Fikih

Usaha Bukan Sebab Rezeki

Soal:

Apakah usaha menambah jumlah rezeki yang telah dituliskan? Seseorang yang duduk-duduk di rumahnya, misalnya, apakah rezekinya akan sama dengan seandainya dia bekerja? Apakah mengiklankan dan mempromosikan pekerjaan menambah jumlah rezeki yang telah dituliskan?

 

Jawab:

Tampaknya ada suatu kerancuan dalam topik rezeki dan usaha. Perkara ini sebetulnya telah dijelaskan, khususnya dalam Al-Kurâsah. Saya akan meringkaskan sebagiannya:

 

Adapun terkait dengan rezeki maka banyak ayat-ayat yang qath’i dalaalah, yang tidak menyisakan ruang untuk orang yang mengimani al-Quran, kecuali dia mengimani bahwa rezeki itu di tangan Allah, Dia memberikan rezeki kepada orang yang Dia kehendaki. Masalah rezeki berbeda dengan masalah al-Qadar (takdir). Sebabnya, al-Qadar (takdir) adalah bahwa Allah SWT mengetahui bahwa suatu perkara tertentu akan terjadi, sebelum terjadinya perkara itu. Jadi Allah telah menuliskan dan menetapkannya. Adapun rezeki maka bukan hanya bahwa Allah SWT mengetahui bahwa si fulan akan diberi rezeki sehingga Dia telah menuliskan dan menetapkannya, tetapi juga, yakni di samping bahwa Allah telah menetapkan rezeki, bahwa yang memberikan rezeki adalah Allah dan bukan hamba. Inilah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang ada. Allah SWT berfirman:

لَا نَسۡئَلُكَ رِزۡقٗاۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكَۗ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلتَّقۡوَىٰ  ١٣٢

Kami tidak meminta rezeki kepada kamu. Kamilah Yang memberi rezeki kepadamu. Akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa (QS Thaha [20]: 132).

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلٗا طَيِّبٗاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِيٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ  ٨٨

Makanlah oleh kalian makanan yang halal dan baik dari apa yang Allah telah berikan kepada kalian dan bertakwalah kepada Allah yang telah kalian imani (QS al-Maidah [5]: 88).

 

Ayat-ayat ini qath’i dalaalah bahwa Allah adalah Tuhan Yang memberi rezeki dan bahwa Dia memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia pula Yang melapangkan rezeki untuk siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan rezeki untuk orang yang Dia kehendaki. Jadi di dalamnya, semuanya menisbatkan rezeki kepada Allah SWT. Di dalamnya dinyatakan bahwa tidak ada yang memberi rezeki selain Dia. Ini menunjukkan bahwa Dialah Yang memberi rezeki. Itu merupakan penyandaran yang hakiki.

Jadi penisbatan rezeki kepada Allah adalah penisbatan yang hakiki. Lebih dari itu, tidak dinyatakan penisbatan rezeki kepada manusia bahwa manusialah yang memberikan rezeki untuk dirinya sendiri. Tidak ada penisbatan itu baik di dalam ayat maupun di dalam satu hadispun. Di dalam semua nas yang ada, penisbatan rezeki itu kepada Allah SWT. Adapun apa yang dinyatakan berupa penisbatan rezeki untuk manusia yang memberi manusia lainnya, maka yang dimaksudkan adalah “serahkanlah harta untuk mereka”. Jadi yang dimaksud bukanlah perbuatan memberi rezeki. Misalnya firman Allah SWT:

وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ ٥

Janganlah kalian menyerahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) (QS an-Nisa’ [4]: 5).

 

Allah SWT juga berfirman:

وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ ٨

Jika sewaktu pembagian (harta waris) itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) (QS an-Nisa’ [4]: 8).

 

Yang dimaksud oleh ayat pertama adalah “berikan makanan untuk mereka”. Yang dimaksudkan oleh  ayat kedua adalah “maka serahkanlah untuk mereka dari rezeki yang kamu peroleh ini”. Jadi itu adalah perintah agar diberikan kepada mereka sebagian dari rezeki dan itu bukan penisbatan rezeki kepada mereka. Tidak dinyatakan penisbatan rezeki dengan makna yang melakukan ar-rizqu (yang memberi) kecuali kepada Allah SWT. Allah SWT tegas berfirman:

نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ ١٥١

Kamilah Yang memberikan rezeki kepada kalian (QS al-An’am [6]: 151).

 

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

وَرِزۡقُ رَبِّكَ ١٣١

Rezeki dari Tuhanmu (QS Thaha [20]: 131).

 

Allah SWT juga berfirman:

كُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ مِن رِّزۡقِ ٱللَّهِ ٦٠

Makan dan minumlah dari rezeki Allah (QS al-Baqarah [2]: 60).

 

Di dalam semuanya itu, jelas bahwa penisbatan dan penyandaran perbuatan memberi rezeki (fi’lu ar-rizqi) itu adalah kepada Allah. Ini memberikan makna yang tidak menerima penakwilan, yaitu bahwa Allah sajalah Yang Maha Pemberi rezeki (Ar-Razzâq) dan bahwa rezeki itu di tangan Allah SWT.

