Analisis

Moderasi Islam: Proyek Merusak Islam

Moderasi Islam sama sekali bukan gagasan atau hasil ijtihad ulama mu’tabar. Istilah moderasi Islam juga tidak bersumber dari peristilahan islami. Moderasi Islam atau Islam moderat merupakan gagasan pemikir-pemikir sekuler-liberalis Barat, terutama mereka yang terlibat aktif dalam proyek pengendalian dan riset kebijakan-kebijakan global.

Istilah “moderasi Islam” atau Islam moderat merupakan istilah politik untuk melawan Islam. Kemunculan moderasi Islam tidak bisa dipisahkan dari agenda war on terrorism yang digaungkan AS, setelah peristiwa peledakan Gedung WTC tahun 2001.

Hakikat moderasi Islam dapat dipahami, salah satunya dari sebuah buku yang dikeluarkan Rand Corporation, berjudul Building Moderate Muslim Network, pada bab 5 tentang Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World (Peta Jalan untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim). Dalam salah satu anak judulnya dijelaskan tentang karakteristik Muslim moderat (Characteristics of Moderate Muslims). Muslim moderat adalah orang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi; termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum non-sektarian, serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, RAND Corporation, hlm. 66).

Menurut Janine A Clark, Islam moderat adalah “Islam” yang menerima sistem demokrasi. Sebaliknya, Islam radikal adalah yang menolak demokrasi dan sekulerisme. Moderasi Islam dalam pengertian ini bermakna membangun Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender (Tazul Islam, Amina Khatun, Islamic Moderate in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships, International Journal of Nusantara Islam, Volume 03, No.2, 2015).

Inilah hakikat moderasi Islam yang dipahami dan yang dimaksud oleh penggagasnya. Adapun ta’rif yang disebarluaskan di Dunia Islam, termasuk di negeri ini, oleh pejabat, ulama, atau akademisi tidak sama dengan definisi di atas. Baik karena adanya pengurangan maupun penambahan. Hal itu semata-mata ditujukan untuk menyembunyikan kejahatan di balik istilah ini. Pasalnya, jika kaum Muslim mengetahui wajah asli “moderasi Islam”, proyek ini pasti menunai kegagalan. Untuk itu, agen-agen Barat, melalui ulama salatin dan akademisi bayaran, mencari-cari dalil—tepatnya dalih—baik dalam al-Quran dan sunnah, untuk mengukuhkan moderasi Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Mereka juga mencari-cari label istilah, seperti Islam wasathiyah, Islam Nusantara, Islam inklusif dan istilah-istilah lain, agar moderasi Islam bisa diterima. Hanya saja, istilah itu tidak bisa menutupi jatidiri moderasi Islam sebagai sebuah upaya merusak kesucian dan kemurniaan Islam, serta melanggengkan dominasi negara imperialis Barat atas dunia Islam. Srigala tidak akan pernah berubah menjadi seekor domba walaupun sekujur tubuhnya dibalut bulu domba.

 

Propaganda Moderasi Islam di Indonesia

Upaya-upaya Barat mereduksi ajaran Islam sebenarnya sudah lama dilakukan jauh sebelum munculnya gagasan Islam moderat atau moderasi Islam. Setelah Perang Salib, mereka menyadari bahwa umat Islam tidak mungkin dikalahkan selama masih berpegang teguh dengan ajaran Islam. Untuk itu, mereka berusaha keras menjauhkan kaum Muslim dari ajaran Islam. Mereka pun menyusupkan pemikiran-pemikiran asing ke dalam tsaqafah islamiyyah untuk menyesatkan kaum Muslim dari ajaran Islam yang benar. Mereka juga mengeruhkan kejernihan Islam dengan pemikiran-pemikiran yang sejatinya bertentangan dengan Islam semacam nasionalisme, patriotisme, sekulerisme, dan lain sebagainya. Puncak keberhasilan Barat memerangi Islam dan kaum Muslim adalah saat mereka sukses meruntuhkan Khilafah Utsmani di Istanbul tahun 1924, nyaris tanpa mendapatkan reaksi berarti dari kaum Muslim.

