Analisis

Kritik Atas Omnibus Law Cipta Kerja

Yang menjadi dasar penulis dalam mengkritisi UU Cipta Kerja ini adalah naskah RUU Cipta Kerja yang bertanggal 5 Oktober 2020, yang digunakan sebagai acuan dalam Sidang Paripurna.

UU Cipta Kerja yang dalam teknis penyusunannya menggunakan model Omnibus Law1 mencakup sebelas klaster, yaitu:

1        Penyederhanaan Perizinan

2        Persyaratan Investasi

3        Ketenagakerjaan

4        Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM & Perkoperasian

5        Kemudahan Berusaha

6        Dukungan Riset dan Inovasi

7        Administrasi Pemerintahan

8        Penerapan Sanksi

9        Pengadaan Lahan

10      Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah

11      Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

 

Kritik atas UU Cipta Kerja

Sebenarnya banyak sekali kritik yang dapat disampaikan atas UU Cipta Kerja ini. Namun, dalam tulisan ini, kritik hanya dicukupkan pada empat hal berikut ini:

 

1)        Memperkuat eksploitasi buruh.

Buruh menjadi salah satu pihak yang akan menerima dampak besar dari UU Cipta Kerja ini. Banyak pasal bermasalah dalam Bab IV Klaster Ketenagakerjaan. Di antaranya: penggantian aturan pengupahan,2 hari libur yang dipangkas,3 pekerja terancam tidak menerima pesangon,4 tenaga kerja asing (TKA) lebih mudah masuk ke Indonesia,5 bertambahnya jam lembur dan hilangnya cuti panjang,6 tidak ada lagi Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota,7 penghapusan sanksi bagi perusahaan yang tidak membayar upah pekerja,8 dan banyak pasal lainnya.

Telaah lebih jauh dari pasal-pasal tersebut semakin meyakinkan bahwa UU Cipta Kerja ini menguatkan eksploitasi terhadap buruh. Sebagai contoh adalah perubahan kebijakan terkait pengupahan. UU Cipta Kerja hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan dalam UU Cipta Kerja antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Contoh lainnya adalah perubahaan kebijakan terkait Tenaga Kerja Asing (TKA). Di dalam UU Cipta Kerja Pemerintah menghapuskan kewajiban izin tertulis bagi pengusaha yang ingin mempekerjakan TKA.  Pemerintah hanya mewajibkan pengusaha untuk memiliki rencana penggunaan TKA, sebagaimana tertuang dalam Pasal 81 poin 4 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 42 UU Ketenagakerjaan. Hal tersebut menjadi bukti bahwa UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi TKA untuk bekerja di Indonesia.

Berikutnya adalah penghapusan Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK), diganti dengan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) oleh Gubernur, juga menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja mengukuhkan rezim upah murah dan meniadakan proses pembahasan dialogis antara pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja.

Banyak hak-hak buruh yang dikurangi dan atau dihilangkan, sementara tuntutan kewajiban semakin meningkat. Buruh sebagai salah satu pemangku kepentingan utama dalam perekonomian justru dimarjinalkan.  UU Cipta Kerja dalam praktiknya diperkirakan akan mendorong terjadinya praktik perbudakan modern (modern slavery).

 

2)        Memperkuat liberalisasi pengelolaan sumberdaya alam.

Kekuatan oligarki berkepentingan untuk mendapat jaminan hukum bagi keberlanjutan dan keamanan bisnisnya, termasuk yang berbasis pada sumberdaya alam, seperti pertambangan mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, pertanian dan perkebunan, kehutanan dan perikanan. UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi para oligarki untuk mengurus perizinan bisnisnya, sekaligus juga memberikan dukungan kemudahan bagi pengadaan lahan, salah satu masalah yang selama ini dituding sering menjadi penghambat investasi.

Adanya kemudahan perizinan9 dan dukungan pengadaan lahan,10 akan berdampak pada meningkatnya potensi konflik agraria. UU Cipta Kerja mendukung percepatan proses pengadaan lahan dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf dan tanah ulayat, untuk kepentingan pembangunan dan proyek strategis. Tanah dan kekayaan agraria lainnya sebagai sumber kehidupan dan kebudayaan yang dimiliki oleh sebagian besar rakyat Indonesia rentan untuk diambil atau digusur paksa demi kepentingan proyek yang dimiliki oleh pemillik modal atas nama kepentingan umum.

