Analisis

Ramadhan dan Ketakwaan Hakiki

Bulan suci Ramadhan kembali menyapa kaum Muslim di seluruh dunia. Dengan berbagai kemuliaan dan keistimewaan yang ada di dalamnya, wajar jika bulan suci ini merupakan salah satu bulan yang paling dirindukan kehadirannya oleh kaum Muslim. Berbagai cara dilakukan kaum muslimin di seluruh dunia untuk menyambut bulan mulia ini dengan penuh antusias dan hati gembira. Sebab rasa gembira menyambut kedatangan bulan Ramadhan adalah bagian dari refleksi keimanan seorang Muslim.

Meski merupakan kewajiban individual, puasa tetap memberikan pesan-pesan politik dan sosial. Secara individual, pelaksanaan puasa Ramadhan berdampak pada peningkatan kualitas ketakwaan. Bahkan inti puasa Ramadhan adalah ketakwaan. Sebab ujung dari pelaksanaan puasa Ramadhan adalah diraihnya status sebagai manusia yang bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

Ketakwaan adalah derajat paling mulia di sisi Allah SWT:

إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ ١٣

Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (QS al-Hujurat [49]:  13).

 

Karena itu penting memahami kembali hakikat takwa serta menerapkan nilai-nilai ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari.

Ketakwaan seorang individu adalah ketika ia mampu menjadikan hukum-hukum Allah sebagai timbangan sikap dan perilakunya. Timbangan hukum dalam Islam ada lima: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Kehati-hatian dalam berperilaku, agar selalu dalam ketundukan epada hukum Allah serta  terhindar dari jerat kemaksiatan dan pelanggaran hukum syariah, itulah yang disebut sebagai takwa.

Hal ini sejalan dengan pengertian takwa menurut Abu Hurairah yang dijelaskan oleh Ibn Abi ad-Dunya dalam kitab At-Taqwâ. Takwa dianalogikan dengan seseorang yang berhati-hati saat mendapati jalan yang dia lewati banyak duri. Tentu agar ia terhindar dari tajamnya tusukan duri di kaki. Maknanya, kehati-hatian dalam menjalani kehidupan agar tetap dalam koridor hukum Allah dan tidak terjerembab dalam kubangan dosa inilah yang dimaksud takwa menurut Abu Hurairah.

Pernyataan Abu Hurairah ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., bahwa tidaklah seorang Mukmin mencapai derajat takwa hingga ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir terjerumus pada hal-hal yang haram (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim dan al Baihaqi).

Imam as-Suyuti dalam kitab tafsirnya, Ad-Dûr al-Mantsûr fî at-Tafsir bi al-Ma’tsûr, mengumpulkan pendapat salafush shalih yang mengartikan muttaqîn. Menurut Ibn Mas’ud,  mereka adalah orang-orang Mukmin. Menurut Ibn Abbas, mereka adalah orang-orang yang khawatir terhadap hukuman Allah karena meninggalkan petunjuk (al-Quran) yang mereka ketahui seraya mengharap rahmat-Nya dengan membenarkan apa saja yang datang dari Allah. Menurut Muadz bin Jabal, mereka adalah orang-orang yang takut berbuat syirik dan penyembahan kepada berhala serta mengikhlaskan diri beribadah hanya kepada Allah.

Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa takwa kepada Allah bukan ditandai oleh seringnya puasa di siang hari dan seringnya shalat malam atau kedua-duanya. Akan tetapi, takwa kepada Allah adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan.

Uraian di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Imam Ibnu al-‘Arabi di dalam Kitab Ahkâm al-Qur’ân. Pada saat menjelaskan frasa la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa/QS al-Baqarah [2]: 183), Imam Ibnu al-‘Arabi menyatakan: Dalam menafsirkan frasa (la’allakum tattaqûn) ini, para ulama tafsir terbagi menjadi tiga pendapat. Pertama: ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan la’allakum tattaqûn adalah la’allakum tattaqûn mâ harrama ‘alaykum fi’lahu (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang Allah haramkan atas kalian). Kedua: ada yang berpendapat bahwa la’allakum tattaqûn bermakna la’allakum tudh’ifûn fa tattaqûn (agar kalian menjadi lemah sehingga kalian menjadi bertakwa). Sebab ketika seseorang itu sedikit makannya maka syahwatnya juga akan lemah. Saat syahwatnya melemah maka maksiatnya juga sedikit. Ketiga: ada yang berpendapat bahwa la’allakum tattaqûn adalah la’allakum tattaqûn ma fa’ala man kâna qablakum (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kalian [Yahudi dan Nasrani]).

