Nisa

Judi Menghancurkan Keluarga

Korban judi online terus berjatuhan. Masalah turunannya malah lebih mengerikan.  Keluarga pun terus dalam bayangan ancaman yang ditimbulkannya.

Aktivitas maksiat ini terus menyasar seluruh anggota keluarga, tidak mengecualikan anak-anak, yang semestinya tumbuh dalam suasana kondusif membina keimanannya serta menjaga mereka tetap dalam ketaatan sesuai dengan fitrahnya sebagai hamba Allah.  Antaranews melaporkan bahwa saat ini ada lebih dari setengah juta anak Indonesia yang bermain judi online, terdiri dari sekitar 80 ribu anak usia 10 tahun ke bawah dan sekitar 440 ribu anak usia 10-20 tahun.  Bagaimana masa depan mereka?

Waktu yang semestinya mereka gunakan untuk menimba ilmu, menempa diri menjadi pribadi mumpuni, habis sia-sia dalam permainan judi. Pengaruhnya pun sangat merusak. Mereka menjadi anti sosial dan kurang senang bergaul dengan teman. Bahkan dengan keluarganya pun sangat jarang berinteraksi. Mereka lebih betah dengan gadgetnya.  Boleh jadi perkembangan fisiknya pun terganggu karena minim bergerak, Kekalahan dalam permainan judi akan membuat mereka lebih sensitif dan temperamental.  Sebaliknya, pengalaman menang dalam judi bisa melahirkan sikap ingin mendapatkan keberhasilan dengan upaya minimal. Mereka pun malas untuk bersusah-susah dalam hidup.  Pada anak-anak sudah kecanduan, bisa memicu prilaku criminal. Seperti yang dilaporkan oleh www.humas .polri.go.id, pada bulan Februari 2024, seorang remaja mencuri toko dan uangnya digunakan untuk membeli slot judi.

Dampak judi juga mengancam keutuhan keluarga, mulai terjadinya konflik antara suami dan istri, KDRT, sampai kasus perceraian yang terus meningkat. Katadata.co.id menyampai-kan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian akibat judi di negeri ini  meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2023, tercatat ada 1.572 kasus pasangan yang cerai karena alasan judi.

 

Mengapa Judi Online Terus Marak?

Keharaman judi mestinya sudah menjadi perkara yang gamblang bagi seorang Muslim. Banyak nas yang menjelaskan keharamannya. Lihat, misalnya, QS al-Maidah ayat 90-91.

Muncul pertanyaan: Mengapa perbuatan maksiat itu terus terjadi di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim?  Apakah para pelaku judi ini tidak mengetahui bahaya dan kerusakan yang akan menimpa mereka jika terus melakukan judi?  Jawaban pertanyaan tersebut penting untuk merumuskan langkah apa yang harus dilakukan untuk menghentikan kerusakan yang ditimbulkan oleh judi online ini.

 

Pilar Penegak Syariah Lemah, Maksiat Merajalela

Maksiat adalah perbuatan melanggar aturan syariah. Lawan dari ketaatan.  Boleh jadi para pelakunya sudah mengetahui ketentuan yang sudah ditetapkan. Namun, mereka lebih memilih untuk melakukan yang bertentangan, yang diharamkan Allah SWT dilakukan. Sebaliknya, perkara wajib justru mereka tinggalkan.

Ada tiga pilar yang akan menentukan pelaksanaan ketaatan pada syariah.  Jika tiga tonggak ini ada dan kuat maka syariah akan terlaksana secara sempurna.  Sebaliknya, penerapannya menjadi berat manakala pilar-pilar ini lemah apalagi lenyap.

Tiga pilar tersebut berupa: Pertama, ketakwaan individu.  Ketakwaan dibangun atas dasar keimanan.  Iman yang kuat akan melahirkan rasa takut untuk melakukan pelanggaran terhadap syariah.  Orang bertakwa bukanlah manusia yang tidak pernah salah.  Namun, dia adalah orang yang segera bertobat ketika melakukan kesalahan. Dia betul-betul menyesal dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan.

Berbeda dengan pelaku judi online. Kebanyakan bukanlah pemula.  Tidak sedikit di antara mereka yang sudah pada level kecanduan. Begitulah realitas judi. Bagi pemenang akan membuat dirinya terus melakukan judi. Mereka yang gagal akan penasaran dan juga terus melakukan judi dengan harapan suatu saat akan berhasil.  Tidak ada rasa kapok dan penyesalan pada mereka.

Orang bertakwa senantiasa mengkaitkan antara perbuatan dengan konsekuensinya. Ketika mereka memahami bahwa judi adalah perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT, mereka pun menyadari bahwa azab-Nya menjadi balasannya (Lihat, misalnya, QS an-Nisa’ [9]: 14).

Kelemahan iman inilah yang membuat para pelaku judi terus melakukan kemaksiatannya.  Mereka bergeming dengan bahaya di dunia. Apalagi sanksi di akhirat. Terlintas pun mungkin tidak.  Pemisahan agama dalam kehidupan telah mengikis keimanan.  Ini yang menjadikan seseorang kering tak berbekas.  Keyakinannya  tidak berpengaruh pada ketaatan.

