Ketahanan Ekonomi Negara Khilafah
Ketika Rusia menginvasi Ukraina, negara-negara Barat memberlakukan sanksi boikot ekonomi terhdap Rusia. Masyarakat mulai merasakan efek yang menyulitkan mereka. Mulai aksi boikot dari sejumlah perusahaan internasional. Sistem pembayaran tidak beroperasi dan menimbulkan masalah penarikan uang tunai. Bahkan warga tidak dapat membeli barang-barang tertentu.
Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin tak gentar meskipun negaranya dihujani sanksi dari negara-negara Barat. Putin justru menyebut dampak dari sanksi terhadap Rusia juga akan dirasakan oleh negara-negara Barat sendiri, seperti dalam bentuk harga pangan dan harga energi yang terus melonjak. Bahkan Rusia akhirnya diprediksi mendapatkan surplus dari hasil penjualan migas setelah negara itu mendapatkan sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan sekutunya. Data Bloomberg Economics memperkirakan Rusia tahun ini akan memperoleh pendapatan tambahan pendapatan 321 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.603 triliun dengan asumsi kursi Rp 14,340 perdolar AS dari kegiatan ekspor energinya.
Boikot yang dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara Barat, bahkan termasuk Negara Sosialis Komunis, bisa juga menimpa Negara Khilafah. Tulisan di bawah ini akan memaparkan bagaimana ketahanan ekonomi Negara Khilafah mampu menghadapi tekanan ekonomi global.
Kekuatan Sistem Ekonomi Islam
Salah satu cabang syariah terpenting yang saat ini banyak dilupakan adalah syariah tentang ekonomi, terutama sektor publik seperti pengelolaan APBN dan Sumberdaya alam oleh Negara. Walaupun Ekonomi Islam mulai dibicarakan, itu masih terbats sektor privat seperti zakat dan riba dalam lembaga keuangan. Sistem ekonomi secara kâffah yang berhubungan dengan pengurusan soal pemuasan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masyarakat serta upaya mewujudkan kemakmurannya belum tersentuh sampai saat ini. Padahal sistem ekonomi Islam memiliki konsep yang tangguh untuk mewujudkan kesejahteran, termasuk menghadapi boikot dari negara negara musuh.
Sistem Ekonomi Islam meliputi tiga hal yang mendasar dan strategis. Pertama: Konsep kepemilikan. Kedua: Penggunaan hak milik. Ketiga: Distribusi kekayaan di antara individu.
Dalam konsep kepemilikan Islam membagi kepemilikan menjadi tiga yaitu: (1) milik pribadi; (2) milik umum; (3) milik negara. Kepemilikan umum mencakup sumberdaya alam seperti minyak bumi, tambang emas, perak, tembaga, dan lain-lain; benda-benda yang pembentukannya tidak mungkin dimiliki individu, seperti masjid, jalan raya; juga benda-benda vital yang dibutuhkan dan dicari-cari oleh manusia dan memiliki jumlah kandungan (deposit) yang amat besar, misalnya sumber mataair.
Negeri negeri Muslim termasuk Indonesia memiliki potensi SDA yang melimpah dan tanah yang subur. Sejarah telah mencatat bagaimana motif negara-negara penjajah seperti Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis dan Belanda menjelajah dunia untuk menemukan sumber rempah-rempah di Indonesia. Berpadu dengan motif ideologis, yakni Perang Salib, negara-negara tersebut kemudian melakukan segala cara untuk menguasai daerah-daerah kaya SDA yang mereka temui untuk dieksploitasi dan dihisap.
Irak dan Afganistan adalah dua contoh negeri Islam yang menjadi korban ketamakan Barat. Irak diinvasi karena di negeri tersebut terdapat cadangan minyak bumi terbukti sebesar 115 miliar barel. Bahkan pada tahun lalu jumlah cadangan minyak terbukti Irak bertambah menjadi 143,1 miliar barel atau hampir 8 kali jumlah cadangan minyak Amerika Serikat.3
Di Afghanistan pada pertengahan tahun lalu diumumkan penemuan deposit mineral senilai $ 1 triliun dan minyak 1,8 miliar barel. Komandan Komando Sentral AS Jenderal David Petraeus mengatakan penemuan tersebut sebagai potensi yang menakjubkan.