UU Cipta Kerja juga menghidupkan kembali konsep “Domein Verklaring” pemerintahan kolonial melalui Hak Pengelolaan (HPL) yang bisa memberikan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai di atas tanah tersebut sampai dengan maksimal 95 tahun. Pemberian hak atas tanah di atas HPL ini jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 21-22/PUU-V/2017, sekaligus bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria. Hal tersebut semakin memperparah kesenjangan dan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia.

Pada akhirnya dengan kesenjangan dan ketimpangan yang semakin lebar, ruang kelola masyarakat untuk menunjang kehidupan menjadi semakin sempit.

Alhasil kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran dan keterbatasan akses terhadap layanan kebutuhan esensial akan tetap menjadi permasalahan di negeri ini, seperti lingkaran setan yang tak kunjung dapat diurai.

 

3)        Memperkuat sentralisasi demi kepentingan oligarki

UU Cipta Kerja juga mengarah pada upaya sentralisasi kekuasaan.  Pembagian urusan pemerintah konkruen dalam UU Pemerintah Daerah dihilangkan dan ditarik menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, khususnya kepada Presiden. Perda (peraturan daerah) maupun Perkada (peraturan kepala daerah), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dapat dicabut atau dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan menerbitkan Peraturan Presiden.11

Apalagi pada Pasal 170, yang merupakan pasal “sapu jagat” saat disebutkan bahwa “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.”12 

Pasal  ini sama artinya dengan memberikan “cek kosong” kepada Pemerintah Pusat dan atau Presiden untuk membuat keputusan apa saja tanpa perlu ada pembahasan dan proses konsultasi dengan legislatif terlebih dulu. Presiden bisa berbuat sekehendaknya untuk membuat maupun membatalkan sebuah peraturan perundang-undangan, termasuk membatalkan Perda dan Perkada. Hal ini tentu juga bertentangan dengan norma pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan kekuasaan yang sedemikian besar, Presiden sangat berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Upaya-upaya sentralisasi kekuasaan ini akan sangat menguntungkan oligarki ekonomi, yang adalah para pemilik modal. Mereka tidak perlu lagi khawatir apabila mereka menemui permasalahan di daerah. Mereka cukup melaporkannya kepada Pemerintah Pusat dan atau Presiden, dan masalahnya akan dengan mudah diselesaikan. Apalagi Presiden pun adalah “orang yang mereka jadikan” sebagai penguasa atas kehendak mereka.

 

4)        Mengancam kedaulatan Negara.

Ketentuan-ketentuan dalam UU Cipta Kerja ini juga berpotensi mengancam kedaulatan negara. Hal tersebut seiring dengan adanya peluang penanaman modal asing pada industri pertahanan keamanan nasional. Perubahan Pasal 12 ayat (2) dalam UU Penanaman Modal menjadi Pasal 84 Point 2 UU Cipta Kerja menghapus ketentuan tentang produksi senjata dan peralatan perang yang sebelumnya tertutup bagi penanaman modal asing.13

Hal tersebut berarti UU Cipta Kerja memberi peluang bagi investor asing untuk berinvestasi di bidang produksi senjata, mesiu, alat peledak, serta peralatan perang lainnya. Ketentuan tersebut berpotensi memberikan jalan bagi investor asing untuk menguasai industri persenjataan dalam negeri karena memiliki kemampuan, baik dari segi dana, sumber daya manusia maupun teknologi.

Jika kondisi industri persenjataan nasional sebagai sebuah informasi negara dapat diketahui oleh pihak asing sebagai penanam modal, maka tak terelakkan pihak asing tersebut bisa mengetahui informasi mengenai kemampuan pertahanan negara, kemampuan persenjataan nasional, termasuk kelemahan pertahanan nasional. Tentu kondisi tersebut sangat berbahaya karena berpotensi besar mengancam kedaulatan negara, pertahanan, serta keamanan nasional.

Apalagi hal itu diperkuat lagi dengan tidak adanya ketentuan tentang batasan maksimal penyertaan modal asing untuk setiap sektor industri. Investor asing dapat berinvestasi di hampir seluruh bidang, sepanjang memiliki kecukupan modal. Secara tidak langsung, kondisi tersebut dapat mengancam kedaulatan negara, dengan semakin menguatnya cengkeraman asing atau kapitalis global terhadap negara.

