Moderasi Agama
Islam adalah agama tauhid. Tauhid adalah inti dakwah para nabi utusan Allah (Lihat: QS al-Anbiya [29]: 25).
Misi tauhid sejalan dengan tujuan Allah SWT menciptakan manusia, yakni agar menjadi hamba-hamba-Nya yang hanya menyembah Diri-Nya (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Penyimpangan utama ajaran tauhid adalah berbagai bentuk kemusyrikan dari zaman ke zaman. Karena itu Allah mengharamkan kemusyrikan dan tak akan mengampuni dosanya (QS an Nisa’ [4]: 48) dan di akhirat pelakunya tak akan bisa masuk surga (QS al-Kahfi [18]: 110).
Seruan dakwah tauhid yang dilakukan oleh para nabi dalam sejarahnya tetap menyisakan kaum yang menyimpang karena tidak mendapatkan petunjuk dari Allah (Lihat: QS an-Nahl [16]: 36).
Kemusyrikan modern yang kini tengah menyerang tauhid umat Islam, sebagaimana terjadi sejak dulu, hanyalah sebuah kelanjutan masa lalu. Semisal paham pluralisme hanyalah sebuah transformasi bahasa. Secara substansial adalah kemusyrikan. Paham pluralisme telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI 2005. Paham ini mencampuradukkan yang haq dan yang batil. Semua agama dinyatakan sama. Sama-sama membawa kebenaran dan kebaikan. Secara genealogis, paham pluralisme ini berasal dari luar ajaran Islam. Paham pluralisme teologis yang diserukan kaum kafir Quraisy dengan tegas dibantah oleh Rasulullah saw. melalui firman Allah SWT (Lihat: QS al-Kafirun [109]: 1-6).
Tujuan utama kaum kafir Quraisy saat itu adalah untuk mencoba menghentikan dakwah tauhid yang diserukan Rasulullah saw. dengan cara yang halus, yakni mencoba mengkompromikan dan mencampuradukkan ajaran-ajaran jahiliyah saat itu dengan ajaran Islam. Upaya ini akan terus dilakukan hingga zaman saat kita hidup hari ini. Yang berbeda hanya perubahan bahasa yang digunakan dan orang yang mempropagandakan.
Salah satu kebenaran Islam justru ditunjukkan melalui berbagai istilah-istilah yang khas dengan makna yang khas pula. Berbagai istilah khas Islam, misalnya kata kaffah, rahmatan lil’alamin dan washatiyah. Ketiganya memiliki pengertian khas yang sahih karena berasal dari Allah langsung. Sebaliknya, istilah moderasi, sekularisme, pluralisme dan radikalisme adalah istilah yang berasal dari epistemologi Barat.
Barat yang tidak suka dengan Islam menginginkan keterpecahan kaum Muslim dengan strategi adu domba. Barat menginginkan polarisasi Muslim dengan memberikan label dan kampling-kapling Islam. Tujuannya untuk menimbulkan berbagai friksi intelektual hingga fisik sesama Muslim. Upaya-upaya semacam ini sesungguhnya hanyalah pengulangan sejarah semata. Karena itu umat Islam harus cerdas dan mampu membaca dengan cepat dan tepat.
Beberapa postulat berikut merupakan ‘Islam’ buatan Barat yang dibangun oleh epistemologi Barat dan tentu tidak ditemukan dalam ajaran Islam. Di antara ‘Islam’ buatan Barat itu adalah: Islam moderat, Islam radikal, Islam Fundamentalis, Islam Nusantara, Islam progresif, Islam Liberal, Islam sekular, Islam demokratis, Islam sosialis, Islam teroris, Islam tradisional dan Islam modern. Ragam Islam inilah hasil dari gerakan imperialisme epistemologi [ghazwul fikri] Barat ke Dunia Islam.