Ketiadaan Khilafah bagi kaum Muslim saat ini menyebabkan kekayaan SDA yang dimiliki tidak jatuh manfaatnya ke tangan umat. Negeri-negeri Islam yang kaya barang tambang dan minyak bumi justru menghadapi penjajahan langsung seperti apa yang terjadi di Irak, Afganistan, Sudan dan Libya. Sebagian besar lagi negeri-negeri Islam dipaksa menerapkan aturan kapitalis dan melakukan liberalisasi ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia, Bangladesh, Turki, dan Saudi Arabia. Negeri-negeri Islam pun menghadapi suatu masalah yang oleh ahli ekonom Barat disebut “kutukan SDA” (natural resource curse). Itulah paradoks negara kaya SDA, tetapi penduduknya miskin (Hidayatullah Muttaqin, 2020, Sumber Daya Alam di Era Khilafah).
Mewujudkan Kemandirian
Sistem Ekonomi Islam yang dijalankan melalui Politik Ekonomi Islam akan menghasilkan kemandirian Negara dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Politik Ekonomi Islam seperti yang dijelaskan oleh Abdurahman al-Maliki (2001) dalam bukunya, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ (Politik Ekonomi Ideal), adalah jaminan pemenuhan atas pemuasan semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas.
Politik Ekonomi Islam diterapkan oleh negara melalui mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat manusia, baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok individu maupun kebutuhan pokok masyarakat.
Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan, yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kâffah.
Dalam kitab Al-Amwâl karangan Abu Ubaid, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan sedekah, “Jika kamu memberi, cukupkanlah.”
Selanjutnya beliau berkata lagi, “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta.”
Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu, membayar utang-utang mereka dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kondisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari Gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut, “Telitilah. Siapa saja yang berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, bayarilah utangnya.”
Dalam kesempatan lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?”
Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim yang menjadi warga Negara Khilafah. Orang-orang non-Nuslim mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah, maka saya membebaskan mereka dari kewajiban membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.
Bahkan Amerika Serikat yang saat ini banyak melakukan kejahatan terhadap kaum Muslim, negara dan rakyatnya pernah di bantu oleh Kekhilafahan Ustmani. Hal ini dapat dilihat surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim Khalifah ke sana yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris) abad ke-18.
Sistem Moneter Emas dan Perak
Dalam Sistem Ekonomi Islam, Negara Khilafah yang insyaallah kembali terwujud untuk kedua kalinya, sejak awal berdirinya harus menjadikan emas dan perak sebagai mata uang dan standar moneter. Standar emas dan perak akan mewujudkan kegiatan ekonomi yang stabil. Sebabnya, fungsi uang hanya sebagai alat tukar, dan tidak menjadikan uang sebagai komoditi.
Secara internasional penggunaan standar emas dan perak terbukti mampu menjadi sarana terbaik dalam mendukung kehidupan perekonomian. Terbukti pula, selama lebih tiga belas abad lamanya diberlakukan sistem ini tidak terjadi krisis moneter, seperti yang terjadi saat ini.
Keunggulan riil dari sistem moneter emas dan perak menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, adalah:
- Sistem uang emas mensyaratkan kebebasan peredaran emas, termasuk ekspor impor, guna kestabilan ekonomi dan keuangan. Akan banyak sekali aktivitas pertukaran uang karena pembayaran luar negeri atas barang dan jasa.
- Sistem uang emas berarti tetapnya kurs pertukaran mata uang antarnegara. Ini akan menyebabkan meningkatnya perdagangan Internasioanal. Sebabnya, para pelaku bisnis dalam perdagangan luar negeri tidak takut memperluas wilayah ekspansi bisnisnya.
- Dalam sistem uang emas, bank-bank sentral dan pemerintah tidak mungkin memperluas peredaran uang kertas, karena secara umum uang kertas tersebut bisa ditukar menjadi emas dengan harga tertentu (representative money). Sebabnya, otoritas moneter itu khawatir jika perluasan peredaran uang kertas tersebut akan menambah jumlah permintaan emas yang mungkin tidak sanggup untuk terpenuhi. Oleh karena itu, harus dijaga nisbah rasional antara uang kertas yang dikeluarkan dan cadangan emas yang dimiliki.