 

Penguatan Korporatokrasi

Pengkajian atas keseluruhan substansi UU Cipta Kerja semakin menegaskan bahwa proses liberalisasi di segala bidang tengah berlangsung secara masif. Berbagai keistimewaan diberikan kepada pemilik modal, baik kemudahan berusaha dengan penyederhaan perizinan, kewajiban terhadap tenaga kerja, kemudahan perolehan lahan, keringanan sanksi jika melakukan pelanggaran dan sejumlah keistimewaan lainnya. Direktur Eksekutif Center of Development Studies, Adhi Azfar, menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja adalah produk regulasi yang pro terhadap asing yang sudah menguasai kekayaan alam Indonesia dalam waktu lama. Dengan pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, para kapitalis asing kini sedang mempersiapkan ‘selamatan’ pesta besar. Masuk ke negeri ini dan semakin merajalela.14

Menguatnya korporatokrasi bisa dilihat pada Pasal 23 Point 37 yang mengubah Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang tidak mencantumkan lagi jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bagi pelanggaran yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.15

UU Cipta Kerja tidak memiliki konsep yang jelas terkait pertanggungjawaban korporasi. Apakah pertanggungjawaban korporasi hanya sebatas administrasi dan perdata ataukah juga termasuk pertanggungjawaban pidana korporasi. Jika termasuk pertanggungjawaban pidana korporasi, maka konsep lebih lanjut yang dipertanyakan apakah menggunakan Teori Identifikasi ataukah Teori Agregasi. Hal ini sangat berdampak pada jenis pidana yang dijatuhkan. Jika menggunakan Teori Identifikasi maka selain pidana denda, pidana penjara pun dapat dijatuhkan terhadap pengurus korporasi. Lain halnya jika yang digunakan adalah Teori Agregasi maka jenis pidana yang dapat dijatuhkan hanyalah denda.16

Kepentingan asing juga bisa masuk dengan leluasa melalui revisi Pasal 38 UU Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). UU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi orang asing untuk masuk ke KEK meskipun bukan pelaku usaha.17

Apalagi dalam Bab X tentang Investasi Pemerintah Pusat yang melahirkan lembaga baru bernama Lembaga Pengelola Investasi (LPI), yang kehadirannya berpotensi menghilangkan hak pengelolaan negara atas aset-aset dan kekayaan negara dengan berubahnya frasa “aset negara”—termasuk di dalamnya aset BUMN dan kekayaan alam yang dikuasai negara)—menjadi “aset Lembaga” dan frasa “kerugian negara” menjadi “kerugian lembaga”.18

Jika dalam melaksanakan tugasnya, LPI tidak dapat mengelola investasinya dengan baik ataupun mengalami kejadian luar biasa yang tidak mampu diprediksi sebelumnya, sehingga menimbulkan kerugian, maka kerugian tersebut hanya disebut kerugian Lembaga. Dengan sendirinya negara akan kehilangan hak penguasaannya. Hal tersebut berpotensi melanggar UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3. Potensi pelanggaran konstitusi lainnya adalah adanya pemberian kekebalan hukum kepada pengurus dan pegawai Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya tidak bisa dituntut/digugat baik secara pidana maupun perdata.

Lolosnya berbagai peraturan yang menguntungkan korporasi tersebut bukanlah hal yang aneh, karena menurut Koalisi #BersihkanIndonesia, ada aktor-aktor intelektual yang bertugas untuk “memuluskan” pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka tersebar dan memiliki peran serta fungsi berbeda di Satgas RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan Panitia Kerja di Badan Legislasi DPR.19

 

Bobroknya Kapitalisme dan Demokrasi Sekuler

Lahirnya UU Cipta Kerja semakin membuka kebobrokan sistem kapitalisme. Sistem ini selalu menempatkan kepentingan para pemilik modal di atas kepentingan rakyat banyak. Undang-undang yang jika dilihat namanya bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi rakyat Indonesia, ternyata sekadar pepesan kosong. Yang ada adalah potensi dampak negatif multidimensi yang akan menyasar kehidupan rakyat, termasuk kaum buruh, masyarakat hukum adat, petani, nelayan, termasuk lingkungan hidup.

