Muhasabah

Negara Ri’ayah vs Negara Jibayah

Pajak.  Pemerintah berencana menaikkan pendapatan.  Salah satunya dengan cara memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari bahan kebutuhan pokok.  Selama ini kebutuhan pokok tidak terkena pajak.  Rancangan undang-undang terkait hal itu sedang digodog.  Jika aturan ini jadi diberlakukan maka beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi (baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium), daging, telur (telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas), susu, buah-buahan (buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan atau dikemas atau tidak dikemas), sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi akan dikenai pajak.

“Sembako dikenain pajak, artinya negara itu tidak memperhatikan rakyat kecilnya. Lha wong kayak begini saja menjerit, mau ditambahin beban pajak,” kata Kang Asep, seorang pedagang di pasar Anyar, Bogor. “Selama Corona, penjualan turun lebih dari 50%.  Kalau ditambah pajak lagi, ngedrop dah,” tambahnya sambil mengelus dada.

Alasan Pemerintah akan mengenakan pajak sembako adalah untuk keadilan.  Staf Ahli Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menyatakan (9/6/21), “Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mestinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10%. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil, bukan? Yang mampu mensubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong.”

Kedengarannya manis.  Namun, realitasnya tak semanis kedengarannya.  “Jadi mungkin tidak kurang 40 juta sampai 50 juta orang akan menjerit akibat dari kebijakan ini karena akan membuat mereka menjadi tidak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya,” tegas Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas.

“Hendaknya benar-benar dipikirkan 100 kali oleh Pemerintah. Bahkan di dalam Pasal 33 UUD 1945 negara dan atau Pemerintah diminta dan dituntut untuk bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat. Namun, pengenaan PPN ini malah bisa membuat yang terjadi adalah sebaliknya,” tegasnya.

“Tidak mencerminkan keadilan,” ujar Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto (6/10/21).  “Buktinya, Pemerintah sempat mengenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar nol persen pada mobil baru,” tambahnya.  “Ini sama sekali tidak mencerminkan keadilan. Karena justru orang menengah ke bawah yang sebagian income-nya habis untuk dikonsumsi harus membayar PPN juga,” ia menyimpulkan.

Memang, kalau kebutuhan pokok sudah dipajak, ini tanda-tanda kondisi sudah sangat parah.  “Yang lebih parah, jika hasil dari pajak itu justru dikorupsi,” kata Mang Dadang.

“Tengok, dana Bansos milik rakyat, eh dikorupsi,” tambahnya.  Keji.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana (13/6/2021) menyatakan, “Korupsi yang dilakukan Juliari bersama kompolotan dan kroninya termasuk korupsi yang paling keji sepanjang sejarah Republik Indonesia. Karena, sedang parah-parahnya bencana, uang itu justru jadi bancakan oleh mantan Mensos.”

“Inikah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?” kata Bu Wati.

Bukan hanya sembako.  Pendidikan pun, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD, SMP, dan SMA akan dikenai pajak. Reaksi pun bermunculan. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menanggapi, “Jika kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) dipaksakan untuk diterapkan di Pendidikan, maka tidak hanya negara yang mampu menyelenggarakan Pendidikan dengan APBN, tapi juga para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi, sehingga Pendidikan akan semakin mahal, elitis dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan.”

“Kebijakan PPN bidang pendidikan (PPN Pendidikan) jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak boleh diteruskan,” ujar Haedar.

Hal senada disampaikan oleh Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini.  “Inisiatif Pemerintah dalam hal upaya meningkatkan pajak melalui cara peningkatan PPN pendidikan adalah tindakan yang tidak tepat. Sebaiknya usulan ini dapat dicarikan formula lain yang lebih memungkinkan dan bijaksana,” ujarnya.

Pendidikan termasuk kebutuhan primer. Artinya, mengenakan pajak pertambahan nilai pada Pendidikan sama posisinya dengan penerapan PPN pada sembako. “Untuk mendapatkan dana, rakyat ditekan dengan pajak.  Sementara, dana yang dikorupsi berkeliaran,” Mang Dadang geram.

Barangkali Mang Dadang benar.  Berdasarkan data yang pernah disampaikan ICW, sejak 1996 sampai hari ini masih ada 36 buron kasus korupsi yang masih berkeliaran di luar negeri. Kerugian yang diakibatkan 36 buronan kasus korupsi ini sekitar Rp 53 triliun.  Wow! “Tak layakkah jika rakyat kecil seperti saya heran mengapa kok yang dikorbankan kebutuhan pokok rakyat?” Mang Dadang curhat.

Sembako dan Pendidikan akan dikenai PPN.  Pada saat yang sama, yang dipikirkan umumnya politisi bukanlah rakyat.  Bukan apa dampak kenaikan sembako. Bukan pula apa dampak buruk pada jutaan rakyat jika kebijakan pajak diterapkan pada kebutuhan pokok dan pendidikan itu.  “Kelihatannya yang dipikirkan hanyalah nasibnya di Pemilu,” kata Kang Asep.

Wajar belaka masyarakat melihat kini makin mewabah ketidakadilan.  “2024 masih tiga tahun lagi, tetapi para elit sudah umyek, sudah pada ribut tentang calon presiden dan calon wakil presiden negeri ini,” kritik Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana (11/6/2021).

Dalam pandangan Islam, penguasa itu haruslah menjadikan negara sebagai ‘negara ri’ayah’ (negara pengayom), bukan ‘negara jibayah’ (negara pemalak). Dalam suatu negara ri’ayah, penguasa melakukan pelayanan dan pengayoman terhadap rakyatnya. Penguasa laksana pengembala (ra’in).  “Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dia” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya, dalam negara jibayah, penguasa lebih merupakan pemalak bagi rakyatnya. Hubungan penguasa dengan rakyat laksana hubungan tuan dengan budaknya.   Dalam negara jibayah, negara gemar memalak rakyatnya dengan pajak mencekik dan aneka pungutan yang memberatkan; melepaskan tanggung jawabnya dalam urusan pendidikan dan kesehatan, mengharamkan subsidi sekalipun rakyatnya sudah jelas-jelas sengsara lagi menderita; memaksa rakyatnya untuk bertarung drajat dalam pasar bebas, sekalipun mereka jelas lemah untuk berkompetesi.

Hanya negara ri’ayah yang dapat mewujudkan keadilan.  WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 1 =

Back to top button