Tak Mungkin Sekuler
أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ٨٥
Apakah kalian mengimani sebagian Kitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat dia dikembalikan pada azab yang paling berat. Allah tidak lengah terhadap apa yang kalian kerjakan (QS al-Baqarah [2]: 85)
++++
Ayat di atas turun berkenaan dengan perilaku orang Yahudi, suku Aus dan Khazraj dan para sekutunya dari kalangan Bani Qainuqa, Bani Nadir dan Bani Quraidhah. Saat itu mereka bertikai tanpa mengindahkan ajaran Taurat. Namun, ketika sampai pada soal tawaran perang, mereka meminta sesuai dengan ketentuan Taurat.
Berkaitan dengan ayat di atas berlaku kaidah al-ibrah bi umuumi al-lafdzi laa bi khususi as-sabab (ibrah suatu nas itu diambil dari keumuman redaksi [ungkapan]-nya, bukan dari kekhususan sebab [latar belakang])-nya. Artinya, ayat tersebut sesungguhnya merupakan peringatan dari Allah yang berlaku pula untuk seorang Muslim: mengimani sebagian isi al-Quran mengingkari sebagian lainnya. Perilaku seperti itu dikenal dengan istilah sekuler.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sekularisme adalah paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Definisi lebih operasional dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Muhammad Ghazali dalam Kitab Jaahiliyyah fii ‘Isr al-Qurun, sekularisme (ilmaniyah) diartikan sebagai iqaamah al-hayaah ‘ala asas[in] ghayru min ad-diini (membangun struktur kehidupan, mengatur masyarakat dan negara, di atas landasan selain Islam).
Sekularisme sesungguhnya lahir dalam masyarakat Kristen Barat. Menurut Adian Husaini (Mengapa Barat Menjadi Sekular – Liberal), sekularisme dipicu oleh tiga faktor utama, yakni: Pertama, problem teks Bible, Kedua, problem teologis Kristen, Ketiga, problem trauma rejim agama (religious regim). Karena itu, sekularisme sejak awal bercorak local. Tidak universal. Karena itu sekualrisme tak bisa dianggap berlaku bagi dunia lain. Apalagi di Dunia Islam.
Problem teks Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) timbul karena Bible bermasalah dari segi orisinalitasnya. Majalah Times edisi 30 Desember 1974 memuat artikel How True is The Bible yang menyatakan, dalam Bible ada 50.000 kesalahan. Hingga sekarang artikel ini tak ada yang membantah. Gugatan terhadap orisinalitas Bible paling hebat dilakukan oleh buku The Five Gospels. Buku ini merupakan kumpulan hasil riset 76 ahli teologi Kristen tentang otentitas Bible. Di dalamnya disimpulkan bahwa 82% ayat dalam Bible tidak sampai kepada Yesus.
Problem orisinalitas Bible membawa implikasi pada problem teologis terkait doktrin trinitas dan respon terhadap perkembangan sains. Doktrin trinitas itu sendiri diputuskan dalam Konsili Nicea tahun 325 M pada saat Romawi di bawah Kaisar Konstantine, jauh setelah Yesus meninggal pada 30M. Saking bermasalahnya doktrin itu, hingga Thomas Aquinas, pemikir Kristen abad ke-13, mengatakan, “It is no way possible to demonstratively proven by reason (Tidak ada cara yang memungkinkan untuk membuktikannya dengan akal).”
Terkait sains, Bible juga bermasalah. Misalnya, menurut ajaran gereja, bumi itu adalah pusat tatasurya (geosentris). Berbagai benda langit dianggap mengelilingi bumi. Bumi itu diam. Tidak bergerak. Dalam Mazmur Pasal 93 ayat 1 dikatakan: Yea, the world is established, it shall never be moved. Keyakinan ini jelas bertabrakan dengan fakta sains bahwa bumi tidaklah diam, tetapi bergerak. Juga bukan bumi, tetapi mataharilah yang menjadi pusat tatasurya (heliosentris). Ini seperti yang dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei.
Problem trauma rejim agama terjadi akibat lanjutan problem teologi Kristen. Ajaran Kristen yang absurd itu diterapkan dalam pemerintahan berlandaskan agama (religious regime) di Eropa sepanjang Abad Pertengahan. Terjadilah malapetaka yang sangat mengerikan, seperti pembantaian jutaan orang lewat inquisisi terhadap orang yang dianggap heresy (keluar dari doktrin resmi gereja), pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (ex-communication), penjualan surat pengampunan dosa (afflatbriefen) dan lainnya. Orang Prancis pasti tak bisa melupakan pembantaian kaum Protestan oleh kaum Katolik di Paris tahun 1527, yang dikenal dengan The St. Bartholomew’s Day Massacre. Hanya dalam satu malam, sekitar 10.000 kaum Protestan mati disembelih kaum Katolik. Akibatnya, selama berminggu-minggu, jalan-jalan di Paris berlumuran darah, dipenuhi ratusan ton mayat kaum Protestan yang membusuk.