Berdasarkan ini, kita wajib mengimani bahwa Allah adalah Yang memberikan rezeki kepada makhluk. Dalilnya qath’i ats-tsubût dan qath’i ad-dalâlah. Jadi mengimani hal ini adalah wajib dan mengingkarinya adalah kufur. Artinya, siapa saja yang tidak mengimani bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki maka sungguh dia telah kafir. Tempat berlindung hanya kepada Allah.

Ini masalah rezeki dari sisi keimanan dan dari sisi dalil. Hanya saja, di samping memerintahkan keimanan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rizki, Allah juga memerintahkan manusia untuk berusaha memperoleh rezeki ini. Allah SWT berfirman:

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ ١٥

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Karena itu berjalanlah kalian di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya (QS al-Mulk [67]: 15).

 

Allah SWT juga berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ ١٠

Jika telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kaliandi muka bumi dan carilah karunia Allah (QS al-Jumu’ah [62]: 10).

 

Di dalam dua ayat ini, Allah SWT memerintahkan manusia untuk berusaha mencari rezeki. Jika perintah untuk berusaha mencari rezeki ini dikaitkan dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki, menjadi jelas makna keberadaan Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki. Dengan itu menjadi jelas juga makna iman bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki. Ayat-ayat pertama, semuanya memastikan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki. Artinya, Yang memberi rezeki adalah Allah dan bukan manusia. Adapun dua ayat terakhir ini memerintahkan manusia untuk bekerja guna memperoleh rezeki Allah.

Faktanya, usaha manusia bukanlah sebab untuk rezeki. Hal itu karena sebab itu menghasilkan musabab secara pasti dan musabab tidak dihasilkan kecuali dari sebabnya. Pisau adalah sebab terpotongnya sesuatu dan pisaulah yang memotong. Api adalah sebab terbakar sesuatu dan apilah yang membakar. Tidak terjadi terpotong tanpa pisau, yakni tanpa alat yang tajam. Tidak terjadi pembakaran tanpa api, yakni tanpa materi yang membakar. Ini adalah sebab. Seandainya usaha mencari rezeki seperti itu, niscaya merupakan sebab rezeki, dan niscaya realitanya bahwa usaha adalah yang mendatangkan rezeki, sebagaimana pisau adalah yang memotong dan api adalah yang membakar.

Namun, faktanya usaha mencari rezeki tidak demikian. Artinya, tidak seperti pisau terkait dengan terpotongnya sesuatu, dan tidak seperti api terkait dengan terbakarnya sesuatu. Sebabnya, kadangkala telah terjadi usaha mencari rezeki, tetapi rezeki itu tidak diperoleh. Kadangkala pula rezeki diperoleh tanpa terjadi usaha mencarinya. Artinya, kadang telah terjadi sebab, tetapi tidak terjadi musabab, dan kadang telah terjadi musabab tanpa sebabnya, dan boleh jadi tanpa sebab apapun. Ini menunjukkan dengan dalaalah yang qath’i bahwa usaha bukanlah sebab untuk rezeki.

Contoh-contoh atas hal itu di dalam realita kehidupan sangat banyak, yang memberikan kepastian. Seorang pedagang berusaha untuk mendapatkan laba, tetapi hasil dari perdagangannya adalah kerugian atau tidak ada laba. Kadang telah terjadi usaha, tetapi tidak diperoleh rezeki. Artinya, telah ada sebab, tetapi tidak dihasilkan musabab. Karena musabab itu tidak dihasilkan maka itu bukanlah sebab, karena sebab itu secara pasti menghasilkan musabab.

Contoh lain, orang yang mewarisi harta. Rezekinya itu datang tanpa usaha dirinya. Seandainya usaha adalah sebab rezeki niscaya tidak diperoleh harta tanpa ada usaha. Sebabnya, musabab itu tidak dihasilkan kecuali dari sebabnya yang penyebabnya. Perolehan harta dengan waris tanpa ada usaha merupakan dalil bahwa usaha bukan sebab untuk rezeki. Dalam hal waris, rezeki itu jelas diperoleh tanpa adanya usaha.

Semua ini menetapkan secara qath’i bahwa usaha untuk mencari rezeki bukan merupakan sebab untuk rezeki. Artinya, usaha itu bukan yang mendatangkan rezeki. Jadi usaha itu bukan seperti pisau yang melakukan pemotongan, dan bukan seperti api yang melakukan pembakaran. Jadi usaha bukanlah yang mendatangkan rezeki sebab usaha bukanlah sebab untuk rezeki.

 

Kesimpulan                                      

Demikianlah. Yang Maha Pemberi rezeki adalah Allah SWT. Ini termasuk akidah. Adapun usaha adalah perintah dari hukum syariah. Jika Anda berusaha, Anda bisa mendapatkan rezeki yang telah Allah tetapkan untuk Anda dan mendapatkan pahala atas usaha Anda dalam mencari rezeki. Jika Anda tidak berusaha maka boleh jadi Anda tetap mendapatkan rezeki yang telah Allah tetapkan untuk Anda, tetapi Anda telah menyalahi hukum syariah karena Anda tidak berusaha sebagaimana yang Allah perintahkan kepada Anda.

WalLâh a’lam wa ahkam. []

 

[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah tanggal 27 Shafar 1445 H – 12 September 2023 M]

 

Sumber:

Https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/90887.html

Https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/860210035666367

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 5 =

Back to top button