Memilih
If you choose not to plant flower on your garden, then weeds will grow without encouragement or support.
++++
MEMILIH adalah aktivitas yang tak pernah berhenti. Selalu kita lakukan di sepanjang hidup kita. Mau makan apa. Mau tidur di mana, jam berapa. Mau berpakaian warna apa, potongan rambut seperti apa. Mau bekerja atau usaha apa. Mau beli apa. Mau liburan di mana, bersama siapa, dan lain-lainnya. Termasuk soal agama. Mau beragama atau tidak. Mau menjadi Muslim atau bukan. Jika menjadi Muslim, mau menjadi Muslim yang baik atau tidak; mau mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram; memperbanyak yang sunnah atau tidak; mau shalat atau tidak; shalat di mana dan lainnya. Semua adalah pilihan.
Begitu pula ketika kita berbicara tentang perubahan. Semua bergantung pada pilihan kita. Mau berubah seperti apa. Bahkan mau berubah atau tidak, itu juga merupakan pilihan. Namun, kata banyak orang, perubahan itu pasti akan selalu terjadi. Tak ada yang tetap di muka bumi ini, kecuali perubahan itu sendiri.
Ketika harus memilih, kita tentu memilih perubahan yang terarah (guided changing) ketimbang perubahan yang tidak terarah (un-guided changing). Mengapa? Jelas, agar perubahan itu membawa kebaikan. Seperti ungkapan di atas, jika kita tidak memilih menanam bunga, maka lahan taman kita pasti akan dipenuhi oleh rumput liar. Karena itu pilihlah perubahan yang terarah meski faktanya sangat banyak perubahan di sekeliling kita yang terjadi tanpa arahan kita.
Dari sisi besarnya pengaruh, perubahan yang paling banyak membawa pengaruh bagi kehidupan masyarakat adalah perubahan politik atau perubahan struktural. Perubahan ini akan memberi dampak langsung pada banyak aspek lain, ekonomi, sosial budaya dan lainnya. Perubahan ini melibatkan bukan hanya perubahan orang atau subyek politik, tetapi juga institusi dan sistem politik bahkan ideologi politik. Inilah yang terjadi di Uni Sovyet di era Mikail Gorbachev yang membawa negara itu meninggalkan Komunisme, atau Cina di era Deng Xiao Ping yang membawa negara tirai bambu itu menuju liberalisme. Perubahan besar itu tak pelak menimbulkan perubahan kultural di tengah masyarakat. Di Uni Sovyet, juga Cina, rakyatnya sebelumnya hidup dalam sistem yang tertutup, kemudian harus berhadapan dengan dunia yang luas, termasuk berhadapan dengan nilai-nilai baru yang sama sekali berbeda dengan nilai-nilai yang dianut sebelumnya, seperti soal kebebasan.
Secara faktual, ada dua macam jalan perubahan (politik) yang bisa dilakukan: sebutlah yang pertama jalan konstitusional formal, dan kedua, jalan konstitusional non formal. Jalan yang pertama adalah perubahan politik yang dilakukan melalui prosedur formal yang telah ditetapkan oleh konstitusi, yakni melalui Pemilu lima tahunan. Adapun jalan konstitusional informal adalah perubahan yang dilakukan melalui prosedur informal, sebuah jalan perubahan yang tak lazim, tetapi diakui secara konstitusional. Contohnya seperti yang terjadi di ujung kekuasaan Orde Baru. Ketika itu, Maret 1998, Pak Harto yang baru saja terpilih menjadi presiden untuk ke sekian kalinya, tiga bulan kemudian didorong untuk mengundurkan diri. Pengunduran diri diterima, lalu BJ Habibie menjadi penggantinya.
Dalam perubahan konstitusional formal dihasilan perubahan subyek atau figur-figur politik, perubahan fungsi institusi politik dan mungkin juga terjadi perubahan pranata politik. Adapun dalam perubahan konstitusional non-formal, selain dihasilkan perubahan subyek politik dan perubahan institusi politik, juga akan dihasilkan perubahan pranata dan sistem bahkan ideologi politik.
Seberapa tinggi level perubahan struktural yang diinginkan akan mempengaruhi pilihan jalan yang akan ditempuh. Makin tinggi level perubahan yang diinginkan, maka jalan yang ditempuh makin jauh dari prosedur formal konstitusional, karena jalan ini tidak menyediakan alternatif ke arah sana. Karena itu satu hal terpenting ketika kita berbicara tentang perubahan adalah memastikan seberapa jauh perubahan yang diinginkan itu. Dengan kata lain, unsur-unsur politik mana saja yang dikehendaki berubah, lalu atas dasar itu, pilihlah jalan yang tepat yang akan menghantarkan pada tujuan itu.
Dalam Pemilu, yang merupakan media utama bagi terjadinya perubahan jalan konstitusional formal, partai politik berkonstatasi untuk memperebutkan dukungan suara rakyat. Mereka tahu persis, siapa yang mendapat suara terbanyak itulah yang bakal berhak mendapatkan kekuasaan politik meski dalam faktanya tidaklah selalu seperti itu. Karena itu segala cara untuk mendapatkan suara pemilih harus dilakukan. Untuk itu diperlukan biaya sangat besar.
