Fokus

Makna Penting Maulid Nabi SAW

Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. merupakan momen yang sangat dihormati oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Setiap tanggal 12 Rabiul Awal, umat Islam dari berbagai lapisan masyarakat memperingati Maulid Nabi saw. dengan kegiatan seremonial seperti pembacaan barzanji, marhaban, tawsiah dan berbagai bentuk syiar Islam lainnya.

Namun, perlu kita renungkan kembali: apakah substansi dari peringatan Maulid Nabi saw. benar-­benar telah menyentuh esensi dakwah dan perjuangan beliau? Ataukah sebatas euforia simbolik yang bersifat tahunan?

 

Makna Penting Maulid Nabi saw.

Perayaan Maulid Nabi telah berlangsung sejak masa Dinasti Fatimiyah di Mesir, lalu berkembang luas pada masa Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk. Ulama seperti Imam As-­Suyuthi dalam kitabnya, Husn al-­Maqshid fî ‘Amal al-Mawlid membolehkan Peringatan Maulid asalkan tidak mengandung unsur maksiat. Namun, para ulama juga menekankan pentingnya menjadikan Maulid Nabi saw. sebagai sarana untuk memperdalam kecintaan dan keteladanan kepada Rasulullah saw. Bukan sekadar perayaan kosong makna.

Memperingati Maulid Nabi dapat menjadi sarana dakwah kepada umat. Maulid adalah momentum untuk menyegarkan kembali ingatan umat terhadap keagungan akhlak Rasulullah saw. (QS al-­Qalam [68]: 4) serta menyadarkan umat akan pentingnya meneladani perjuangan beliau dalam menegakkan Islam secara kâffah.

Sayangnya, hikmah ini sering tidak tercapai. Banyak pihak mencukupkan diri dalam Peringatan Maulid sebatas pada mengenalkan Rasulullah saw. sebagai utusan Allah yang harus diteladani. Namun, teladan hanya pada aspek-­aspek artifisial atau hanya di permukaan, seperti teladan dalam keluarga, teladan dalam memperlakukan istri, teladan dalam bersikap kepada orang lain bahkan kepada musuh, dan deskripsi keteladanan lainnya yang bersifat personal. Umat lupa bahwa dari Rasulullah kita bisa meneladani bagaimana beliau mengurus masyarakat dengan penerapan syariah Islam secara kâffah, mengatur dan memimpin negara dengan hukum-­hukum Allah SWT, dan bahkan memimpin perang menghadapi fitnah dari musuh-­musuh Allah dengan prinsip-­prinsip yang telah diatur Islam.

 

Rasulullah saw. Satu-­satunya Teladan

Mengingat kelahiran Nabi saw. bukanlah merayakan ulang tahun beliau. Mengenang momentum kelahiran beliau adalah upaya memfokuskan kembali mata batin kita pada sosok manusia yang paling berjasa dalam hidup dan peradaban. Tidak lain agar kita menjadikan beliau sebagai satu-­satunya contoh ‘the model’ dan uswah terbaik dalam menapaki ragam sisi kehidupan.

Sungguh dalam diri Rasulullah saw. terdapat suri teladan dalam berkeluarga, dalam memimpin masyarakat dan negara, juga dalam ragam aspek kehidupan lainnya. Beliau ibarat batu permata yang indah. Dilihat dari sisi mana saja, beliau memunculkan cahaya berkilau yang indah.

Allah SWT berfirman:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ ٢١

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (QS al-­Ahzab [33]: 21).

 

Baginda Nabi saw. adalah manusia dengan akhlak terbaik. Aisyah ra. menyebut akhlak beliau adalah al-­Quran. Aisyah ra. juga berkata, “Rasulullah saw. adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-­kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun.” (HR Ahmad).

Sosok manusia termulia ini secara jujur juga diakui oleh dunia Barat. Dr. Michael H. Hart, penulis buku The 100, A Ranking of The Most Influential Person in History, menulis:

“Pilihanku untuk menempatkan Muhammad di urutan pertama dalam daftar orang yang paling penting dalam sejarah mungkin akan mengejutkan pembaca. Namun, dialah satu-­satunya manusia dalam sejarah yang merengkuh keberhasilan tertinggi dalam bidang agama dan dunia. Dia adalah satu-­satunya yang telah menyelesaikan pesan agama dengan sempurna, menggariskan aturan-­aturannya dan diimani oleh seluruh bangsa ketika dia hidup. Selain agama, dia juga mendirikan negara sebagai media menyatukan suku-­suku dalam satu bangsa, menyatukan bangsa-­bangsa dalam satu negara dan meletakkan dasar-­dasar kehidupan agama. Dialah yang memulai misi agama dan dunia serta menyempurnakannya.”

