inflasi terus melambung. Inflasi pada akhir tahun lalu mencapai 12 persen. Pada bulan Mei naik menjadi 39 persen. Kelangkaan pasokan energi menyebabkan pemadaman listrik hampir setiap saat, sementara kekurangan obat-obatan mengancam sistem kesehatan negara itu.
Demonstrasi rakyat Sri Lanka meluas. Ini pada akhirnya mendorong Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, kakak dari Presiden Gotabaya Rajapaksa, mengundurkan diri. Ialu digantikan oleh Ranil Wickremesinghe. Adapun sang kakak tetap menolak mundur sebagai presiden.
Kekurangan cadangan devisa juga telah menyebabkan Pemerintah Sri Lanka tidak mampu membayar bunga utangnya yang jatuh tempo sebesar $78 juta. Dua lembaga pemeringkat kredit kemudian menurunkan peringkat investasi negara itu. Posisi itu mengakibatkan negara itu semakin sulit untuk mendapatkan pinjaman investor asing. Negara itu pun pada akhirnya meminta uluran tangan IMF dan Bank Dunia. Beberapa negara seperti Bangladesh, India, dan negara-negara G-7 juga menyatakan bersedia memberikan utang kepada negara itu.
Ada beberapa sebab mengapa Sri Lanka kekurangan cadangan devisa. Salah satu sumber pendapatan devisa negara itu adalah pariwisata. Namun, pandemi Covid-19 menyebabkan kunjungan turis berkurang drastis. Kemudian, teh yang menjadi salah satu pendapatan utama ekspor negara itu anjlok setelah Pemerintah mengurangi impor pupuk dan pestisida dengan alasan agar petani beralih ke pertanian organik. Kebijakan itu pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi impor agar cadangan devisa yang menipis tidak semakin tergerus. Namun, kebijakan itu justru membuat produksi pertanian anjlok sehingga ekspor ikut tertekan. Harga energi dan pangan global yang meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir membuat biaya impor semakin mahal.
Di sisi lain, peningkatan utang luar negeri yang meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir mengakibatkan kewajiban pembayaran bunga dan pokoknya semakin membengkak. Pada tahun 2019 utang luar negeri negara itu mencapai 42 persen dari PDB, lalu meningkat menjadi 119 dari PDB pada tahun 2021. Total utang luar negeri Pemerintah Sri Lanka telah mencapai $51 miliar. Tahun ini negara itu harus membayar sekitar $7 miliar.
Di sisi lain, cadangan devisanya terus menyusut. Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan devisa sebesar $7,6 miliar, lalu menyusut menjadi $1,93 miliar pada Maret 2020. Pada bulan April, Pemerintah mengumumkan angka itu turun menjadi hanya $50 juta.
Pesatnya pertumbuhan utang luar negeri Sri Lanka dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh utang Pemerintah kepada Cina meningkat drastis, terutama untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Belakangan Pemerintah kesulitan untuk membayar utang-utang tersebut. Salah satu dampaknya, pelabuhan Hambantota, yang menjadi salah satu proyek infrastruktur terbesar di negara itu, kini pengelolaannya jatuh ke tangan Cina selama 99 tahun dan dapat diperpanjang 99 tahun berikutnya, atau hampir dua abad.
Menurut South China Morning Post (25/2/21), kesepakatan itu terjadi pada tahun 2017, setelah Pemerintah kesulitan membayar utangnya. Pelabuhan itu berada pada rute pelayaran utama dari Asia ke Eropa sehingga sangat strategis bagi proyek “Belt and Road Initiative” China.
Beberapa upaya Pemerintah mengatasi krisis itu justru semakin memperburuk keadaan. Untuk mengatasi kekurangan anggaran demi membiayai pengeluarannya, Pemerintah malah mencetak uang. Hal itu dilakukan dengan menerbitkan obligasi yang dibeli oleh Bank Sentral di pasar perdana. Pemerintah juga akan memprivatisasi Sri Lanka Airlines. Permohonan pinjaman kepada IMF juga menjadi langkah yang fatal. IMF meminta Sri Lanka menaikkan suku bunga dan pajak sebagai syarat pinjaman.