Dalam kajian gender, Barat meluncurkan narasi pengarusutamaan gender dengan tujuan liberalisasi sosiologis. Dalam bidang agama, mereka memunculkan narasi pengarusutamaan moderasi agama dengan tujuan mengaburkan hakikat Islam, mencampuraduk kebenaran Islam dengan agama lain, mengkerdilkan ajaran Islam, mendegradasi akidah umat Islam dan melumpuhkan dakwah tauhid serta menghadang kebangkitan Islam. Narasi moderasi agama adalah indikasi kecil dari islamophobia.
Kementerian Agama sedang menggalakkan konsep moderasi beragama sebagai amunisi dan alternatif kebijakan Pemerintah dalam menanggulangi paham keagamaan yang ekstrem. Paham keagamaan moderat dianggap mampu menanggulangi penyebaran ideologi radikalisme. Melalui kebijakan deradikalisasi yang merupakan salah satu dari 5 (lima) Prioritas Aksi Kementerian Agama, akan dilaksanakan program/kegiatan deradikalisasi melalui diklat aparatur, diklat juru dakwah, kampanye toleransi, sinergi lintas Kementerian/Lembaga, TNI/Polri & Ormas dan penguatan wawasan kebangsaan (Lihat: Sambutan Menag Fachrul Razi dalam Buku Moderasi Beragama, Jakarta, Desember 2019, hlm. v).
Narasi moderasi beragama adalah bagian dari proyek deradikalisasi. Peristiwa runtuhnya WTC di New York City Amerika pada 11 September 2001 selalu dijadikan argumen program deradikalisasi. Pasca runtuhnya WTC, Presiden Amerika menyerukan: bersama Amerika atau bersama terorisme. Program war on terrorism dan dilanjutkan dengan war on radicalism tak lebih dari upaya serangan terhadap Islam. Dari sinilah program moderasi beragama bisa ditemukan jejak historis, politis dan ideologis. Siapa yang mendanai proyek deradikalisasi ini?
Genealogi perang pemikiran ini telah berlangsung sekitar tiga abad hingga hari ini. Perang asimetris ini terbukti efektif. Buktinya banyak kalangan intelektual Muslim yang terpapar sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Ketiga paham ini adalah produk epistemologi Barat untuk mendekonstruksi ajaran Islam. Itulah mengapa tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram atas ketiga paham di atas. Secara epistemologi, Islam adalah kebenaran, sedangkan moderasi agama (beragama) adalah kekacauan berpikir.
Karena itu tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat. Propaganda moderasi agama adalah racun akidah. Istilah washatiyah berasal dari al-Quran. Sebaliknya, istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Meskipun banyak cendekiawan Muslim memaksakan diri untuk menyamakannya. Menyamakan keduanya akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat. Pengarusutamaan moderasi agama adalah sia-sia karena merupakan produk gagal paham, dan karenanya pasti akan gagal pula. Umat tidak boleh diam. Harus terus bersuara untuk membungkam sesat pikir ini.
Tanpa diberikan embel-embel moderat, Islam adalah agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Tanpa ada narasi moderasi agama. Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain. Hanya paham demokrasi sekular yang diterapkan saat inilah yang justru menuduh Islam sebagai agama radikal dan anti keragaman. Islam memberikan ruang pengakuan atas fakta pluralitas sosiologis, namun tidak dengan pluralisme teologis.
Toleransi seagama [tasamuh] sejak awal dibangun oleh Rasulullah saw., Sahabat, tabi’in, atba tabi’in, imam mujtahid dan Kekhilafahan. Toleransi antaragama dalam Islam terbangun indah sejak beberapa abad lalu. Di Spanyol, misalnya, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekuasaan Bani Ummayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, Muslim dan Hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Di Mesir umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak Khulafaur Rasyidin.
Secara etimologi, makna al-wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan (Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfazh al-Qur’an, jilid II, entri w-s-th). Bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau: tengah kota (At-Tahrir wa at-Tanwir, II/17).
