Fikih

Apa Bedanya Nabi dengan Rasul?

Soal:

Dinyatakan di dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah (1/130), “Sayiduna Musa as. adalah nabi. Sebabnya, kepada dia diwahyukan Syariah. Ia juga seorang rasul. Sebabnya, syariah yang diwahyukan kepada dirinya adalah risalah miliknya. Adapun Sayiduna Harun adalah seorang nabi. Sebabnya, kepada dia diwahyukan Syariah. Namun, ia bukan seorang rasul. Sebabnya, syariah yang diwahyukan kepada dirinya untuk dia sampaikan kepada yang lain bukan risalah miliknya, melainkan adalah risalah milik Musa as.”

Pertanyaanya: Bagaimana kita mengaitkan pernyataan tersebut dengan ketetapan dalam al-Quran (yang artinya): Datanglah kalian berdua kepada dia (Fir’aun) dan katakanlah,  “Sungguh kami berdua adalah utusan Tuhanmu.” (TQS Thaha [20]: 47).

Dinyatakan juga (yang artinya): Lalu datanglah kalian berdua kepada Fir’aun dan katakanlah oleh kalian, “Sungguh Kami adalah rasul Tuhan semesta alam.” (TQS asy-Syu’ara` [26]: 16)?

 

Jawab:

Ada perbedaaan pendapat di antara para ulama dalam hal menetapkan perbedaan antara nabi dan rasul pada beberapa pendapat yang beragam. Kami menyebutkan sebagiannya.

Pertama: Nabi adalah orang yang kepada dia diwahyukan taklif dan tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Jika dia diperintahkan untuk menyampaikannya maka dia adalah rasul. Dinyatakan di dalam Fathu al-Bârî  (11/112) oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani

 

Lafal an-nubuwwah dan ar-risâlah berbeda dalam asal penetapan bahasa. An-Nubuwwah dari an-nabaa‘ yaitu al-khabar (informasi). Jadi, nabi dalam ‘urf adalah orang yang diberi informasi dari Allah dengan perintah yang mengharuskan taklif. Jika dia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada orang lain maka dia adalah rasul. Jika tidak maka dia nabi, bukan rasul. Atas dasar ini, setiap rasul adalah nabi dan tidak sebaliknya. Nabi dan rasul berserikat dalam perkara yang umum, yaitu an-nabaa‘ (informasi) dan berbeda dalam risalah…

 

Kedua: Rasul adalah orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu dan ada kitab bersama dirinya. Adapun nabi adalah orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu secara mutlak. Badruddin al-‘Ayni menyatakan di dalam Al-Binâyah Syarhu al-Hidâyah (1/116):

 

Perbedaan antara rasul dan nabi: rasul adalah orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu dan ada kitab Bersama dirinya. Adapun nabi adalah orang yang diutus untuk menyampaikan wahyu secara mutlak, baik disertai dengan kitab, atau tidak disertai dengan kitab seperti Yusya’ as. Jadi nabi itu lebih umum dari rasul. Demikian dikatakan oleh syaikh Qiwamuddin al-Ataraziy di dalam Syarh-nya. Beliau dalam hal itu mengikuti pengarang An-Nihâyah yang berkata, “Rasul adalah nabi yang ada kitab bersama dirinya, seperti Musa as. Adapun  nabi adalah orang yang diberi informasi dari Allah meski tidak ada kitab bersama dirinya, seperti Yusya’ as…

 

Ketiga: Rasul adalah orang yang  kepada dirinya diwahyukan syariah dan diperintahkan untuk dia sampaikan. Adapun nabi adalah orang yang kepada dirinya diwahyukan syariah rasul-rasul lainnya dan diperintahkan untuk dia sampaikan. Jadi rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariah dirinya sendiri, sementara nabi adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariah orang lain. Ini adalah pendapat yang kami pilih dan telah kami jelaskan di dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah (1/35-38) file word:

 

Nabi dan rasul adalah dua lafal yang berbeda, tetapi keduanya bertemu pada pewahyuan syariah kepada keduanya. Perbedaan di antara keduanya: rasul adalah orang yang kepada dia diwahyukan syariah dan diperintahkan untuk dia sampaikan. Adapun nabi adalah orang yang kepada dia diwahyukan syariah rasul selain dia dan diperintahkan untuk dia sampaikan. Jadi rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariah dirinya sendiri, sedangkan nabi adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syariah orang lain….

Rasul adalah orang yang Allah utus dengan syariah baru yang diserukan kepada manusia. Adapun nabi adalah orang yang Allah utus untuk meneguhkan syariah sebelumnya.