Namun, seiring waktu, kesadaran kaum Muslim mulai pulih dan menyebar luas hampir di seluruh sudut dunia. Kesadaran itu semakin menyala dan bersinar, dengan munculnya gerakan Islam mukhlish yang terus menyuarakan wajibnya kaum Muslim hidup sesuai dengan syariah dan bersatu di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Mereka ini mengajak umat Islam hanya mengambil pemikiran dan sistem Islam semata. Kesadaran tersebut bertambah kuat tatkala ulama Muslim yang memiliki pikiran jernih dan mendalam berhasil menyingkap semua syubhat pemikiran yang ditanamkan oleh orang-orang kafir melalui agen-agen mereka serta membersihkan Islam dari pengotornya. Kesucian dan kejernihan Islam kembali bersinar tanpa sedikitpun penghalang. Pemikiran dan sistem kufur pun padam dan tenggelam di dalam sampah peradaban. Kaum Muslim mulai berbondong-bondong meninggalkan pemikiran, hukum, perilaku dan sistem kehidupan kufur Barat yang nyata-nyata telah memurukkan manusia ke lembah kemunduran dan kesengsaraan.

Negara-negara kafir imperialis tidak tinggal diam. Mereka kembali menyusun rencana dan makar untuk tetap memisahkan kaum Muslim dari Islam. Mereka menggelar kembali perang pemikiran, opini dan istilah untuk memberikan gambaran buruk terhadap Islam. Melalui penguasa antek dan ulama salatin mereka terus menyerang hukum-hukum Islam tentang jihad, hudud dan jinayat. Mereka menyatakan bahwa ajaran jihad, khilafah dan penerapan syariah Islam secara kaffah bisa memicu radikalisme. Hukum hudud—semacam rajam bagi pezina, hukuman mati bagi pelaku homoseksual, potong tangan bagi pencuri, hukuman mati bagi murtad, dan lain sebagainya—mereka tuduh sebagai hukum sektarian dan barbar, yang sudah tidak lagi relevan dan menyalahi hak asasi manusia. Mereka juga menebarkan penyesatan-penyesatan di seputar pemikiran Islam, seperti tidak wajibnya Khilafah, jilbab dan khimar, penerapan syariah Islam dalam bingkai negara, dan lain sebagainya.

Sebaliknya, sekularisme-demokrasi, liberalisme, pluralisme, nasionalisme dan derivasinya dipropagandakan sebagai paham yang tidak berseberangan dengan Islam; sebagai sesuatu yang harus diterima oleh kaum Muslim.

Alhasil, moderasi Islam hakikatnya merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan perang melawan Islam dan mengokohkan sistem kapitalis-demokrasi-sekular. Perang ini melibatkan penguasa negeri Islam dengan seluruh perangkat politik dan hukum. Mereka pun mengandeng patner potensial dari kalangan sekularis, Muslim liberalis, kelompok tradisional yang moderat dan kelompok sufi.

Di negeri ini, telah diratifikasi sejumlah undang-undang untuk memperkuat moderasi Islam, misalnya, pengesahan UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ini merupakan tindak lanjut dari Perppu No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Penerbitan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010 tentang BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang disahkan tanggal 16 Juli 2010. Perpress Nomor 7 Tahun 2021 yang disahkan pada tanggal 6 Januari 2021 RAN PE (Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme), BRIN, dan undang-undang lain.

Berbagai macam kegiatan untuk memperkuat moderasi Islam dan melibatkan unsur-unsur masyarakat digelar cukup massif. Diskusi, pelatihan dan workshop bertajuk deradikalisasi diselenggarakan hampir di seluruh Indonesia. BNPT bekerjasama dengan PBNU pernah menyelenggarakan kegiatan diskusi dan pelatihan Deradikalisasi Agama Berbasis Kyai dan Pesantren yang melibatkan kyai pemimpin pesantren NU. Tercatat juga pernah diselenggarakan Simposium Menkopolhukam Proyek Deradikalisasi, tanggal 27 Juli 2010 di Hotel Le Meredian Jakarta; Halaqah MUI, BNPT & Polisi. Di Jakarta (11 Nopember), Solo (21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan Rencana terakhir di Medan (30 Desember). Deradikalisasi Agama, Mudharat atau Mashlahat Bagi Umat? slide 18 dan seterusnya]. Dirjen Binmas DEPAG, dalam Sosialisasi Islam Moderat, merekomendasikan Pembentukan Yayasan Ahlusunnah Waljamaah di Banten 5-8 Juli 2003, di Sponsori The Asia Foundation. “Badan Nasional Penanggulangan Terorisme akan melibatkan berbagai kementerian dalam program deradikalisasi agar program ini bisa lebih efektif. Program ini baru kami bahas secara intensif dengan 17 kementerian,” kata Ketua BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius di Pesantren Ulul Albab, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin 26 September 2016. (Tempo.co, 26 September 2016).