Umat wasath yang dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih karena mendapatkan petunjuk dari Allah. Jalan lurus dalam QS al-Fatihah adalah jalan tengah di antara jalan orang yang dibenci [Yahudi] dan jalan orang sesat [Nasrani] (Tafsir al-Manar, II/4).
Karakter umat washtiyah ada empat: umat yang adil; umat pilihan (QS Ali Imran [3]: 110), terbaik dan pertengahan antara ifrath [berlebihan] dan tafrith [longgar] (Tafsir ar-Razi, II/389-390]. Makna washatiyah dalam perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat atau moderasi yang kini terus dipropagandakan.
Ironisnya, propaganda narasi beragama itu cenderung menyasar agama Islam, bukan agama lainnya. Indikator yang terus dipropagandakan terkait narasi moderasi beragama adalah soal komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan atas tradisi.
Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai negara karena Allah dengan cara mengelola berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan. Islam jelas melarang umatnya untuk berhukum pada selain hukum Allah. Hal ini merupakan persoalan fundamental dalam ajaran Islam, sebab terkait dengan keimanan dan kekafiran, keadilan dan kezaliman, serta komitmen dan kefasikan (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45 dan 47; QS al-An’am [6]: 57 dan 121; QS at-Taubah [9]: 31; QS Yusuf [12]: 40; QS asy-Syura [42]: 21).
Pada awal tulisan juga sudah ditegaskan bahwa Islam adalah agama yang justru paling toleran atas keragaman sosial maupun agama sekalipun. Namun, Islam jelas mengharamkan toleransi yang digagas Barat yang berpaham pluralisme. Islam juga merupakan agama perdamaian yang disebarkan dengan penuh kasih sayang dan kelemahlembutan. Islam melarang kekerasan dan pemaksaan (lihat QS al-Baqarah [2]: 256). Dalam dakwah mewujudkan perubahan, Islam juga melarang penggunaan berbagai cara kekerasan.
Terkait tradisi, Islam bisa menerima seluruh tradisi masa lalu yang tidak bertentangan dengan aqidah, sementara tradisi agama lain dibiarkan dilakukan oleh pemeluknya, sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dengan demikian moderasi agama yang ditujukan kepada Islam, selain salah alamat, juga gagal paham atas ajaran Islam itu sendiri.
Islam adalah agama yang penerapan hukumnya dilakukan dengan adil dan damai. Tidak menzalimi dan juga tidak mencederai masyarakat. Islam dengan tegas juga meluruskan berbagai hukum yang tidak adil di tengah-tengah masyarakat. Islam memandang ayat suci di atas konstitusi. Oleh sebab itu Islam senantiasa memiliki peran dalam memperbaiki suatu bangsa dengan perbaikan hukum dan konstitusi yang lebih baik. Sebab, Islam anti kezaliman, penjajahan, kebodohan, kerusakan dan kemungkaran.
Islam sejatinya adalah agama sempurna yang tidak memerlukan lagi intervensi paham dari luar dirinya. Islam, jika diterapkan secara kaffah, akan mewujudkan kebaikan manusia seluruhnya (rahmatan lil ’alamin). Islam juga akan mampu mewujudkan peradaban mulia sebagaimana telah terjadi pada zaman keemasan. Muslim sebagai umat wasatiyah akan menjadi rakyat yang adil dan pilihan serta saksi kebenaran. Islam adalah agama damai dan mendamaikan serta sangat memahami keragaman sosiologis maupun teologis untuk tetap hidup berdampingan. Islam sebagai agama anti penjajahan juga terbukti paling berkomitmen membela negara dari segala bentuk penjajahan.
Dengan begitu, Islam tidak membutuhkan paham moderasi agama yang justru kontraproduktif dengan Islam. Paradigma moderasi beragama yang memiliki prinsip jalan tengah (moderat), berpaham sekularisme dan pluralisme, mencampuradukkan agama dan tradisi yang batil, memberikan ruang bagi penodaan agama dan melakukan tuduhan-tuduhan tendensius atas Islam serta merebaknya islamophobia adalah sebuah kesesatan yang wajib ditolak oleh umat Islam.