Kemudian Sir George Bernard Shaw, (26 July 1856—2 November 1950), Tokoh Irlandia, Pendiri London School of Economics, juga berkomentar, “Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian rupa hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia.”

Lalu Thomas Carlyle (4 Desember 1795—5 Februari 1881), penulis besar dari Skotlandia, pun bertutur, “Kebohongan yang dipropagandakan kaum Barat yang diselimutkan kepada orang ini (Muhammad) hanyalah mempermalukan diri kita sendiri. Sosok jiwa besar yang tenang, seorang yang mau tidak mau harus dijunjung tinggi. Dia diciptakan untuk menerangi dunia. Begitulah perintah Sang Pencipta Dunia.” (Thomas Carlyle, On Heroes, Hero-­Worship, & the Heroic in History).

Rasulullah saw. adalah teladan paripurna. Ia bukan hanya pemimpin spiritual. Beliau juga pemimpin politik, kepala negara, pemimpin militer, pendidik, suami, ayah, dan sahabat. Dalam semua aspek itu, beliau menunjukkan keteladanan luar biasa. Namun, kini teladan itu sering dipersempit hanya pada aspek ibadah dan akhlak individual semata.

Sebagai contoh, umat Islam gemar mengutip sabda beliau tentang akhlak, tetapi mengabaikan strategi dakwah dan perjuangannya dalam membangun masyarakat islami. Padahal, keberhasilan Rasulullah saw. dalam membangun Madinah sebagai Negara Islam pertama merupakan teladan besar dalam perjuangan institusional Islam.

 

Kecintaan Hakiki kepada Rasulullah saw.

Abu Abdillah al-­Qurasyi dalam Risâlah Qusyayriyyah (hlm. 479) menyatakan:

«حَقِيْقَة الْمَحَبَّةِ أَنْ تَهَبَ كُلَّكَ لِمَنْ أَحْبَبْتَ فَلا يَبْقَى لَك مِنْكَ شَيْئٌ»

Hakikat cinta adalah engkau memberikan semua yang ada pada dirimu kepada orang yang engkau cintai sehingga tidak tersisa sedikit pun untuk dirimu.

 

Inilah hakikat cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. Ia adalah cinta mutlak yang tidak layak dibagi. Cinta selain kepada keduanya adalah cinta karena keduanya. Cinta kepada orangtua, anak, istri, usaha, tempat tinggal, dll harus karena Allah SWT dan Rasul-­Nya. Mencintai keduanya hukumnya wajib; berdosa jika dilalaikan, apalagi diabaikan.

Allah SWT berfirman:

قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ  ٢٤

Katakanlah, “Jika bapak-­bapak, anak-­anak, saudara-­saudara, istri-­istri dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, serta rumah-­rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-­Nya dan (daripada) berjihad di jalan-­Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (hukuman)-­Nya.” Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik (QS at-­Taubah [9]: 24).

 

Ada dua qarînah pada ayat ini yang menegaskan kewajiban mencintai Allah SWT dan Rasulullah saw. di atas yang lainnya. Pertama: Frasa “fatarabbashû hattâ ya’tiyalLâhu bi amrihi”, maknanya adalah: Fantazhirû mâdzâ yahillu bikum min ‘iqâbihi wa nakâlihi bikum [Tunggulah hingga Allah halalkan sanksi dan hukuman atas kalian] (Ibnu Katsir, Tafsîr al-­Qur’ân al-­‘Azhîm, 2/841).

Kedua, Allah menyifati orang yang lebih mencintai selain Allah SWT dan Rasulullah saw. dengan sifat fasik dan tidak Allah beri hidayah. Wal ‘iyâdzubilLâh.