Bahkan baru-baru ini isu radikalisme juga dimasukkan dalam TWK (tes wawasan kebangsaan) pada rekrutment pegawai KPK dan ASN. Pembentukan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), secara langsung maupun tidak langsung, juga memperkuat arus moderasi Islam, dan memassifkan permusuhan terhadap Islam dan gerakan-gerakan pro syariah. Perpres Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN telah menetapkan integrasi empat badan penelitian strategis nasional di bawah kendali BRIN. Setelah itu, kebijakan kembali digulirkan dengan menggabungkan Kemenristek dengan Kemendikbud, yang secara otomatis menempatkan BRIN sebagai lembaga independen. Keberadaan BRIN sendiri hingga kini masih diperdebatkan dan ditengarai sarat dengan kepentingan politik-ideologis.

Berbagai macam opini juga digulirkan untuk menguatkan arus moderasi agama. Dalam peringatan Isra Mi’raj di Istana Bogor, Selasa (10/4/2018), Menag Lukman Hakim Saifuddin saat itu, menyeru umat Islam untuk menghadirkan wajah agama yang moderat dan unggul dengan karakter wasathiyyah. Ia juga menyatakan bahwa Indonesia sebagai bangsa yang besar telah menunjukkan kepada dunia bahwa Islam dengan karakter wasathiyyah-nya dapat merawat kemajemukan yang ada.

Dalam kaitannya dengan moderasi Islam, NU mendeklarasikan gagasan dan istilah “Islam Nusantara” pertama kali secara resmi pada tahun 2015. Ia diklaim sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah. (“Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara,” Nahdlatul Ulama, 22 April 2015. Wikipedia, Islam Nusantara).

KH Said Aqil (11/1/2017) menyatakan bahwa dunia melihat masyarakat Indonesia sebagai umat Islam yang terkenal moderat, toleran dan bermartabat. Menurut dia, akhir-akhir ini hal tersebut mulai mengendor dan gejala intoleransi mulai menguat. Dengan demikian, ia berharap perlu ada upaya untuk mengembalikan Indonesia yang toleran, damai dan bermartabat yang ia sebut “Islam kultur”, “Islam ramah”, bukan “Islam doktrin” (www.republika.co.id).

Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai, yang kala itu menjabat kepala BNPT, berujar, “Penyusupan ajaran radikal semakin luas, sudah masuk hingga ke perguruan-perguruan tinggi elite, bukan perguruan tinggi pinggiran. Bahkan menyusup ke perkantoran dan memengaruhi karyawan.” Kita lakukan deradikalisasi ini melalui pendidikan. Bukan hanya pesantren tapi yang lainnya juga (Wawancara Republika, 15/12/2010]

Para Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) mendukung pemikiran Islam moderat di kalangan umat Islam. KH Ma’ruf Amin (6/5/2017) menegaskan bahwa ulama bertanggung jawab dalam menjaga NKRI dari rongrongan kelompok radikal kanan dan radikal kiri.

Istilah radikalisme sendiri pada praktiknya lebih ditujukan untuk paham yang ingin mengganti sistem demokrasi-sekular dan menggantikannya dengan syariah dan Khilafah.

 

Tujuan di Balik Moderasi Islam

Siapa saja yang mencermati makna, penggagas dan praktik moderasi Islam, dapat menyimpulkan bahwa tujuan moderasi Islam adalah sebagai berikut:

Pertama, deislamisasi, yakni merusak ajaran Islam, khususnya ajaran yang bertentangan dengan prinsip demokrasi-sekular-liberal dan kepentingan Barat. Sebagai contoh, sejak masa Nabi saw., para Sahabat, tabi’un, tabi’ut tabi’in dan era imam-imam besar, tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban menerapkan syariah Islam secara kaffah, dalam seluruh dimensi kehidupan. Tidak ada perselisihan bahwa menolak, menghina dan menganggap buruk syariah Islam merupakan bagian dari kemurtadan. Mereka juga tidak berselisih mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah (amirul mu’minin) dan seluruh Mukmin adalah bersaudara. Mereka juga tidak berselisih pendapat bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah orang kafir dan kekal di dalam neraka dan bahwa wajib kaum Muslim berjihad melawan orang-orang kafir sesuai dengan syarat-syaratnya.

Moderasi Islam ditujukan untuk mengubah ketetapan dan hukum pada perkara yang sudah mujma’ ‘alayhi di atas. Akibatnya, mereka menolak formalisasi syariah dalam ranah negara, jihad melawan orang kafir, penerapan hudud bagi pelaku perzinaan dan homoseksual, hukuman mati bagi orang yang murtad, dan hukum-hukum Islam lainnya. Mereka juga menerima pemikiran-pemikiran orang kafir, semacam demokrasi-liberal-sekular, yang nyata-nyata bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Mereka juga menganggap tindakan mengkafirkan orang Yahudi dan Nasrani adalah bentuk intoleran. Culasnya, mereka mengemas perusakan Islam dengan istilah “penafsiran ulang” dan “ijtihad progressif”. Padahal sejatinya, itu semua merusak Islam.

Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili mengatakan:

وإنكار حكم من أحكام الشريعة التي ثبتت بدليل قطعي، أو زعم قسوة حكم ما كالحدود مثلاً، أو ادعاء عدم صلاحية الشريعة للتطبيق، يعتبر كفراً وردة عن الإسلام. أما إنكار الأحكام الثابتة بالاجتهاد المبني على غلبة الظن فهو معصية وفسق وظلم

Mengingkari salah satu hukum dari hukum-hukum syariah yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i, atau menuduh kebengisan hukum syariah apapun itu, hudud, misalnya, atau menyerukan ketidaklayakan hukum syariah untuk diterapkan, dianggap kekufuran dan murtad dari Islam. Adapun pengingkaran terhadap hukum yang ditetapkan dengan ijtihad yang dibangun di atas dugaan kuat (ghalabah azh-zhann), adalah kemaksiatan, kefasikan dan kezaliman (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/25).

 

Kedua, menguatkan Islam ala Barat. Moderasi Islam, sebagaimana ta’rif-nya, ditujukan agar umat Islam menerima demokrasi, sekularisme-liberalisme, HAM dan pandangan-pandangan menyimpang versi Barat. Dengan kata lain, tujuan moderasi agama adalah mengubah pandangan dan hukum Islam yang berseberangan dengan pandangan dan hukum Barat agar sejalan dengan pandangan dan sistem hukum mereka. Dengan dalih moderasi agama, dengan entengnya mereka menyatakan bahwa hukum rajam bagi pezina bertentangan dengan HAM; menyakini hanya Muslim yang bisa masuk ke dalam surga adalah pandangan sektarian dan memicu radikalisme.

Ketiga, mengokohkan eksistensi kapitalisme dan imperialisme Barat. Tak bisa dipungkiri, kesadaran manusia akan kerusakan akibat penerapan sistem kapitalisme di seluruh dunia semakin lama semakin membesar. Sistem ini nyata-nyata gagal menjadi penyangga kehidupan umat manusia. Tidak ada lagi pilihan lagi bagi manusia selain kembali pada ajaran yang benar dan fitrah, yakni Islam. Penerapan sistem kapitalis-liberal hampir di seluruh negeri Islam sejatinya bukan karena sistem ini baik dan benar, tetapi lebih karena pengkhianatan dan persengkokolan para penguasa negeri Islam dengan negara kafir imperialis. Seandainya tidak karena penjajahan, persekongkolan dan pengkhianatan, umat Islam pasti meninggalkan sistem ini dan kembali pada Islam. Pasalnya, Islam—dengan syariah dan Khilafahnya—terbukti mampu me ngantarkan manusia ke puncak kemajuan dan kesejahteraan, berabad-abad lamanya. Bahkan kebaikan dan keunggulan sistem Islam dirasakan orang-orang non-Muslim hingga mereka merasa lebih aman hidup di bawah naungan Islam. Lebih dari itu, kesadaran kaum Muslim akan kewajiban mereka menerapkan hanya sistem Islam semata dalam institusi negara Khilafah merupakan ancaman bagi eksistensi kapitalisme dan imperialisme Barat. Dari sinilah dapat dipahami bahwa moderasi Islam yang digagas negara kafir imperialis, diusung penguasa antek, dan dijajakan oleh begundal-begundalnya, sejatinya ditujukan untuk mempertahankan eksistensi kapitalisme-liberalisme dan penjajahan mereka atas dunia Islam.

Keempat, moderasi Islam juga diarahkan untuk menghalang-halangi dan melawan perjuangan menegakkan syariah Islam dalam institusi negara Khilafah. Hal ini tampak jelas dari perkataan dan perbuatan mereka yang terus-menerus memusuhi setiap upaya kaum Muslim menegakkan syariah Islam dan Khilafah, dengan mengatasnamakan perang melawan radikalisme. Yang mereka maksud dengan gerakan radikal adalah gerakan Islam yang mengusung ide syariah dan Khilafah.

 

Khatimah

Alhasil, moderasi Islam dengan segala bentuknya harus dilawan. Sebab, moderasi Islam hakikatnya adalah upaya menghancurkan eksistensi dan kemurnian Islam serta mengubah cara beragama kaum Muslim sesuai dengan arahan dan keinginan negara kafir imperialis. [Gus Syams]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × five =

Back to top button