Catatan Dakwah

“Tawazunisasi”

Apa saja yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat, anak yatim, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. Apa saja yang Rasul perintahkan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS al-Hasyr []: 7).

++++

Kesenjangan kaya miskin (wealth-gap) di Dunia saat ini sudah amat sangat parah. Dalam laporan berjudul “Time to Care” pada pertemuan rutin tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos beberapa tahun lalu, Oxfam menunjukkan betapa gap atau kesenjangan kaya dan miskin itu memang sangat mengkhawatirkan. Ada beberapa indikator. Pertama, jumlah kekayaan 2.153 miliuner dunia ternyata melebihi kekayaan 4,6 miliar orang di dunia. Ketika jumlah penduduk dunia diperkirakan 7,8 miliar, itu artinya ada sangat sedikit orang, kurang lebih  0,00003%, yang jauh lebih kaya dibanding hampir 60% orang di dunia.

Kedua,  jika kekayaan 22 orang terkaya di dunia digabungkan ternyata jumlahnya masih lebih banyak daripada kekayaan seluruh  wanita di Benua Afrika. Kekayaan 22 orang itu, menurut Forbes, mencapai US$ 1,28 triliun atau setara dengan Rp 17.930 triliun. Angka tersebut bahkan lebih besar dari output perekonomian Indonesia.

Ketiga, jika ada orang yang mulai menabung US$ 10.000 perhari (Rp 160 juta-an) sejak zaman piramida dibangun hingga sekarang, maka jumlah kekayaan orang itu saat ini hanyalah seperlima dari rata-rata kekayaan lima orang paling tajir di dunia. Padahal piramid Mesir dibangun sejak ribuan tahun yang lalu.

Keempat, 1% orang terkaya di dunia memiliki kekayaan dua kali lipat dibandingkan dengan 6,9 miliar orang di dunia. Artinya, ada sekitar 78 juta orang di dunia, jika dikumpulkan kekayaannya maka jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dari total kekayaan hampir 88% penduduk bumi.

Data World Population Review menunjukkan ada 68 negara, di antaranya Singapura, Hong Kong, termasuk Indonesia, yang memiliki angka ketimpangan lebih tinggi dari rata-rata ketimpangan di 145 negara lainnya. Menurut World Inequality Report 2022, selama periode 2001-2021 sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth). Sebesar 10% penduduk lainnya memiliki sekitar 60% kekayaan rumah tangga nasional sepanjang periode sama. Kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth) didefinisikan sebagai jumlah seluruh aset finansial (termasuk saham dan surat berharga lainnya) serta aset nonfinansial (seperti rumah) yang dimiliki rumah tangga Indonesia.

Laporan itu juga mencatat, pada 2021 rasio kesenjangan pendapatan di Indonesia berada di level 1 banding 19. Artinya, populasi dari kelas ekonomi teratas memiliki rata-rata pendapatan 19 kali lipat lebih tinggi dari populasi kelas ekonomi terbawah. Rasio itu lebih besar dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki kesenjangan pendapatan sekitar 1 banding 17, ataupun Rusia, Tiongkok, Korea Selatan dan Nigeria yang rasio kesenjangannya 1 banding 14.

Data BPS menujukkan kesenjangan memang terus meningkat. Lihatlah, di tahun 1964, gini rasio nasional ketika itu di angka 0,35. Setelah lebih 50 tahun berlalu, angka itu bukan turun, malah naik menjadi 0,41 di tahun 2013. Kenyataan itulah yang menempatkan Indonesia di urutan nomer 4 sebagai negara terparah kesenjangannya setelah Rusia, India dan Thailand. Belakangan ini ketimpangan tersebut makin buruk. Hal itu terkonfirmasi dari data Tabungan publik. Menurut LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), hingga November 2023, jumlah rekening yang ada di seluruh Indonesia mencapai 554.606.241. Dari jumlah tersebut, rekening yang memiliki nominal di bawah Rp 100 juta mencapai 547 juta  atau setara 98,8% dari rekening yang ada. Meski  mayoritas dalam hal jumlah rekening, isi rekening total hanyalah sebanyak Rp 1.021 triliun atau 12,3% dari seluruh tabungan yang nominalnya mencapai Rp 8.247 triliun.

Keadaan itu berbanding terbalik dengan kelompok yang memiliki tabungan berisi Rp 5 miliar ke atas. Jumlah rekening dengan nominal tebal itu hanya berjumlah 135 ribu, namun isi tabungannya mencapai Rp 4.369 triliun atau mencakup 52,8% dari seluruh tabungan orang Indonesia. Hal ini menunjukkan piramida kesenjangan sosial di Indonesia sangatlah tajam. Data rekening bank sebenarnya adalah muara dari ketimpangan kepemilikan aset, termasuk penguasaan lahan dan pengeluaran orang Indonesia yang semakin melebar.

