Identitas Politik Islam
Para politisi kini mulai sibuk mempersiapkan diri dan kelompoknya menuju pertarungan politik: Pilpres 2024. Semua berlomba untuk mendapat simpati dari masyarakat. Mereka berburu untuk mendapat predikat sebagai sosok yang dianggap peduli rakyat, hidup sederhana dan religius.
Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, para politisi tentu ingin mendapatkan citra sebagai orang yang shalih, bertakwa dan peduli Islam. Karena itu kini mulai ramai di berbagai media postingan berita terkait aktivitas mereka itu. Ada yang mulai rajin mengunjungi pesantren sambil ikut pengajian dan menyalurkan infak. Lengkap dengan asesoris keislaman seperti peci, sarung, sorban dan kerudung.
Berbagai asesoris keislaman tersebut merupakan alat pembangun citra dan identitas. Tentu tujuannya agar masyarakat tertarik untuk memilih dia atau minimal memuji dirinya. Bahkan sebagian mereka menyewa tim buzzer untuk kepentingan pencitraannya. Padahal asesoris dan buzzer politik itu sangat berpotensi digunakan untuk menghipnotis hingga menipu masyarakat.
Bahaya Politisasi Agama
Menjadikan asesoris keislaman sebagai alat pencitraan tersebut merupakan wujud nyata dari politisasi agama (Islam). Penggunaan simbol-simbol agama seperti itu sudah dapat dikategorikan sebagai memperalat agama. Tentu hal tersebut merupakan kejahatan serius karena menjadikan agama sekadar alat untuk meraih kekuasaan.
Konsekuensinya, politisasi agama akan melahirkan politisi dengan identitas semu. Politisi yang sebenarnya penjahat bisa dicitrakan menjadi pahlawan. Politisi yang mengidap islamophobia dipakaikan asesoris hingga menjadi sosok yang seolah peduli umat Islam. Politisasi agama akan selalu mengarah pada berbagai bentuk manipulasi demi meraih berbagai keuntungan politik.
Karena itu politisasi agama merupakan cara kotor yang digunakan untuk mengelabui masyarakat demi meraih kekuasaan. Hal itu mirip dengan apa yang yang digambarkan oleh Henry J. Schmandt (2012) dalam bukunya. A History of Political Philosophy. Buku ini berisi kajian historis dari zaman Yunani kuno sampai zaman demokrasi saat ini. Dalam buku itu politik digambarkan sebagai bentuk pertarungan perebutan kekuasaan. Berbagai sarana digunakan, termasuk pula dengan cara mengelabui masyarakat melalui propaganda dan pencitraan.
Manipulasi dalam perpolitikan di Indonesia pernah menjadi sorotan publik dunia. Hal itu diinisiasi oleh rilis riset Bradshaw dan Howard dari Universitas Oxford Inggris yang berjudul, “The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”. Riset tersebut mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan pasukan buzzer dalam memanipulasi politik.
Sejumlah pihak di Indonesia diidentifikasi telah menggunakan buzzer tersebut, yakni politisi, partai politik dan kalangan swasta. Disebutkan juga dalam riset itu bahwa para buzzer itu bertugas menyebarkan propaganda pro-Pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi publik. Parahnya, para buzzer tersebut menggunakan berbagai sarana untuk memanipulasi data dan informasi.
Sikap politisi yang bertumpu pada citra dan identitas semu itu sebenarnya penyakit klasik yang menjangkiti banyak orang sejak dulu. Sebabnya, politik demokrasi yang bertumpu pada teori Machiavelli memang hanya terfokus pada upaya perebutan kekuasaan. Karena itu metode dan sarana apapun akan digunakan untuk meraih kekuasaan tersebut, termasuk berbagai intrik dan manipulasi.
Praktik kekuasaan ala Machiavelli yang dituangkan dalam karyanya The Prince dan The Discourses itu memang sangat terasa pada dinamika politik selama ini. Keberadaan para buzzer itu tentu termasuk yang dipicu oleh teori Machiavelli tersebut; bahwa politisi yang mempunyai senjatalah yang akan menang. Tidak ada senjata yang lebih ampuh saat ini ketimbang media massa dan media sosial.
Para buzzer politik melalui berbagai media itu bertugas mempropagandakan politisi yang menjadi tuannya. Pada era teknologi digital 4.0 sekarang ini para buzzer sangat mudah menghipnotis masyarakat. Akibatnya, politisi yang sebenarnya penjahat justru bisa dicitrakan sebagai pahlawan. Para politisi akhirnya menjelma menjadi makhluk bermuka dua yang pandai berdusta.
Umat Muslim sudah seharusnya mewaspadai berbagai manipulasi dari politik citra dan identitas semu semacam itu. Tentu agar umat tidak menjadi korban dari berbagai manuver politik mereka. Umat Islam sudah semestinya menjadi subyek, bukan lagi obyek, dalam berbagai aktivitas politik di negeri ini.