 

Takwa: Totalitas Ketundukan

Menjadikan al-Quran sebagai petunjuk atas seluruh perilaku dalam kehidupan di dunia adalah refleksi ketakwaan. Perilaku dalam kehidupan di dunia yang harus selalu merujuk pada al-Quran di antaranya dalam hal kepemimpinan. Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur  urusan rakyat agar tertib sejalan dengan  nas al-Quran serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan ulil amri, yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat, tentu selama pemimpin itu tunduk pada al-Quran dan as-Sunnah.

Sayidina Ali bin Abi Thali ra. dalam Tafsir al-Quran karya Al-Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaati dirinya. Sebaliknya, tidak wajib taat kepada kemimpinan yang tidak memerintah berdasarkan hukum Allah atau memerintahkan kemaksiatan kepada Allah.

Karena itu bulan suci Ramadhan ini hendaknya melahirkan bukan hanya ketakwaan individual, melainkan juga ketakwaan kolektif yang mewujud dalam penerapan sistem dan perundang-undangan syar’i.

Takwa adalah puncak hikmah dari ibadah shaum Ramadhan. Perwujudan takwa secara individu tidak lain dengan melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya, baik sebelum Ramadhan, selama dan sesudahnya. Adapun perwujudan takwa secara kolektif adalah terwujudnya masyarakat yang tunduk  dan terikat secara totalitas pada syariah Islam.

 

Menjawa Spirit Ramadhan

Melalui momen Ramadhan, secara kolektif umat Islam harus diingatkan akan pentingnya menjaga spirit Ramadhan. Urgensitas menjaga dan memelihara spirit Ramadhan tampak pada poin-poin berikut ini:

  1. Ketakwaan merupakan perkara asasi yang mendorong kaum Muslim untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya akan mendorong kaum Muslim untuk tunduk dan patuh kepada hukum Allah SWT.
  2. Ketakwaan adalah api yang akan menyalakan kesadaran untuk memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah kehidupan individu, masyarakat dan negara, melalui perjuangan menegakkan kembali Daulah Islam, sebagaimana Daulah Madinah. Iman dan takwa pula yang akan memompa semangat kaum Muslim untuk berjuang melenyapkan semua bentuk kenyakinan, pemikiran, paham, sistem dan adat-istiadat yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
  3. Ketakwaan dan ukhuwah adalah faktor utama yang akan mendorong umat Islam untuk mewujudkan persaudaraan dan kesatuan hakiki yang diikat kalimat Lâ ilâha illâlLâh Muhammad RasûlulLâh. Persaudaraan hakiki inilah yang akan mendorong seorang Muslim untuk ihtimâm bi amr al-Muslimîn (peduli terhadap urusan kaum Muslim), membela saudaranya-saudaranya Muslim dalam kebenaran serta membebaskan mereka dari semua bentuk penindasan, penzaliman dan penjajahan.
  4. Selama spirit Ramadhan dan Idul Fitri, yakni ketakwaan dan ukhuwah, belum dijaga secara kolektif, maka di tengah-tengah kaum Muslim tidak akan dijumpai; (1) kesadaran kolektif untuk tunduk dan patuh pada hukum syariah; (2) kesadaran untuk memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara menyeluruh melalui upaya tegaknya Daulah Islam; (3) kesadaran untuk selalu peduli dan memperhatikan urusan-urusan kaum Muslim.

 

Dalam perspektif ketakwaan sistemik, hanya ada dua hal: haq atau batil; hukum Allah atau hukum jahiliah. Mana di antara keduanya yang dikehendaki?

أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ  ٥٠

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah selain Allah yang hukumnya lebih baik, bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

 

Khilafah Mewujudkan Ketakwaan Hakiki

Kemuliaan Ramadhan akan tereduksi jika tidak didukung oleh ketakwaan sistemik, yang muncul justru sekularisasi dan kapitalisasi Ramadhan. Karena itu di sinilah pentingnya Khilafah.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam. Sejatinya syariah Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”

Di bawah hegemoni sistem sekularisme dan kapitalisme, bulan Ramadhan tampaknya  belum membawa perubahan apapun bagi nasib kaum Muslim di seluruh dunia. Umat Islam seluruhnya masih dalam keadaan terpuruk, terhina. Musuh-musuh Allah, kaum kuffâr, masih saja membunuhi dan menjajah kaum Muslim. Para penguasa di negeri-negeri Islam juga masih saja menelantarkan. Mereka tidak peduli apakah kebutuhan bahan pokok rakyatnya terjamin atau tidak. Korupsi dan berbagai penyimpangan makin merajelala. Perjudian, pornografi dan pelacuran, masih saja berjalan. Bahkan di bulan Ramadan sekalipun. Kriminalitas seperti pemerkosaan, pembunuhan, pencurian dan lain-lain masih merupakan bagian dari keseharian hidup masyarakat kita.