Arus keluar devisa yang lebih besar dibandingkan arus masuk ditambah dengan inflasi yang naik tajam, menyebabkan nilai Rupee melemah. Namun, kebijakan Bank Sentral memberlakukan kurs tetap dan kontrol ketat perdagangan devisa malah menciptakan perdagangan devisa di pasar tidak resmi yang lebih mencerminkan harga pasar Rupee. Ketika Pemerintah mematok 200 LKR/USD pada bulan Februari 2022, harga Rupee di pasar gelap sudah di atas 248 per dolar AS. Munculnya pasar gelap ini mengakibatkan aliran masuk devisa, seperti yang berasal dari remitansi atau pendapatan ekspor, ke jalur resmi menurun. Akhirnya, jumlah cadangan devisa yang dikontrol bank sentral semakin kecil dan bank-bank komersial Sri Lanka kesulitan mendapatkan mata uang asing.
Krisis Mesir
Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis utang juga mendera Mesir dalam beberapa bulan terakhir. Pada akhir tahun fiskal 2020/2021, total utang Mesir mencapai $392 miliar. Itu termasuk $137 miliar dalam utang luar negeri, yang empat kali lebih tinggi dari tahun 2010 ($33,7 miliar); juga utang domestik yang mencapai $255 miliar, yang menurut Bank Sentral Mesir, dua kali lebih besar dari tahun 2010.
Nilai utang Pemerintah Mesir meningkat pesat sejak Presiden Abdel Fattah el-Sisi berkuasa pada 2014. Pada tahun 2013, angkanya mencapai $46,5 miliar, lalu pada 2019 menjadi $115 miliar. Pada Januari, rasio utang terhadap PDB Pemerintah adalah 91,6 persen, naik dari 87,1 persen pada 2013. Pada tahun 2021, Mesir menempati peringkat 158 dari 189 negara dalam rasio utang terhadap PDB. Bahkan menurut perusahaan pemeringkat Standard & Poor’s, Mesir akan menyalip Turki sebagai penerbit utang negara terbesar di Timur Tengah.
Ketidakmampuan Pemerintah memperbaiki kondisi ekonomi nasional membuat Pemerintah Sisi kembali berencana meningkatkan pinjaman tahun ini sebesar $73 miliar melalui penjualan obligasi. Sebagian besar pinjaman itu nantinya digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang lama. Besarnya nilai utang Mesir menyebabkan pembayaran bunga utang menempati urutan terbesar dari seluruh kelompok belanja Pemerintah. Pada tahun anggaran 2020/2021, dari total pengeluaran yang mencapai $93 miliar, sebanyak $31 miliar atau sepertiganya digunakan untuk membayar utang.
Komposisi utang luar negeri Mesir tidak hanya berasal dari pasar modal, tetapi juga berasal dari beberapa lembaga multinasional seperti IMF dan bank-bank internasional. Sejak 2016, IMF telah menawarkan pinjaman sebesar $20 miliar lalu akan ditambah lagi setelah berkecamuknya Perang Rusia-Ukraina. Karena pinjaman Mesir ke IMF telah melebihi kuota, maka suku bunga yang dikenakan lembaga itu menjadi lebih tinggi. Kini Mesir telah menjadi klien terbesar IMF setelah Argentina.
Menurut laporan POMED, utang Pemerintah Mesir bukannya digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang produktif, tetapi digunakan untuk membiayai mega proyek yang memiliki nilai simbolis daripada nilai ekonomi. Di antara belanja tersebut adalah pembangunan ibukota administratif baru senilai $58 miliar di gurun di luar Kairo dan pembelian senjata, yang menempatkan Mesir menjadi lima besar pembeli senjata dunia.
Meroketnya harga pangan global ikut berdampak pada memburuknya ekonomi Mesir. Sebabnya, hampir 80 persen pangan negara itu berasal dari impor, terutama dari Rusia dan Ukraina. Untuk mengatasi gejolak inflasi domestik dan membendung arus keluar modal asing, Bank Sentral Mesir menaikkan suku bunga acuan untuk pinjaman dan deposito satu malam (overnight) masing-masing menjadi 10,25 persen dan 9,25 persen. Bank sentral juga mendevaluasi nilai mata uang Mesir sebesar 14 persen. Namun, langkah itu tidak banyak membantu mengatasi krisis. Inflasi Mesir terus melonjak dari 6 persen Desember 2021 menjadi 15 persen pada April 2022. Cadangan devisa anjlok dari 41 miliar dollar pada akhir tahun lalu menjadi 35 miliar pada Mei 2022.
Pelajaran dari Krisis
Kondisi ekonomi yang dihadapi Sri Lanka dan Mesir di atas merupakan potret krisis yang kerap terjadi di negara-negara berkembang yang mengadopsi sistem kapitalisme.