Islamisasi Politik
Secara makna, politisasi agama (Islam) sangat berbeda dengan islamisasi politik. Islamisasi politik lebih bermakna penyandaran aktivitas politik pada ajaran Islam. Artinya, menjadikan politik berbasis Islam, diatur berdasarkan Islam dan untuk kepentingan Islam. Perjuangan menegakkan ajaran Islam secara kaffah merupakan realitas dari identitas politik Islam. Dengan demikian bagi umat Muslim, islamisasi politik itu tidak sekadar perlu, bahkan wajib untuk dilakukan.
Secara faktual Islam dan politik memang tidak bisa dipisahkan. Politik merupakan salah satu bentuk pengamalan ajaran Islam yang didasarkan pada akidah Islam. Politik Islam ditujukan untuk melaksanakan Islam di dalam negeri dan mendakwahkan Islam ke luar negeri. Politik Islam hakikatnya adalah pengurusan urusan umat berdasarkan kebenaran dan keadilan Islam.
Akidah Islamlah yang mendorong umat Muslim memiliki perhatian terhadap dunia, menyebarkan petunjuk dan mengatur dunia dengan hukum-hukum syariah. Inilah konsep politik yang sesungguhnya, yakni mengatur seluruh urusan manusia dengan syariah Islam. Syariah Islam hakikatnya merupakan aturan dan hukum untuk memberikan solusi terbaik terhadap seluruh aspek kehidupan manusia.
Sebaliknya, sekularisme pada dasarnya berupaya memisahkan agama (Islam) dari kehidupan public, yakni negara (fashl ad-dîn ’an ad-dawlah). Ide ini sebenarnya berakar dari peradaban Barat-Kristen yang memisahkan agama (Kristen) dari negara. Hal ini tentu tidak sesuai dengan realita syariah Islam. Sebabnya, Islam bersifat menyeluruh (syumûliyah) yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk negara.
Memang syariah Islam yang terkait pengaturan manusia dengan Tuhannya dan dirinya sendiri bisa dilaksanakan oleh individu. Namun, syariah yang terkait pengaturan hubungan manusia dengan sesamanya, muamalat dan ‘uqûbat (sanksi hukum), sebagian besar justru harus dilaksanakan oleh negara. Tentu sebuah kesalahan besar ketika Islam dipisahkan dari politik dan negara.
Islam telah menjadikan politik (siyâsah) sebagai sarana mewujudkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Politik bagi umat Islam merupakan bagian dari aktivitas dakwah. Modal utamanya adalah kebenaran (al-haq) yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, bukan asesoris dan manipulasi. Di antaranya bisa berupa perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsi). Seperti mengkritik penguasa ketika kebijakannya bertentangan dengan syariah. Prosesnya dilakukan secara argumentatif dan edukatif. Misalnya, syariah didakwahkan dan ditawarkan sebagai solusi atas berbagai problem yang membelit negeri ini. Mulai dari problem akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, hingga problem politik. Pada sisi inilah aktivitas dakwah yang menyerukan penerapan Islam secara kâffah itu menjadi sangat urgen, sekaligus menjadi bukti nyata kepedulian umat Islam pada negeri ini.
Karena itu identitas politik umat Islam yang memperjuangkan penegakan syariah secara kâffah itu bersifat mulia dan terhormat. Tidak seperti aktivitas para elit politik yang bermodalkan citra dan asesoris demi kepentingan diri dan kelompoknya semata. Sebabnya, ujung perjuangan politik bagi umat Islam bukanlah harta dan tahta. melainkan meraih ridha dan rahmat Allah SWT dengan menegakkan syariah-Nya secara kâffah.
Wujud Islam Politik
Islamisasi politik merupakan sarana bagi umat Muslim untuk melakukan perubahan ke arah Islam. Hanya saja, segala perubahan yang dilakukan oleh umat Muslim itu haruslah mengacu pada metode (tharîqah) yang shahih, yakni metode perubahan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bagi umat Muslim, hanya Rasulullah saw. sajalah yang patut dijadikan teladan dalam segala hal, termasuk dalam hal perjuangan mewujudkan perubahan tersebut. Rasulullah saw. telah membina para kader dakwah yang disiapkan menjadi tulang punggung perubahan. Metode yang digunakan Rasulullah saw, untuk mengubah kondisi masyarakat jahiliah yang rusak adalah melalui dakwah. Aktivitas dakwah yang dilakukan beliau tersebut berupa aktivitas yang terorganisasi secara rapi. Misalnya, beliau tidak hanya mengajak mereka memeluk agama Islam dan mengajarkan al-Quran. Beliau juga menghimpun mereka dalam satu kelompok (kutlah) dakwah yang dibina dan dikontrol oleh beliau.
Wujud perubahan politik yang dilakukan Rasulullah saw. adalah perubahan rezim dan system sekaligus. Hal tersebut terlihat dengan jelas pada dakwah Rasulullah saw. yang tidak sekadar mengajak orang kafir memeluk Islam. Namun, juga diarahkan untuk mewujudkan masyarakat Islam, yakni dengan mengganti sistem jahiliah menjadi sistem Islam. Terbukti pasca hijrah, Rasulullah saw. dan para Sahabat mendirikan masyarakat Islam dalam institusi politik Daulah Islamiyah di Madinah. Dari sanalah kemudian cahaya Islam itu dipancarkan menembus benua Asia, Afrika hingga Eropa.