Islam telah dicampakkan dalam kehidupan digantikan dengan sistem kehidupan sekular kapitalis, yang berprinsip memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan manfaat dan kebebasan sebagai asas kehidupannya.

Benar, jika saat ini kaum Muslim, laki-laki dan perempuan masih shalat dengan menggunakan aturan Islam, mengerjakan puasa dan beribadah haji dengan aturan Islam, menikah dengan aturan Islam, memilih makanan dan minuman sesuai dengan Islam serta mengurus jenazah berdasarkan aturan Islam. Mereka pun terlihat bergembira dan bersegera menyambut seruan Allah: kutiba ’alaykum ash-shiyâm.

Akan tetapi, dalam urusan pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan pidana, mereka tidak menjadikan aturan Islam sebagai pegangan. Mereka mencampakkan hukum-hukum Allah SWT. Mereka tampak enggan menyambut seruan Allah: kutiba ’alaykum al-qitâl dan kutiba ’alaykum al-qishâsh. Padahal ketika umat Islam mencampakkan aturan-aturan Allah, seketika itulah umat Islam menjatuhkan dirinya ke dalam lubang kenestapaan, kemunduran dan keterpurukan.

Sesungguhnya telah nyata kegagalan sistem kapitalis sekular memberikan kesejahteraan dan ketenangan bagi umat manusia. Karena itu masihkah kita berharap kepada sistem yang rusak ini? Tentu saja tidak! Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh sistem yang telah menyengsarakan kita ini. Kita harus mengganti sistem yang telah cacat sejak lahir ini dengan sistem yang mampu mensejahterakan umat manusia. Itulah sistem Islam dengan sistem Khilafahnya yang telah terbukti mampu mengantarkan manusia menuju puncak peradaban, kesejahteraan dan kemakmuran.

Kemenangan demi kemenangan yang berhasil diraih Rasulullah saw. dan para Sahabatnya, serta para khalifah sesudahnya adalah karena mereka menerapkan Islam secara kâffah dalam kehidupan mereka. Ini pulalah yang menjadikan generasi Islam terdahulu mampu membangun kekuatan super power, Negara Khilafah, yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Negara Khilafah inilah yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya, baik Muslim maupun Non-Muslim.

Negara inilah yang mampu melahirkan para pejuang Islam yang tangguh dalam mengemban misi-misi pembebasan di berbagai negeri; yang mampu menumbuhsuburkan perkembangan sains dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia; yang mampu menjadikan negeri Islam sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi pada saat bangsa Eropa masih tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan.

Inilah sebenarnya hakikat kemenangan dan kesuksesan kita menjalani ibadah puasa kita pada bulan Ramadhan ini. Karena itu selama dan selepas Ramadhan ini, semoga semangat dakwah dan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah  ini semakin menggelora. Dengan demikian hadirnya Ramadhan adalah sebuah kebajikan spiritual yang perlu kita laksanakan sebagai individu Muslim. Yang juga tidak kalah penting, sebagai bagian dari umat, kita juga berkewajiban memperjuangkan syariah untuk diterapkan oleh negara. Dengan itu lahir sejarah perubahan, bukan hanya pada individu, melainkan juga perubahan sistemik.

Keimanan dan ketundukan totalitas  pada hukum  Allah, baik secara individual, sosial maupun sistemik sebagai refleksi ketakwaan, inilah yang akan mendatangkan keberkahan hidup (Lihat: QS al-A’raf [7]: 96).

Semoga bulan agung yang dirindukan ini menjadi wasilah kaum Muslim dalam memantik ghirah dan komitmen dakwah dan perjuangan untuk mewujudkan ketakwaan hakiki, baik individu, masyarakat maupun negara. Ketakwaan hakiki ini hanya bisa diwujudkan dengan tegaknya Khilafah.

Semoga di bulan Ramadhan tahun ini Allah SWT segera menurunkan pertolongan dengan tegaknya Khilafah di muka bumi ini. Semoga kaum Muslim di seluruh dunia semakin sadar dan menyatukan visi untuk berjuang menyambut kemenangan hakiki, yakni tegaknya Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. Ahmad Sastra; Forum Doktor Islam Indonesia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 − 9 =

Back to top button