- Tiap mata uang emas yang dipergunakan di dunia ditentukan dengan standar emas. Ini akan memudahkan arus barang, uang dan orang. Dengan itu hilanglah problem kelangkaan mata uang kuat (hard currency).
- Tiap negara akan menjaga kekayaan Dengan demikian tidak akan terjadi pelarian emas dari satu negara ke negara lain. Negara pun tidak memerlukan kontrol sekecil-kecilnya. Sebabnya, emas tersebut tidak akan ditransfer dari negara tersebut kecuali karena alasan yang legal, baik untuk membayar barang atau gaji para pekerja.
Politik Perdagangan Islam
Allah SWT telah menciptakan harta sebagai sarana untuk mewujudkan berbagai kemaslahatan manusia di dunia. Perdagangan dan industri merupakan salah satu sarana yang disyariatkan oleh Allah SWT untuk meraih kemaslahatan tersebut agar terhindar dari ketidakadilan dan kezaliman dalam ekonomi. Regulasi perdagangan dalam Islam meliputi perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Perdagangan domestik adalah jual-beli yang berlangsung di antara anggota masyarakat terkait dengn barang-barang yang ada di tangan mereka baik berupa hasil produksi sendiri—pertanian dan industri—maupun hasil produksi orang lain yang transaksinya dilakukan di dalam negeri. Dalam perdagangan domestik, Negara hanya mengatur dan mengawasi agar transaksi sesuai syariah. Negara harus menjamin agar mekanisme harga komoditi bahan pokok dan harga komoditi hasil industri pertanian dapat berjalan secara transparan dan tanpa ada manipulasi. Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat menjamin harga yang wajar berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku.
Dalam perdagangan luar negeri, yaitu ekspor dan impor, Negara secara langsung mengatur impor dan ekspor juga para pedagang dari luar negeri baik negara kafir harbi maupun negara kafir mu’âhid. Semua perdagangan luar negeri harus tunduk sepenuhnya pada pengawasan Negara. Kebijakan Impor diperbolehkan, tetapi tidak boleh terus-menerus sehingga menimbulkan ketegantungan. Hal tersebut haram sebab akan memfasilitasi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 141).
Kebijakan Industri, Negara Mandiri
Sebagai negara ideologis, Negara Khilafah harus menjadi negara industri maju karena karakternya sebagai negara ideologis, baik dalam konteks politik domestik maupun global. Hukum-hukum syariah yang terkait dengannya mengharuskan Khilafah menjadi negara mandiri. Tidak bergantung kepada yang lain dalam menggerakkan roda ekonomi dan industrinya. Tidak bergantung pada impor atau menjadi pasar konsumtif bagi industri negara-negara asing, terutama negara penjajah. Bahkan untuk menjaga keamanannya, Khilafah harus mempunyai industri persenjataan dan logistik perang sendiri.
Negara Khilafah akan melakukan revolusi industri dengan mengubah pembangunan industri saat ini yang dilakukan oleh negeri-negeri Muslim, yang bertumpu pada industri konsumtif, menjadi industri strategis. Industri strategis ini sekaligus dijadikan sebagai basis perindustrian.
Untuk mewujudkan itu, Negara Khilafah akan membangun industri peralatan atau yang biasanya dikenal dengan industri alat-alat berat. Dari industri inilah kemudian industri-industri lain bisa dikembangkan, termasuk juga untuk membangun industri yang memproduksi kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga menjadi negara industri yang mandiri dan tidak bergantung pada negara-negara kafir.
Penutup
Penerapan Sistem Ekonomi Islam secara kâffah dalam institusi Khilafah Islam terbukti bukan hanya akan mampu mengatasi konspirasi global atau boikot dari negara negara kafir. Khilafah sekaligus juga mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia sehingga Islam akan kembali menjadi rahmatan lil ‘alamin. [Anas]