Jadi Sayiduna Musa adalah seorang nabi sebab kepada dia diwahyukan Syariah. Dia pun sekaligus seorang rasul sebab syariah yang diwahyukan kepada dia adalah risalah miliknya. Adapun Sayiduna Harun adalah seorang nabi sebab kepada dia diwahyukan syariah, tetapi ia bukan seorang rasul sebab syariah yang diwahyukan kepada dia untuk disampaikan kepada orang lain bukanlah risalah miliknya, melainkan risalah milik Musa. Sayiduna Muhammad adalah seorang nabi sebab kepada beliau diwahyukan Syariah. Beliau sekaligus seorang rasul sebab syariah yang diwahyukan kepada beliau adalah risalah milik beliau…

 

Pendapat ini adalah yang lebih dalam dan lebih tepat (shawâb). Hadis-hadis Nabi saw. pun menjelaskan realita dan perbedaan antara nabi dan rasul.

Kedua: Realita Sayiduna Harun as. Sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam teks kutipan di atas dari Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 1, berdasarkan definisi yang raajih menurut kami untuk rasul dan nabi, kami memutuskan bahwa Harun as. adalah seorang nabi, tetapi bukan seorang rasul dengan mafhuum ini. Sebabnya, Harun as. dalam perkara syariah adalah mengikuti Musa as. Nas-nas syariah menyatakan demikian.

Lalu berkaitan dengan dua ayat mulia yang Anda sebutkan di pertanyaan, maka kita menelaah tafsirnya dengan ringkas sebagai berikut:

Di dalam Tafsîr an-Nasafî (2/297), misalnya, dinyatakan: Firman Allah: Fa’tiyâhu (Datanglah kalian berdua kepada dia), yakni Fir’aun. “Faqûlâ innâ rasûlâ Rabbika (Katakanlah, “Sungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu),” yakni kepadamu (Fir’aun)…Firman Allah: Qâla fa man Rabbukumâ, yâ Mûsâ (Berkata Fir’aun, “Lalu siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?)” Fir’aun berbicara kepada keduanya, kemudian menyeru salah satu dari keduanya, karena Musa adalah yang pokok dalam kenabian dan Harun mengikuti Musa…

Dengan mengkaji dua ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang di dalamnya disebutkan Harun as. dengan lafal al-irsâl dan ar-risâlah, menjadi jelas bahwa penyebutan beliau di dalam ayat-ayat itu dengan lafal al-irsâl adalah selalu bersama Musa as., yakni mengikuti Musa. Misalnya, dinyatakan dalam firman Allah SWT: “Tsumma arsalnâ Mûsâ wa akhâhu Hârûna bi âyâtinâ wa sulthân[in] mubîn[in] (Kemudian Kami mengutus Musa dan saudaranya Harun dengan membawa tanda-tanda (kebesaran) Kami dan bukti yang nyata (TQS al-Mu`minun [23]: 45).”

Firman Allah: Wa khî hârûnu huwa afshahu minnî lisân[an] fa arsilhu ma’iya rid‘an yushaddiqunî innî akhâfu an yukadzdzibûna (Saudaraku Harun lebih fasih lidahnya daripada aku. Karena itu utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)-ku. Sungguh aku khawatir mereka akan mendustakanku (TQS al-Qashshash [28]: 34).”

Jelas dari sini bahwa Harun as. tidak menyendiri dengan sifat ar-risâlah-nya, tetapi pembicaaan tentang dia dengan sifat ini adalah tentang Musa as. dan tentang Harun as. secara Bersama-sama. Artinya, Harun as. tidak independen dan menyendiri dengan sifat ar-risâlah-nya.

Namun, ketika datang pembicaraan di dalam al-Quran al-Karim tentang Harun as. secara sendiri independen dari sifat tersebut maka Harun disebut nabi dan tidak disebut rasul. Sebaliknya, pada waktu yang sama, al-Quran menetapkan untuk Mus as. sifat rasul dan nabi sekaligus. Allah SWT berfirman (yang artinya): Kami telah menganugerahkan kepada dia  (Musa) sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi (TQS Maryam [19]: 53).

Jadi tetang Musa as., Allah berfirman bahwa dia adalah “rasûl[an] nabiyy[an] (rasul dan nabi)”. Adapun Harun as. tidak ditetapkan untuk dia sifat ar-risâlah, tetapi cukup mensifati dirinya dengan kenabian: “akhâhu Hârûna nabiyy[an] (yaitu saudaranya, Harun, menjadi seorang nabi)”.

Ini menegaskan pemahaman yang menjadi pendapat kami bahwa Musa as. adalah rasul dan nabi sekaligus. Adapun Harun as. hanya seorang nabi, bukan rasul, karena ia mengikuti Musa as. Harun diperintahkan untuk menyampaikan risalah Musa as.

Karena itu sebagian ulama salaf berkata: tidak ada syafaat seseorang di dunia yang lebih agung dari syafaat Musa as. kepada Harun agar menjadi seorang nabi (QS Maryam [19]: 53).

Inilah yang kami raajih-kan dalam masalah ini dan itu merupakan pendapat mutabbanat bagi kita.

WalLâh a’lam wa ahkam. []

 

[Diringkas dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 12 Syawal 1444 H – 02 Mei 2023 M]

 

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/88622.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/788892249464813

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × three =

Back to top button