Ketika religious regim terbukti menimbulkan malapetaka dahsyat, ditambah dengan adanya problem teks Bible, problem teologi dan sains, akhirnya Barat menyerukan sekularisme: pemisahan agama dari negara. Lalu Friedrich Gogarten (w. 1967), seorang teolog Protestan Jerman, menyimpulkan,”[Secularization] is a legitimate consequence of the Christian faith.” (Sekularisasi adalah konsekuensi yang sah dari keimanan Kristen).
Sekularisme adalah kompromi (jalan tengah) pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk pada mereka—dengan mengatasnamakan agama—dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Agama masih diakui. Namun, ketika agama harus dipisahkan dari kehidupan, maka pengakuan itu hanya sekadar formalitas belaka. Pasalnya, mereka memang mengakui eksistensi agama. Namun, mereka menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada hubungannya—dan tidak boleh diatur—dengan agama.
Ide sekularisme lalu disebarluaskan oleh dunia Barat ke seluruh dunia, termasuk ke negeri-negeri Islam. Banyak Muslim yang terpengaruh. Mereka kemudian menjadi sekuler dan membuat Islam menjadi agama ritual yang bersifat individualistik. Syariah dicampakkan. Gantinya, di negeri Muslim berkembang aturan-aturan yang tidak bersumber dari syariah, seperti kapitalisme di bidang ekonomi, demokrasi–machiavelistik di bidang politik, sinkretisme–pluralisme di bidang agama, hedonisme- westernisme di bidang budaya dan materialisme di bidang pendidikan. Padahal agama Islam sama sekali tidak memiliki persoalan sebagaimana yang dialami oleh agama Kristen. Maka dari itu, dalam sistem kehidupan sekuler, meski mayoritas Muslim, kehidupan masyarakat dalam aspek-aspek itu tidak ada bedanya dengan masyarakat non-Muslim.
Akibatnya sangat mengerikan. Umat kini hidup dalam kenistaan secara ekonomi, politik, sosial budaya dan aspek lainnya. Lihatlah yang terjadi di negeri ini. Juga di Palestina, Rohingya, Xinjiang dan di negeri-negeri Muslim lainnya saat ini. Di Gaza, Palestina, sekadar membuka pintu Rafah agar bantuan yang amat diperlukan warga Gaza bisa masuk pun kita tak mampu. Hina sekali umat ini. Ini baru di Dunia. Belum lagi di Akhirat. Benarlah firman Allah SWT (yang artinya): Tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada azab yang paling berat (QS al-Baqarah [2]: 85).
++++
Benarlah, sekularisme memang bersifat local. Tidak universal. Juga tak bisa dianggap berlaku di Dunia Islam. Faktor-faktor pendorong sekularisme itu khas problem Dunia Kristen Barat. Islam sama sekali tidak pernah mempunyai atau mengalami faktor-faktor seperti yang dialami Barat.
Teks al-Quran tidak pernah mengalami nasib sedemikian tragis dan mengenaskan seperti teks Bible. Teks al-Quran yang kita baca saat ini adalah asli. Betul-betul sama dengan yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw. Allah SWT telah menjaga keaslian al-Quran.
Aqidah Islam juga sangatlah jelas. Tak pernah mengalami perubahan sejak 1400 tahun lalu hingga sekarang. Teologi Islam menyatakan Allah itu satu. Ini berbeda dengan teologi Kristen yang masih memperdebatkan apakah tuhan itu satu atau tiga dalam Konsili Nicea tahun 325.
Khilafah Islam pun sepanjang sejarahnya selama 13 abad tidak pernah melakukan satu pun kezaliman yang kejamnya mendekati (apalagi melampaui) kekejaman luar biasa dari rejim-rejim agama Kristen pada Abad Pertengahan. Yang banyak tercatat justru kemampuan Khilafah melindungi warganya, termasuk non-Muslim sebagaimana terjadi di Andalusia, Mesir atau Istanbul dan berbagai tempat lain.
Dalam Islam, tidak ada pemisahan satu aturan dengan aturan lain hanya karena keduanya berbeda aspek kehidupannya. Seluruh aturan Islam merupakan satu kesatuan yang utuh, saling melengkapi dan selaras satu sama lain. Dengan itu dihasilkan suatu sistem yang padu, yang jika diterapkan akan menghasilkan kebaikan bagi seluruh anggota masyarakat, Muslim dan non-Muslim. Demikian sebagaimana terbukti dalam sejarah yang demikian panjang.
Alhasil, mestinya seorang Muslim tak mungkin sekuler. [H.M. Ismail Yusanto, M.M.]