Melalui institusi Daulah itulah Rasulullah saw. sebagai kepala negara mampu menerapkan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Rasulullah saw. berhasil mengganti sistem dan tatanan jahiliah dengan sistem Islam.
Dengan demikian seperti itulah semestinya umat Muslim mewujudkan Islam politik. yakni melakukan perubahan yang diarahkan pada upaya membangun institusi politik Daulah Khilafah Islamiyah. Melalui institusi Khilafah itulah akan terwujud kembali masyarakat Islam yang di dalamnya diterapkan hukum-humkum Islam (syariah) secara kâffah.
Perlu dicatat, selama 13 abad peradaban Islam dalam institusi Khilafah itu telah terbukti menjadi payung yang mencerdaskan dan mensejahterakan umat manusia di dunia. Khilafah telah menjadi kunci kegemilangan peradaban Islam. Sebuah peradaban yang telah ditulis dengan tinta emas dalam perjalanan kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Kemajuan ilmu pengetahuan hingga kesejahteraan masyarakat berhasil mencapai titik gemilang ketika peradaban Islam dulu tegak di muka bumi.
Para sejarahwan Barat yang obyektif telah ikut mencatat berbagai kegemilangan pada masa Khilafah tersebut. Misalnya, terkait jaminan keamanan, lapangan kerja, dan pendidikan Will-Durant mengatakan, ”Para khalifah telah berhasil memberikan perlindungan yang ideal terhadap kehidupan dan tenaga kerja; senantiasa membuka peluang bagi setiap bakat; menciptakan kemakmuran selama tiga sampai enam abad di wilayah yang dulunya tidak begitu makmur; mendorong dan mendukung perkembangan pendidikan, sastra, sains, filsafat dan seni hingga membuat Asia Barat selama lima abad, menjadi wilayah paling beradab di dunia.” (The Story of Civilization, 4/227).
Berbeda dengan Barat yang berorientasi menjajah, politik luar negeri Khilafah justru dalam rangka mendakwahkan kemuliaan ajaran Islam. Khilafah melindungi semua warga negaranya, termasuk pula yang non-Muslim. Sejarahwan Kristen, Thomas W. Arnold, menulis, ”Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.” (The Preaching of Islam: A History of Propagation of the Muslim Faith, 134).
Kemajuan pendidikan pada masa Khilafah itu bahkan telah menjadi rujukan peradaban lain. Tim Wallace-Murphy menerbitkan buku berjudul, What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization (London: Watkins Publishing, 2006). Buku tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam ke Barat pada abad pertengahan. Disebutkan pula bahwa Barat telah berutang pada Islam dalam hal pendidikan dan sains. Menurutdia, utang tersebut tidak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun.
Sejarahwan W.E. Hocking juga turut menjelaskan tentang kegemilangan Khilafah yang telah mempengaruhi kemajuan Eropa. Misalnya, dia mengatakan, ”Sungguh dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ketigabelas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat (The Spirit of World Politics, hlm. 461). Abad ketigabelas tersebut merupakan abad keemasan Khilafah.
Penutup
Realitas negeri-negeri Muslim saat ini, termasuk Indonesia, berada dalam cengkeraman penjajah. Sebagiannya dijajah secara fisik/ Sebagian lainnya dijajah secara ekonomi dan politik. Dalam rangka melanggengkan hegemoninya itulah negara-negara Barat penjajah tersebut lalu membuat narasi fiktif, yakni narasi yang menggambarkan Islam politik itu seolah sebuah ancaman bagi dunia. Padahal faktanya imperialisme, yang telah menimbulkan kerusakan di dunia itu, justru akibat ulah mereka. Bandingkan dengan peradaban Islam yang selama 13 abad telah memayungi dunia dengan berbagai kemuliaan dan kegemilangannya.
Penyesatan opini yang mereka lakukan itu harus dihadapi oleh umat Islam melalui aktivitas dakwah untuk menjelaskan ajaran Islam. Dengan itu masyarakat akan paham bahwa semua ajaran Islam, termasuk di dalamnya Khilafah, merupakan rahmat dari Allah SWT. Bukan keburukan sebagaimana yang dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam.
Seiring waktu, identitas politik Islam akan semakin menguat di negeri-negeri Muslim. Itulah identitas yang berupa kesadaran untuk menegakkan kembali syariah Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah. Jika kesadaran tersebut terus menguat dan meluas maka tentu itu akan menjadi mimpi buruk bagi negara-negara Barat penjajah. Tidak hanya menjadi pertanda berakhirnya imperialisme mereka di negeri Muslim, namun juga menjadi pertanda runtuhnya peradaban kapitalisme-liberalisme di dunia.
WalLâhua’lam bi ash-shawwaab. [Dr. Muhammad K. Shadiq]