Tafsir

Teguran dan Balasan Terhadap Kaum Kafir

Surat al-Insan [76]: 27-31

إِنَّ هَٰٓؤُلَآءِ يُحِبُّونَ ٱلۡعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَآءَهُمۡ يَوۡمٗا ثَقِيلٗا  ٢٧ نَّحۡنُ خَلَقۡنَٰهُمۡ وَشَدَدۡنَآ أَسۡرَهُمۡۖ وَإِذَا شِئۡنَا بَدَّلۡنَآ أَمۡثَٰلَهُمۡ تَبۡدِيلًا  ٢٨ إِنَّ هَٰذِهِۦ تَذۡكِرَةٞۖ فَمَن شَآءَ ٱتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِۦ سَبِيلٗا  ٢٩ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا  ٣٠ يُدۡخِلُ مَن يَشَآءُ فِي رَحۡمَتِهِۦۚ وَٱلظَّٰلِمِينَ أَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمَۢا  ٣١

Sungguh kaum kafir itu menyukai kehidupan dunia dan tidak mempedulikan kesudahan mereka pada hari yang berat (Hari Akhirat). Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka. Jika Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka. Sungguh (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan. Siapa saja yang menghendaki (kebaikan bagi dirinya), niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya.  Kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali jika dikehendaki Allah. Sungguh Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana. Dia memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya (surga). Bagi kaum zalim Dia  sediakan azab yang pedih. (QS al-Insan [76]: 27-31).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Inna hâ’ulâ’i yuhibbûna al-‘âjilah (Sungguh kaum kafir itu menyukai kehidupan dunia). Kata hâ’ulâ’i (mereka) menunjuk kepada kaum kafir Makkah dan orang-orang yang seperti mereka.1 Mereka digambarkan sebagai orang-orang yang mencintai al-‘âjilah. Yang dimaksud al-âjilah adalah kehidupan dunia.2

Menurut al-Jazairi, disebut al-âjilah (yang cepat) karena sifat dunia itu dapat hilang dengan cepat.3

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Sungguh kaum yang menyekutukan Allah SWT menyukai al-‘âjilah (kehidupan yang segera), yakni dunia. Mereka menginginkan hidup kekal di dunia dan sangat menyukai kesenangannya.”4

Disebutkan juga: wa yadzarûna warâ‘ahum yawm[an] tsqaîl[an] (dan mereka tidak mempedulikan kesudahan mereka pada hari yang berat [Hari Akhirat]). Selain amat mencintai kehidupan dunia, mereka juga meninggalkan dan tidak peduli terhadap kehidupan akhirat. Menurut Imam al-Qurthubi, kata wa yadzarûna bermakna wa yada’wna (mereka meninggalkan, membiarkan). Frasa warâ‘ahum bermakna bayna aydihim (di hadapan mereka).5

Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, dan al-Khazin memaknai frasa itu dengan amâmahum (di depan mereka).6

Adapun frasa yawm[an] tsqaîl[an] (hari yang berat) bermakna ‘asîr[an] syadîd[an] (sangat berat lagi sulit).7 Yang dimaksud adalah Hari Kiamat.8 Menurut al-Qurthubi, Hari Kiamat disebut tsaqîl (sangat berat) karena kegentingan dan kedahsyatannya.9

Demikianlah sikap hidup kaum kafir itu. Mereka hanya peduli dengan urusan mereka di dunia. Adapun urusan akhirat, mereka abaikan dan tidak mereka pedulikan.  Sebagai akibatnya, mereka tidak mendapatkan bagian kebaikan sama sekali di akhirat. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Mereka meninggalkan amalan untuk akhirat di belakang mereka sehingga tidak selamat dari azab Allah SWT pada saat itu.”10

Kemudian Allah SWT berfirman: Nahnu khalaqnâhum wa syadadnâ asrahum (Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka). Ayat ini pun mengingatkan mereka tentang asal-usul kejadian mereka. Mereka hidup di dunia itu tidak ada dengan sendirinya. Mereka hanya ada dan bisa hidup di dunia karena diciptakan Allah SWT. Allah SWT berfirman: Nahnu khalaqnâhum (Kami telah menciptakan mereka). Artinya, Kamilah Yang mengadakan mereka dari yang sebelumnya tidak ada.11

Ditegaskan pula: wa syadadnâ asrahum (dan Kami menguatkan persendian tubuh mereka). Makna syadadnâ (Kami menguatkan) adalah qawaynâ (Kami mengokohkan).12

Adapun frasa asrahum, dari kata al-asr, menurut para ahli bahasa, bermakna ar-rabth wa tawfîq (ikatan dan belenggu). Kalimat: usira al-rajul (laki-laki itu diikat) maknanya: wutsiqa bi al-qadz (dia diikat dengan tali). Dengan demikian makna ayat ini adalah: “Kami mengokohkan persambungan-persambungan organ tubuh mereka antara satu bagian dengan bagian yang lain dan mengikat persendian-persendian mereka dengan otot-otot.”13

Dikaitkan dengan ayat sebelumya, ayat ini memberikan teguran kepada kaum kafir. Wahbah al-Zuhaili berkata, “Bagaimana kaum kafir itu lalai terhadap Tuhan mereka dan tentang akhirat, padahal Kami yang telah menciptakan mereka serta mengokohkan anggota-anggota tubuh-tubuh dan persendian-persendian mereka. Dia mengikatkan urat-urat dan otot-otot mereka.”14

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ syi‘nâ baddalnâ amtsâlahum tabdîl[an] (Jika Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti [mereka] dengan kaum  yang serupa dengan mereka). Ini merupakan teguran lebih keras kepada mereka. Sebagaimana Allah SWT telah menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada, Dia pun mampu untuk membinasakan dan mengganti mereka dengan makhluk lain yang semisal dengan mereka, bahkan lebih baik dari mereka. Demikian penjelasan para ulama ahli tafsir dalam menjelaskan makna ayat ini.

Ibnu Abbas berkata: Allah berfirman, “Andai Kami menghendaki, niscaya Kami bisa membinasakan mereka dan mendatangkan orang yang lebih taat kepada Allah SWT daripada mereka.”15

Kemudian Allah SWT berfirman: Inna hâdzihi tadzkirah (Sungguh (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan). Kata hadzihi (ini) menunjuk pada surat ini atau ayat-ayat yang terdapat dalam surat ini. Demikian penafsiran para mufassirin seperti al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, Ibnu Katsir, al-Khazin, al-Jazairi, dan lain-lain.16

Dalam ayat ini disebutkan bahwa surat ini adalah tadzkirah (peringatan). Artinya, tadzkîr wa ‘izhah (peringatan dan nasihat). Demikian menurut al-Khazin.17

Inilah realitas surat ini beserta seluruh kandungannya. Seluruh isinya adalah peringatan dan nasihat bagi manusia. Lalu disebutkan: Faman syâ‘a [i]ttakhadza ilâ Rabbihi sabîl[an] (Karena itu siapa saja yang menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya).

Peringatan, nasihat dan pengajaran yang terkandung dalam surat ini sesungguhnya ditujukan kepada seluruh manusia. Peringatan dan nasihat itu akan diambil atau tidak, keputusannya diserahkan kepada manusia. Mereka diberikan keleluasaan untuk memilih, apakah akan mengimani atau mengingkari, mengambil atau meninggalkan, serta mengerjakan atau mengabaikan.

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Siapa saja yang menghendaki, wahai manusia, dia akan mengambil ridha Tuhannya dengan mengerjakan ketaatan, melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.”18

Semua penjelasan itu menunjukkan bahwa manusia diberi pilihan dan kehendak untuk memilih jalan bagi dirinya. Ketika mereka menghendaki kebaikan bagi dirinya, dia akan memilih jalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dengan menjalankan berbagai ketaatan dan amal shalih. Sebaliknya, ketika mereka tidak menghendaki, niscaya tidak akan mengambil jalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Kemudian Allah SWT berfirman: wamâ tasyâ‘ûna illâ an yasyâaL-lâh (dan kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah). Ayat ini mengingatkan tentang kemahakuasaan Allah SWT. Menurut Imam al-Qurthubi, frasa wamâ tasyâ‘ûna (dan kamu tidak mampu [menempuh jalan itu]) bermakna ketaatan, istiqamah dan mengambil jalan kepada Allah SWT; illâ an yasyâaL-lâh (kecuali bila dikehendaki Allah). Artinya, Allah SWT memberitahukan bahwa perkara itu kembali kepada-Nya, bukan kepada mereka. Sebab, tidak ada satu pun kehendak manusia yang dapat terlaksana dan dikerjakan kecuali dengan kehendak-Nya.”19

Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa semua itu hanya terjadi dalam kehendak-Nya. Tidak ada satu pun orang yang bisa mewujudkan kehendak-Nya kecuali atas izin dan kehendak-Nya.

Menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Artinya, tiada seorang pun yang mampu memberi petunjuk kepada dirinya, tidak (pula mampu) memasukkan iman ke dalam hatinya, dan tiada (pula mampu mendatangkan) manfaat bagi dirinya.”20

Lalu Allah SWT berfirman: InnaL-lâh kâna ‘Alîm[an]  Hakîm[an] (Sungguh Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana). Menurut Imam al-Qurthubi,  “Sungguh Allah SWT Mahatahu atas amal perbuatan kalian dan Mahabijaksana dalam perintah dan larangan-Nya untuk kalian.”21

Al-Jazairi berkata, “Sungguh Allah ‘Alîm[an] (Mahatahu) atas makhluk-Nya dan semua yang memberikan maslahat atau merusak mereka. Dia  Hakîm[an] (Mahabijaksana) dalam pengaturan-Nya terhadap wali-Nya secara khusus dan manusia secara umum. Karena itu milik-Nya pujian dan karunia.”22 

Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Yud-khilu man yasyâ‘a fî Rahmatihi (Dia memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya [surga]). Artinya, Dia mengetahui siapa saja yang layak dimasukkan ke dalam rahmat-Nya dan siapa saja yang layak ditimpa azab.