Islam adalah agama sempurna yang melahirkan cara pandang dan sikap individu sebagai pribadi mulia yang senantiasa menebarkan kebaikan dan perdamaian bagi sesama.Jika diterapkan oleh negara, Islam akan menebarkan rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta. Namun ironisnya, propaganda moderasi beragama justru bermaksud menghalangi penerapan Islam secara kaffah dalam negara. Moderasi beragama hanyalah kedok untuk terus melanggengkan penerapan demokrasi, nasionalisme, sekulerisme, kapitalisme, liberalisme dan pluralisme yang merupakan paham-paham dari penjajah Barat atas negeri-negeri Muslim.
Indonesia memang negara yang memiliki keragaman budaya dan agama, bahkan memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun sayangnya, oleh para penjajah, sumberdaya alam ini telah dirampok habis-habisan. Hanya Islam agama yang terbukti anti penjajah. Karena penjajah berusaha melumpuhkan semangat perjuangan umat Islam ini. Salah satunya dengan racun akidah bernama moderasi beragama.
Propaganda ini telah masuk ke berbagai lembaga pendidikan dengan menerbitkan berbagai modul bertopeng perdamaian antar anak bangsa, padahal sejatinya pelumpuhan Islam. Namun ironisnya, banyak dari kalangan Muslim yang justru ikut mempropagandakan produk pemikiran penjajah ini. Muslim yang menolak paham moderatisme ini akan dituduh radikal. Persis dulu penjajah menuduh para ulama yang melawan penjajah sebagai ekstremis.
Karena itu penting memberikan pencerahan kepada umat tentang bahaya imperialisme epistemologi Barat ini. Caranya dengan membentengi umat dari narasi moderasi beragama dengan menjelaskan kebatilan dan kerusakannya. Umat Islam harus diberi penjelasan tentang hakikat Islam yang sebenarnya sesuai dengan al-Quran dan al-Hadits dan berbagai kesesatan isme-isme yang dipropagandakan Barat kafir. Umat Islam terkhusus para pendakwah dan ulama harus terus bersuara. Tidak boleh diam menyembunyikan kebenaran Islam dan kesesatan kaum kafir.
Narasi moderasi beragama akan melumpuhkan ideologi Islam yang membawa kebangkitan kaum Muslim. Pengarusutamaan moderasi beragama adalah upaya menarik pluralitas sosiologis menuju pluralisme teologis atas nama keragaman dan toleransi. Bahkan tujuan yang lebih besar lagi adalah melanggengkan penjajahan di negeri-negeri muslim. Moderasi agama, dengan demikian, bukan hanya soal propoaganda teologis, namun juga membawa kepentingan politik neoimperialisme. Karena itu narasi moderasi agama yang dikaitkan dengan narasi radikalisme adalah upaya menyerang Islam. Waspadalah!
Akhirnya, penting ditegaskan bahwa Islam adalah manhaj kehidupan holistik bagi kebaikan manusia seluruhnya. Ia berasal dari sang Pencipta manusia. Islam adalah manhaj kehidupan yang realistik, dengan berbagai susunan, sistematika, kondisi, nilai, akhlak, moralitas, ritual dan begitu juga atribut syiarnya. Ini semuanya menuntut risalah ini ditopang oleh individu yang bertakwa serta kekuatan institusi yang dapat merealisasikannya secara kaffah. Itulah Khilafah Islamiyah. Khilafahlah yang akan mampu membungkam berbagai paham sesat serta memerdekakan dari segala bentuk penjajahan. Dengan Khilafah pula, dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia akan berjalan, persatuan umat Islam akan terwujud serta penerapan Islam kaffah akan menjadi kenyataan. [Dr. Ahmad Sastra; Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa]