
Meraih Keberkahan di Tengah Efisiensi Anggaran
Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok jelang Ramadan dan lebaran hampir dipastikan selalu terjadi. Apalagi Ramadan tahun ini lonjakan harga bukan hanya dipengaruhi oleh faktor peningkatan permintaan akan barang, tetapi diperparah dengan kebijakan efisiensi anggaran yang digencarkan oleh rezim saat ini. Tentu saja lonjakan ini akan memberikan dampak signifikan pada suasana keuangan di setiap rumah tangga.
Apa yang harus dilakukan oleh keluarga Muslim agar tetap bisa beribadah dengan tenang dan nyaman pada bulan istimewa ini sehingga tidak kehilangan keberkahannya? Ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama: Mengokohkan keyakinan keluarga bahwa Allah Maha Pemberi rezeki. Demikian sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah (TQS Hud [11]: 6). Keluarga Muslim penting memiliki keyakinan yang kuat bahwa selama masih bernyawa, pasti Allah SWT akan menyertakan rezeki untuk kita menjalani kehidupan ini.
Kedua: Memahami bahwa Ramadhan adalah waktu untuk mengokohkan keimanan. Juga membuktikan komitmen ketaatan dengan menjalankan semua yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi apapun yang Dia larang demi meraih derajat takwa. Ramadhan bukanlah waktu untuk menambah anggaran, apalagi perilaku konsumtif, sekalipun ada aktivitas berbeda seperti sahur, buka puasa dan silaturahmi di momen lebaran.
Ketiga: Memahami konsep harta secara benar. Islam menetapkan bahwa harta adalah rezeki yang memiliki konsekuensi pertanggungjawaban dari orang yang mendapatkannya. Setiap Muslim akan ditanya dari mana harta itu diperoleh. Apakah berasal dari sumber yang halal atau didapatkan dengan cara yang diharamkan. Berikutnya juga akan diaudit tentang pembelanjaannya. Apakah harta tersebut digunakan sesuai dengan ketentuan syariah atau tidak. Dari Abu Barzah al-Aslami, Nabi saw. bersabda, “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada Hari Kiamat hingga ia ditanya mengenai umurnya, di manakah ia habiskan; ilmunya, di manakah ia amalkan; hartanya, bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan; tubuhnya, di manakah gunakan.” (HR at-Tirmidzi).
Terkait penggunaan harta, keluarga Muslim harus memahami beberapa ketentuan. Di antaranya: Tidak boleh menafkahkan harta di jalan yang haram, menghambur-hamburkan harta dan bersikap kikir. Allah SWT berfirman (yang artinya): Janganlah kalian menjadikan tangan kalian terbelenggu pada leher kalian (terlalu kikir). Jangan pula kalian terlalu mengulurkannya (terlalu boros) karena itu kalian menjadi tercela dan menyesal (TQS al-Isra’ [17]: 29).
Agar tidak terjebak pada perilaku boros, yakni membelanjakan harta untuk perkara yang dilarang atau tidak dibutuhkan, maka setiap keluarga Muslim perlu menetapkan skala prioritas. Berikutnya, harus memisahkan antara keinginan dan kebutuhan. Tidak semua keinginan harus dipenuhi. Pembelanjaan hanya difokuskan pada barang-barang yang dibutuhkan.
Keempat: Menyusun daftar barang-barang yang dibutuhkan dan aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan. Kegiatan ini akan menyelamatkan dari dorongan membeli barang yang tidak dibutuhkan atau melakukan kegiatan yang sia-sia.
Anggaran Ketat, Infak Sunnah Tetap
Selain kebutuhan makanan, ada pos pengeluaran yang harus sengaja dianggarkan, yaitu pos untuk infak sunnah. Ramadhan adalah bulan saat Rasulullah saw. banyak memberikan infak. Dalam hadis Ibnu Abbas ra. disebutkan: “Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan. Beliau bertambah kedermawanannya pada Bulan Ramadhan.” (HR al-Bukhari).
Berinfak adalah kebiasaan yang harus ditumbuhkan. Jika belum menjadi kebiasaan akan terasa berat. Apalagi di tengah melonjaknya harga kebutuhan. Dianggap wajar jika suatu keluarga mengutamakan pemenuhan kebutuhannya dan tidak ada anggaran khusus untuk infak sunnah dengan alasan skala prioritas. Namun, akan berbeda, jika budaya infak sudah menjadi komitmen keluarga. Tentu kita akan tetap berinfak dalam keadaan apapun, sekalipun dalam jumlah yang tidak besar, yang penting terjaga keberlangsungannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR al-Bukhari).
Keluarga juga harus dipahamkan bahwa berinfak tidak akan mengurangi harta dan tidak akan menambah kesulitan hidup. Infak justru akan membuka pintu rezeki dan keberkahan. Demikian sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya): Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahatahu (TQS al-Baqarah [2]: 261).
Banyak teknis untuk membudayakan infak sunnah ini. Di antaranya dengan menyediakan kotak khusus yang diletakkan di tempat tertentu dan diisi infak oleh semua anggota keluarga berdasarkan kemampuan masing-masing. Kotak ini diperuntukkan untuk membantu fakir-miskin atau untuk dikumpulkan di masjid. Bisa juga secara langsung berinfak ke kotak yang ada di masjid setiap selesai shalat tarawih.
Memberi Makan Orang Berbuka Puasa
Sekarang kegiatan buka puasa bersama biasa dilakukan sekalipun di tengah pengetatan anggaran. Ada anggapan bahwa buka bersama ini harus di tempat yang berbeda dan dengan menu makanan yang istimewa. Jika anggapan ini diikuti, akan membuat anggaran pengeluaran membengkak. Menyediakan makanan untuk yang berbuka puasa memang sangat dianjurkan dan akan berlimpah pahala. Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa memberi makan orang yang (berbuka) puasa, maka bagi dia pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR at-Tirmidzi).
Salah satu pengamalan hadis tersebut bisa dilakukan dengan menyelenggarakan buka puasa bersama. Namun, apakah itu harus dilakukan dengan menu dan tempat khusus sehingga berbiaya mahal? Tentu tidak. Bisa juga dengan memasak sendiri, namun tidak kehilangan nilai kekeluargaan dan kesempatan untuk saling berbagi kebaikan.
Lebaran Memakai Baju Baru atau Baju Terbaik?
Lebaran identik dengan memakai baju baru. Jika kondisi keuangan keluarga sedang longgar, membelikan baju untuk anggota keluarga menjadi perkara yang tidak berat. Namun, akan dipikirkan berulang ketika kondisi sulit. Di sinilah pentingnya upaya memahamkan keluarga, terutama anak-anak, agar bahwa yang disunnahkan itu memakai baju terbaik sekalipun tidak baru. Terkait hal ini ada atsar yang diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali ra., “Rasulullah saw. telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan.” (HR al-Baihaqi dan al-Hakim).
Bisa juga disampaikan perkataan ulama, “Bukanlah hai raya (Id) itu bagi orang yang mengenakan (pakaian) baru. Sesungguhnya hari raya itu bagi orang yang ketaatannya bertambah. Setiap hari yang tiada maksiat di dalamnya itulah hari raya.”
Antara Silaturahmi dan Jalan-Jalan
Di tengah kesibukan masing-masing anggota keluarga, lebaran dan hari libur sering dijadikan kesempatan untuk menjalin kebersamaan keluarga dengan mudik ke kampung halaman atau sekadar santai di tempat wisata. Pilihan strategis harus diambil ketika sedang dalam pengetatan. Orangtua pun harus cerdas dan bijak dalam mengkomunikasikan pilihan apapun kepada anak-anak agar rencana berjalan lancar, nyaman dan penuh keberkahan. Orangtua penting membangun kesadaran anak tentang urgensi silaturahim dan kebaikan di baliknya. Rasulullah saw. bersabda, “Silaturahmi dapat menambah umur, sedangkan sedekah dengan sembunyi-sembunyi dapat meredam murka Allah.” (HR ath-Thabrani).
Silaturahim masih bisa tetap dijalin sekalipun secara fisik tidak bisa bertemu. Kemajuan teknologi pun bisa menjadi alternatif teknis, misalnya pertemuan via zoom atau dengan panggilan video. Refreshing dan healing pun masih bisa dilakukan sekalipun tetap di rumah, misal dengan melakukan permainan bersama, bercerita, memasak bersama, atau aktivitas bersama lainnya.
Menghindari Jebakan Utang
Berutang adalah perkara yang dibolehkan dalam Islam, bahkan bisa berpeluang mendapat pahala wajib ketika peminjam menunaikan kewajiban membayar utangnya. Namun yang penting diperhatikan, jangan sampai berutang ini menjadi jebakan yang menjerumuskan.
Dari Uqbah bin Amir ra., Rasulullah saw. bersabda, “Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.” Para Sahabat bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Itulah utang!” (HR Ahmad).
Jebakan utang bisa terjadi jika berutang tanpa pertimbangan tentang kadar kebutuhan dan kemampuan untuk mengembalikannya. Karena itu di tengah kesulitan keuangan, setiap keluarga tidak mengambil pinjaman kecuali untuk masalah yang urgen dan mendesak.
Penutup
Kesulitan keuangan jangan sampai melemahkan keyakinan kita. Juga tidak boleh menghilang peluang meraih pahala. Kita pun harus tetap berupaya agar kondisi keluarga Muslim tidak terus dalam krisis anggaran, yakni dengan mengganti sistem yang menyengsarakan dengan sistem Islam yang menyejahterakan.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dedeh Wahidah Achmad]