Justru kepentingan para kapitalis yang mendapatkan manfaat terbesar dari UU Cipta Kerja ini. Ini semakin melempangkan jalan bagi kapitalisme global untuk menancapkan kuku penjajahannya atas negara ini. Melalui berbagai skema investasi, khususnya investasi padat modal akan menggiring negara ini dalam jebakan utang luar negeri (debt trap) yang lebih dalam. Utang ini adalah salah satu instrumen kapitalisme global untuk meneguhkan hegemoninya atas negara-negara lain. Dengan keran investasi yang dibuka selebar-lebarnya melalui UU Cipta Kerja, pemilik modal asing sangat leluasa untuk menguasai hampir seluruh sektor kehidupan.

Negara tidak lagi menjaga dan melindungi kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Bahkan negara menjadi pelaku utama dalam proses liberalisasi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk diberikan kepada swasta, baik swasta dalam negeri maupun swasta asing.

Hal itu menunjukkan oligarki ekonomi yang berkelindan dengan oligarki politik guna mewujudkan tujuannya masing-masing. Oligarki ekonomi berkepentingan untuk memastikan bisnisnya terus berkembang secara eksesif tanpa batas, bahkan jika perlu melampaui kekayaan negara. Untuk memuluskan rencana tersebut, oligarki ekonomi harus mendukung kaum oligarki politik yang mereka percaya dapat menjaga kepentingannya. Melalui sistem politik demokrasi yang sekuler dan liberal, maka langkah tersebut dapat diwujudkan.

Oligarki politik yang haus kekuasaan menemukan titik temu dengan oligarki ekonomi yang ingin mengembangkan kapitalnya. Dalam konsep negara korporatokrasi, sistem ekonomi kapitalis liberal bertemu dengan sistem politik demokrasi liberal, menjadi perpaduan yang sempurna untuk tetap menjadikan rakyat sebagai “tumbal” bagi terwujudnya ambisi dan kepentingan mereka.

Oleh karena itu, sudah seharusnya rakyat tidak lagi memberikan kepercayaan pada sistem ekonomi kapitalis liberal dan sistem politik demokrasi yang sekular, untuk mewujudkan kemaslahatannya. Hanya Islam saja yang mempunyai sistem ekonomi dan politik yang dapat membawa pada kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat secara merata dan paripurna.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fajar Kurniawan; Analis di PKAD (Pusat Kajian Analisis dan Data)]

 

Catatan kaki

1        Bryan A. Garner, et.al (Eds.) dalam Black’s Law Dictionary Ninth Edition menggunakan istilah omnibus bill yang berarti (hal. 186): (a) A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provision; (b) A bill that deals with all proposals relating to a particular subject, such as an “omnibus judgeship bill” covering all proposals for new judgeships or an “omnibus crime bill” dealing with different subjects such as new crimes and grants to states for crime control. Apabila diterjemahkan secara bebas, omnibus bill berarti sebuah undang-undang yang mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan yang berbeda-beda atau mengatur dan mencakup semua hal mengenai suatu jenis materi muatan.

2        Pasal 88 UU Cipta Kerja

3        Pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

4        Pasal 81 Point 51-55 UU Cipta Kerja

5        Pasal 81 Point 4-11 UU Cipta Kerja

6        Pasal 81 Point 22 & 79 UU Cipta Kerja

7        Pasal 88C UU Cipta Kerja

8        Pasal 91 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

9        Pasal 22 UU Cipta Kerja

10      Pasal 121 UU Cipta Kerja

11      Pasal 166 UU Cipta Kerja

12      Pasal 170 UU Cipta Kerja

13      Pasal 84 Point 2 UU Cipta Kerja

14      https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5201157/sederet-kritik-buat-omnibus-law-cipta-kerja

15      Pasal 23 Point 37 UU Cipta Kerja

16      Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja. FH UGM. 2020

17      Pasal 142 Point 30 UU Cipta Kerja

18      https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5201157/sederet-kritik-buat-omnibus-law-cipta-kerja/2

19      https://nasional.tempo.co/read/1394694/koalisi-sebut-ada-12-aktor-intelektual-di-satgas-dan-panja-uu-cipta-kerja/full&view=ok

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + 15 =

Back to top button