Kedua, kepedulian masyarakat untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.  Allah SWT memberikan gelar khayru ummah kepada umat Islam (QS Ali-Imran [3]: 110).  Mereka memiliki ciri yang menjadi identitasnya.  Merekalah orang-orang yang senantiasa menyeru manusia ke jalan Islam serta mengajak pada kebaikan dan mencegah kemunkaran yang merebak di tengah masyarakat.  Gelar tersebut sekarang hampir hilang. Budaya amar makruf nahi mungkar bukan aktivitas yang menjadi pilihan.  Perilaku individualistik dan serba bebas justru menjadi panutan.  Masyarakat menjadi abai dan tidak peka terhadap maksiat yang merajalela.  Bahaya dan kerusakan judi tidak dianggap sebagai ancaman ketika tidak menimpa mereka. Apalagi jika mereka justru mendapatkan keuntungan ‘semu’ dari aktivitas judi.

Kondisi ini berbeda dengan masyarakat Muslim. Mereka akan terus melakukan amar makruf nahi mungkar. Apapun risikonya.  Masyarat seperti ini  memahami hadis yang diriwayatkan dari Umi Salamah ra. yang pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Jika maksiat telah melanda umatku secara merata, pasti Allah akan meratakan azab kepada mereka.” Saya (Umi Salamah ra.) bertanya, “Ya Rasulullah, tidakkah di antara mereka saat itu masih ada orang-orang yang baik?” Rasul menjawab, “Ya.” Saya (Ummu Salamah ra.) bertanya lagi, “Apa yang mereka lakukan?” Rasulullah menjawab, “Azab itu menimpa kepada mereka sebagaimana yang menimpa manusia (pada umumnya), tetapi (di akhirat nanti orang yang baik yang tidak ikut maksiat) akan mendapat maghfirah dan ridha dari Allah.” (HR Ahmad dan ath-Thabarani).

Mereka tidak akan membiarkan kemaksiatan terus dilakukan. Termasuk tidak akan diam jika judi masih ada dalam kehidupan.

Ketiga, negara sebagai pelaksana syariah dan penerap hukum.  Ketika negara hadir untuk menerapkan syariah secara kaaffah, negara ada untuk menjaga rakyatnya, maka rakyat akan aman dari berbagai ancaman.  Maraknya judi online disinyalir terkait dengan masalah kemiskinan dan kesulitan ekonomi lainnya.  Namun, jika dirunut lebih jauh, sebenarnya berpangkal pada kegagalan negara dalam memberikan kebaikan pada rakyatnya. Negara gagal memberikan pendidikan yang baik yang melahirkan individu bertakwa. Negara gagal menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara pun gagal dalam menutup celah kerusakan yang mengancam, seperti informasi-informasi rusak dan situs judi yang terus bermunculan. Parahnya lagi, negara gagal memberikan sanksi tegas terhadap para pelaku maksiat.  Mereka masih bebas berkeliaran menyebarkan kerusakan. Semua kegagalan ini sebagai konsekuensi dari penerapan Kapitalisme-sekulerisme oleh negara.  Sistem ini telah memandulkan tiga pilar sehingga fungsinya menjadi hilang.

 

Mengembalikan Tiga Pilar

Buhul segala kerusakan adalah hilangnya pilar penegak syariah yang berpangkal dari ketidakhadiran negara yang menerapkan syariah secara kaaffah. Masalah bermula ketika Khilafah dihancurkan.  Padahal institusi inilah yang menjadi perisai umat, penjaga keamanan dan keselamatannya, serta pengatur semua kemaslahatannya.  Nabi saw. bersabda:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى الله عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَه بِذَلِكَ أَجْرٌ، وَإِنْ يَأْْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْه

Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Dibelakang dia orang-orang diperangi dan berlindung kepada dirinya. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka dengan itu dia akan mendapatkan pahala. Namun, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa (azab) karenanya (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Imam Abu Zahrah menjelaskan bahwa Imâmah dan Khilâfah, begitu juga Imâm dan Khalîfah, itu sama: “Semua mazhab politik berkisar tentang Khilâfah, yaitu Imâmah Kubrâ. Ia disebut Khilâfah, karena yang mengurus dan menjadi penguasa tertinggi bagi kaum Muslim  itu menggantikan Nabi saw. dalam mengurus urusan mereka…”

Jadi, yang dibutuhkan sekarang bukan hanya sekadar seruan untuk menghentikan judi online. Tidak cukup dengan sosialisasi bahaya judi online. Juga tidak efektif hanya dengan menutup situs judi online jika dilakukan setengah hati dan masih membuka celah kemunculan situs lain. Apalagi dengan mengucurkan bansos bagi keluarga pelaku judi online. Sungguh jauh panggang dari api.

Solusi hakiki adalah dengan menghadirkan kembali pilar penegak syariah.  Upaya ini dilakukan dengan proses penyadaran di tengah umat, memahamkan mereka tentang urgensi tiga pilar tersebut ada dalam kehidupan.  Kesadaran tersebut tidak mungkin terjadi kecuali dengan gerakan dakwah Islam kaaffah, menjelaskan Islam sebagai ideologi.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Dedeh Wahidah Achmad]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − fifteen =

Back to top button