Di sinilah peran para bandar atau oligarki pemilik modal besar sangat menentukan. Bukan lagi rahasia, mereka itulah yang membiayai para calon. Tentu dengan berbagai janji kompensasi nanti jika kekuasaan sudah didapat. Bisa berupa alokasi dana proyek, keistimewaan perijinan, bahkan bisa juga regulasi yang akan dibuat demi kepentingan mereka. Akibatnya, mereka yang telah terpilih dari hasil Pemilu yang diidealkan akan memperjuangkan aspirasi rakyat, pada faktanya justru banyak melakukan hal yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Contoh paling nyata adalah perubahan UU Minerba 2009 yang sejatinya sudah sangat pro rakyat menjadi UU Minerba 2020 yang sangat menguntungkan oligarki pengusaha batubara.
Nyata sekali, kendali oligarki telah mencengkeram semua sendi. Dengan kekuatan modalnya, oligarki bisa mempengaruhi partai politik, bahkan juga KPU, Bawaslu, tokoh Ormas, aparat keamanan, birokrasi, media massa, lembaga survai dan para buzzer untuk bekerja demi kepentingan dirinya.
Jadi, bisakah jalan konstitusional formal dalam Pemilu itu benar-benar mewujudkan aspirasi rakyat di tengah makin besarnya kekuatan oligarki? Bisakah jalan ini menghantarkan naiknya figur aspiratif rakyat atau umat. Pertanyaan lebih jauh: Bisakah jalan ini menghantarkan lahirnya perubahan sistem islami?
Fakta telah menjawab. Mestinya semua itu bisa membawa kita menengok jalan perubahan kedua: konstitusional non-formal. Kita tahu, rakyat dan penguasa yang bekerja berdasar mabda’ (ideologi dan sistem) tertentu selamanya akan memiliki ‘alaqat atau hubungan sepanjang ada kesamaan 2MQ (mafaahim, maqaayis, qanaa’at) atau pemahamah-pemahaman tentang berbagai hal pokok dalam masyarakat, tolok ukur-tolok ukur dan rasa puas hati antar keduanya. Ketika rakyat memahami 2MQ Islam, terungkapnya keburukan 2MQ sekuler dan kezaliman serta pengkhianatan penguasa, maka hubungan itu akan putus, lalu kepercayaan (tsiqah) rakyat itu beralih kepada para pejuang. Jika keadaan ini dikuatkan oleh pertolongan pemegang kekuatan dan kekuasaan (ahlun-nusrah), perubahan ke arah Islam berupa terwujudnya kehidupan Islam bisa terjadi.
Tentang thalabun-nusrah (menggalang pertolongan), Ibnu Saad dalam At-Thabaqaat, sebagaimana ditulis oleh Ahmad al-Mahmud dalam kitab Ad-Da’wah ilaa al-Islaam, menyebut ada 15 kabilah. Di antaranya kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb, Bakar bin Wail dan Hamdan. Mereka semuanya didatangi oleh Rasulullah saw. untuk thalabun-nushrah. Rasulullah mengajak mereka beriman dan memberikan nushrah guna memberikan kekuasaan demi tegaknya agama Allah.
Meski berulang ditolak, Rasulullah saw. tidak mengubah langkah ini. Ini adalah qariinah jaazim (tegas) bahwa thalabun-nushrah yang dilakukan Rasulullah saw. adalah kewajiban syar’i, perintah dari Allah SWT. Bukan inisiatif Rasulullah saw. sendiri atau sekadar tuntutan keadaan.
Akhirnya, Rasulullah saw. berhasil mendapatkan nushrah dari kaum Anshar pada tahun ke-12 kenabian. Mereka menyerahkan kekuasaan di Madinah kepada Rasulullah.
++++
Jadi, jelaslah harapan bagi terjadinya perubahan besar itu masih ada. Semua berpulang pada para tokoh pemegang simpul umat. Apakah mereka mau terus meningkatkan kesadaran politik umat dengan cara menanamkan 2MQ Islam di tengah umat dan menggerakkan umat menuntut perubahan ke arah Islam.
Selamanya, jalan konstitusional formal tidaklah akan bisa menghantarkan perubahan hingga pada perubahan pranata dan sistem politik, apalagi perubahan ideologi politik, karena memang sejak awal tidak dirancang untuk hal itu. Ditambah pengaruh luar negeri/Barat, cita-cita itu makin sulit tercapai, seperti yang terlihat di Aljazair dan Mesir. FIS pernah menang Pemilu di Aljazair. Namun, akibat campur tangan negara-negara Barat, hasil Pemilu itu dibatalkan. Lalu FIS malah dinyatakan terlarang. Begitu juga di Mesir. Muhammad Mursi yang menjadi presiden Mesir hasil Pemilu tumbang setelah dikudeta oleh militer dengan dukungan Barat.
Jika dalam perubahan dikehendaki menghasilkan kebaikan di dunia dan juga di akhirat, maka haruslah perubahan ke arah Islam. Perubahan ke arah Islam hanya mungkin dicapai melalui jalan yang telah ditetapkan oleh Islam. Oleh karena itu, penting untuk selalu menetapkan level capaian perubahan tertinggi menurut Islam, yakni terwujudnya kehidupan islami yang di dalamnya diterapkan syariah secara kaaffah sehingga kerahmatan Islam bisa dirasakan secara nyata. Lalu, lakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk tercapainya perubahan itu: tekuni, ikhlasi, sabari; karena semua memerlukan proses dan waktu. Disertai doa, ikhtiar perjuangan itu, cepat atau lambat, akan mencapai hasil meski mungkin bukan di era kita saat ini. Insya Allah.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [H. M. Ismail Yusanto]