Di antara penyebab krisis tersebut adalah pembiayaan APBN dengan utang ribawi. Ketergantungan pada utang menyebabkan tersedotnya anggaran untuk membayar bunga utang yang nilainya bisa semakin tinggi sejalan dengan semakin tingginya tingkat risiko kedua negara itu.
Utang juga dijadikan jebakan oleh negara-negara kreditur untuk mengakuisisi aset yang dibiayai utang ketika Pemerintah tidak sanggup membayar kewajibannya. Utang juga menjadi sarana bagi kreditur untuk menerapkan berbagai syarat-syarat yang merugikan negara yang pada ujungnya merugikan rakyat negara tersebut. Syarat IMF kepada negara yang meminta bantuan dengan meminta kenaikan suku bunga dan tarif pajak bukannya menyelesaikan masalah, tetapi malah mencekik rakyat yang mengalami tekanan inflasi, khususnya harga-harga kebutuhan pokok.
Mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas berharga apapun (fiat money) juga menjadi salah satu penyebab tidak stabilnya perekonomian kedua negara di atas. Ketika terjadi gejolak ekonomi para pemilik modal cenderung menghindari risiko dengan memindahkan aset mereka ke negeri lain. Akibatnya, nilai tukar mata uang melemah, sehingga barang-barang impor semakin mahal dan nilai utang luar negeri meningkat. Akhirnya, cadangan devisa semakin tergerus. Untuk mengatasi masalah itu, bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga, yang justru ikut menekan pertumbuhan ekonomi. Bank sentral juga harus melakukan intervensi pasar agar nilai mata uangnya tidak semakin jatuh. Fluktuasi tajam tersebut justru menjadi celah bagi spekulan untuk mengeruk keuntungan. Jika cadangan devisa merosot maka Pemerintah terpaksa meminta bantuan kepada IMF dan negara-negara yang memiliki cadangan lebih banyak, yang tentu saja disertai syarat-syarat yang menguntungkan mereka.
Kondisi ini juga pernah dialami Indonesia tatkala Pemerintah meminta bantuan IMF untuk mengatasi pelemahan nilai tukar akibat derasnya aliran modal keluar Indonesia.
Di dalam perspektif Islam, penarikan utang ribawi yang dilakukan oleh Mesir dan Sri Lanka merupakan kebijakan yang haram. Sebabnya, riba telah diharamkan secara tegas berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.
Utang juga telah menjadi pintu masuk negara atau institusi asing untuk menanamkan pengaruhnya melalui syarat-syarat yang kerap merugikan suatu negara dan membuat pemerintahnya tidak lagi independen di dalam mengatur negara mereka. Kondisi ini haram. Sebabnya, di dalam al-Quran dinyatakan dengan tegas larangan orang-orang kafir menguasai kaum Muslim (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 141)
Selain itu, standar moneter yang sesuai dengan ajaran Islam adalah penggunaan mata uang emas dan perak. Dengan standar tersebut, inflasi akibat penambahan jumlah uang beredar yang dilakukan oleh Pemerintah untuk membiayai belanja negara tidak akan terjadi. Sebabnya, mata uang yang beredar harus setara dengan cadangan emas dan perak yang dimiliki. Kurs mata uang antarnegara juga tetap stabil. Pasalnya, yang dipertukarkan adalah komoditas yang sama, yakni emas dan perak, meskipun dengan penamaan uang yang berbeda-beda. Dengan demikian negara tidak perlu melakukan intervensi langsung untuk menahan pergerakan aliran kedua komoditas itu. Apalagi menggunakan mekanisme suku bunga.
Kehadiran mata uang emas dan perak juga akan menghapus dominasi negara tertentu dalam mencetak uang, seperti dolar AS, saat ini, dan menghilangkan sepak terjang para spekulator yang mengambil keuntungan dari fluktuasi nilai tukar mata uang.
Alhasil, satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh Pemerintah Mesir dan Sri Lanka, sebagaimana halnya negara-negara lain di dunia ini, adalah meninggalkan sistem kapitalisme dan ketergantungan pada lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Lalu mereka harus mengadopsi sistem Islam secara komprehensif, yang mengikuti jejak Nabi Muhammad saw. dan para Khulafaur Rasyidin, di bawah sistem pemerintahan Khilafah Islam.
WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. [Muis]