Diberitakan bahwa Allah SWT memasukkan orang yang kehendaki dalam rahmat-Nya. Tentang frasa fî rahmatihi (dalam rahmat-Nya), ada yang menafsirkannya al-jannah (surga). Dengan demikian maknanya: Dia memasukkan orang yang Dia kehendaki ke dalam surga.23

Kemudian disebutkan: Wa al-zhâlimîna a’adda lahum adzâb[an] alîm[an] (Bagi orang-orang zalim, Dia sediakan azab yang pedih). Kata azh-zhâlimîn (orang-orang zalim) merupakan bentuk fî’il dari kata azh-zhulm (kezaliman). Menurut ahli bahasa dan sebagaian besar para ulama, kata itu bermakna: meletakkan sesuatu tidak pada tempat yang dikhususkan untuknya. Bisa disebabkan karena pengurangan atau penambahan. Bisa disebabkan karena tidak sesuai dengan waktu atau tempatnya.24

Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan azh-zhâlimîn adalah orang-orang musyrik. Demikian menurut banyak mufassir seperti al-Qurthubi, al-Khazin dan al-Jazairi.25

Untuk mereka, Allah SWT menyediakan azab yang pedih. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Az-Zhâlimîn adalah orang-orang yang menzalimi diri mereka, lalu mati dalam keadaan musyrik. Untuk mereka disediakan azab yang pedih di akhirat. Itulah azab yang menyakitkan. Itulah Neraka Jahanam.26

 

Pelajaran Penting

Banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Di antaranya: Pertama, sikap hidup kaum kafir. Mereka amat mencintai dunia dan sama sekali tidak mempedulikan akhirat. Menurut Wahbah al-Zuhaili, ini adalah garis pemisah antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Kaum Mukmin beramal untuk dunia dan akhirat. Sebaliknya, kaum kafir hanya beramal untuk dunia saja. Itulah pandangan materalistis dan perilaku yang bermanfaat materil, yang menunjukkan bahwa faktor pendorong bagi mereka untuk berbuat kekufuran adalah kecintaan pada dunia.27

Kedua, kekuasaan Allah SWT atas manusia dan ancaman terhadap manusia yang ingkar dan membangkang kepada-Nya. Dalam ayat ini ditegaskan, Allah SWT yang menciptakan manusia serta mengokohkan persendian tubuh mereka. Karena itu sudah semestinya manusia mengiman Allah serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya.

Ketika yang dilakukan sebaliknya, sungguh manusia yang tidak tahu diuntung. Ayat ini mengancam mereka: jika Allah SWT menghendaki, niscaya Dia bisa membinasakan mereka, lalu mengganti mereka dengan makhluk yang lebih baik dan lebih taat dari mereka.

Ketiga, al-Quran adalah tadzkirah (peringatan). Semua ayat dalam al-Quran adalah tadzkirah (lihat QS Thaha [20]: 2-3).

Keempat, manusia diberi keleluasaan untuk memilih petunjuk. Ayat, surat dan kitab ini yang berisi peringatan sesungguhnya ditujukan kepada seluruh manusia. Namun, tidak semua manusia mau dan bersedia menjadikan semua itu sebagai petunjuk kehidupan. Ada yang memilih untuk beriman. Ada pula yang memilih untuk ingkar.

Hal ini sesungguhnya sudah diterangkan pada awal-awal surat. Diberitakan dalam ayat 3 surat ini bahwa Allah SWT telah menunjukkan jalan yang lurus kepada manusia. Lalu ada di antara mereka ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

Kelima, tentang kehendak Allah SWT. Semua yang terjadi atas kehendak-Nya. Tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi berlawanan dengan masyi‘ah dan irâdah-Nya.  Menjadi kehendak-Nya orang-orang yang dimasukkan ke dalam rahmat-Nya, diberi kemudahan dalam mendapatkan hidayah-Nya dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Menjadi kehendak-Nya pula orang-orang yang zalim dan berpaling dari agama-Nya kemudian dipalingkan dari agama-Nya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 294. Lihat juga al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 489; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘0Ilmiyyah, 1995), 381; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 183

2        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 151; al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 117; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 294; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 489; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381

3        al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381

4        al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 117

5        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 150

6        al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 183; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 1998), 275; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381

7        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 150-151

8        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 151; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 183; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 294; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 489

9        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 151

10      al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 117

11      al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 489

12      al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 489; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381

13      al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 761

14      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 306

15      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 152

16      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 152; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 676; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 489-490

17      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381

18      al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 119

19      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 152

20      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 295

21      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 152

22      al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 490

23      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 153

24      Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 537

25      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 153; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 490

26      al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 119

27      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 306

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven + two =

Back to top button