Data kepemilikan lahan juga menunjukkan kesenjangan luar biasa. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebagian besar lahan di Indonesia dikelola oleh korporasi. Tak kurang dari 68 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh hanya 1 persen kelompok pengusaha besar. Dalam laporan Indonesia Tanah Air Siapa yang dirilis Agustus 2022 disebutkan dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan Pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat, sedangkan 94,8 persen bagi korporasi. Di Kalimantan, misalnya, Walhi mencatat lahan yang dikelola korporasi di sana mencapai 24,73 juta ha, sedangkan yang dikelola rakyat hanya 1,07 juta ha. Ada setidaknya 14 grup perusahaan yang menguasai lahan lintas sektor di Indonesia. Total luas lahan yang mereka kuasai mencapai sekitar 9,8 juta hektare. Korporasi teratas penguasa lahan lintas sektor di Indonesia yakni Sinarmas Group yang menguasai 3 juta hektare.

Sementara itu, ada lebih dari 16 juta rumah tangga petani bergantung hidup pada lahan yang rata-rata hanya di bawah setengah hektar. Bahkan ada 14 juta (buruh) tani yang tak memililki lahan satu meter persegi pun. Sudah begitu, lahan yang diserahkan kepada korporasi dikelola secara serampangan. Akibatnya, potensi kerugian negara dari pengelolaan HGU melebihi batas izin mencapai Rp 380 triliun. Tak aneh jika dalam lima tahun terakhir ada sebanyak 2.288 konflik agraria terjadi. Sebanyak 1.437 orang dikriminalisasi. Sebanyak 776 orang dianiaya, 75 orang tertembak dan 66 orang tewas akibat konflik agraria.

++++

Dalam kesimpulannya, Oxfam menyatakan salah satu faktor terpenting yang menimbulkan kesejanjangan tadi adalah soal distribusi kekayaan yang tak merata. Oxfam dengan tegas menyatakan, kesenjangan antara kaya dan miskin tak dapat dihilangkan jika tidak sengaja dihilangkan. Masalahnya, bagaimana mau dihilangkan, sementara watak dasar Kapitalisme memang eksploitatif, selalu berpihak kepada pemilik modal. Kesenjangan adalah buah langsung  dari sistem itu. Terjadi dari awal dulu, sekarang, sampai nanti.

Di titik inilah kita bisa memahami mengapa dulu Baginda Rasulullah hanya membagi harta fa’i Bani Nadzir kepada orang-orang Muhajirin yang umumnya miskin karena saat hijrah tidak membawa harta bendanya. Adapun orang-orang  Anshar, yang umumnya sudah berkecukupan, tidak diberi bagian serupa. Hal itu dilakukan supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Demikian seperti tersebut dalam QS al-Hasyr ayat 7 di atas.

Inilah proses “tawazunisasi” atau penyeimbangan distribusi kekayaan, yang jika perlu harus dilakukan secara imperatif. Islam percaya bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan dengan benar, sesuai syariah, akan mendistribusikan kekayaan dengan sebaik-baiknya. Namun, jika hal itu tidak terjadi oleh karena berbagai sebab, baik yang datang dari diri manusia seperti kecacatan fisik sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan ekonomi sebagaimana orang normal, atau faktor alam seperti kegagalan panen, banjir, gempa bumi dan sebagainya, atau karena faktor peristiwa besar yang merusak seperti perang atau dalam hal kaum Muhajirin adalah hijrah, maka Negara harus mengambil tindakan. Terus membiarkan mengandalkan distribusi ekonomi, adalah langkah yang tak bijak, karena pasti akan ada orang yang tertinggal secara ekonomi, sehingga timbullah kesenjangan itu.

Dalam sistem Kapitalisme, Negara yang memang sudah dikangkangi oleh persekutuan jahat Peng-Peng (pengusaha dan penguasa), alih-alih melakukan proses “tawazunisasi”, yang dilakukan justru melakukan serangkaian kebijakan yang membuat distribusi kekayaan itu makin buruk, seperti pemberian konsesi lahan untuk perkebunan atau tambang kepada korporasi. Secara pasti, hal ini bukan mengurangi kesenjangan, malah sebaliknya makin memperparah kesenjangan. Itulah yang ini hari terjadi.

Alhasil, hijrah dari sistem buruk seperti ini menuju keberkahan Islam itu a must. [H. M. Ismail Yusanto, M. M.]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ten − 9 =

Check Also
Close
Back to top button