Cinta adalah fi’l al-­qalb (amal hati) tidak bisa dilihat secara langsung. Namun, cinta bisa dilihat melalui ‘alamat (tanda) dan atsar (jejak)-­nya. Sebagaimana seseorang yang tidak melihat ada unta, tetapi jejaknya menunjukkan ada unta yang baru lewat di tempat itu. Qadhi ‘Iyadh menyatakan:

«اِعْلَمْ أَنَّ مَنْ اَحَبَّ شَيْئًا اَثَرَهُ وَاَثَرَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإِلاَّ لَمْ يَكُنْ صَادِقًا فِيْ حُبِّهِ»

Ketahuilah bahwa siapa saja yang (mengklaim) mencintai sesuatu (termasuk seseorang), maka ada tandanya. Tanda tersebut bersesuaian dengan kadar cintanya. Jika tidak ada buktinya, tidak benar klaim cintanya (Ats-­Tsa’alabi, Al-­Jawâhir al-­Hasan fî Tafsîr al-­Qur’ân, 1/200).

 

Masih menurut Qadhi ‘Iyadh, bukti paling nyata dan paling awal atas pengakuan cinta kepada Rasulullah saw. adalah: Meneladani beliau, mengamalkan sunah beliau, mengikuti ucapan dan perbuatan beliau, menjalankan perintah beliau, menjauhi larangan beliau dan berusaha memiliki adab (akhlak) seperti adab (akhlak) beliau (Qadhi ‘Iyadh, Asy-­Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-­Musthafâ, 2/16).

Imam Syafii juga pernah bertutur:

«لَوْ كانَ حُبُّكَ صَادِقاً لأَطَعْتَهُ -­ إنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيعُ»

Jika cintamu benar, tentu engkau akan menaati Baginda Nabi saw./Sungguh orang yang mencinta akan menaati orang yang dicinta.

 

Imam Ibnu Katsir, saat menafsirkan firman Allah SWT dalam QS Ali ‘Imran ayat 31, menyatakan: “Ayat yang mulia ini menjadi pemutus bahwa siapa saja yang mengklaim cinta kepada Allah, tetapi ia tidak mengikuti jalan hidup Nabi saw., maka sungguh ia adalah pendusta atas klaim cintanya pada perkara ini hingga ia mengikuti syariah dan agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. dalam seluruh ucapan dan keadaannya.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-­Qur’ân al-­‘Azhîm, 2/32).

Faktanya, banyak Muslim, khususnya para pejabat negara yang setiap Peringatan Maulid Nabi saw., mengajak masyarakat untuk mencintai beliau, tetapi mereka sendiri menolak penerapan syariah Islam. Mereka menuduh radikal pada para pejuang Islam dan menuduh ajaran Islam dengan tuduhan keji; menarget serta memenjarakan ulama, aktivis Islam, termasuk keturunan Nabi saw.; mengaku cinta kepada Nabi saw., tetapi menjadikan orang Yahudi dan para musuh Islam sebagai teman dekat dan mengikuti rekomendasinya; mengaku mencintai Nabi saw., tetapi berbuat zalim kepada umat beliau; juga semena-­mena mencabut subsidi BBM, menjual aset strategis milik umat kepada asing dan aseng, sedangkan rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak.

Sesungguhnya mereka itu telah berdusta dalam klaim cintanya kepada Rasulullah saw. Tidakkah mereka takut dengan doa Nabi SAW:

«اَللّٰهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بهم فَارْفُقْ بِهِ»

Ya Allah, siapa saja yang menjadi pemimpin atas umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah ia. Siapa saja yang memimpin umatku, lalu mengasihi mereka, maka kasihanilah ia (HR Muslim).

 

Jadi siapa saja yang dalam hatinya terbit kecintaan hakiki pada Rasulullah saw., maka dia akan totalitas untuk menerima dan menjalankan apa saja yang beliau perintahkan dan juga beliau larang. Allah SWT berfirman dalam QS al-­Hasyr ayat 7: (yang artinya): Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah saw. adalah sumber hukum kedua setelah al-­Quran. Jadi sudah semestinya umat Islam menjadikan sunnah beliau sebagai rujukan utama; tidak hanya dalam ritual ibadah, tetapi juga dalam hukum, pendidikan, ekonomi, dan pemerintahan.

Namun, dalam praktiknya, umat Islam sering hanya mengambil sunnah beliau dalam urusan shalat, puasa dan pernikahan saja. Mereka menolak sunnah beliau dalam urusan hukum pidana, tata negara dan ekonomi. Tentu ini adalah bentuk peneladanan yang parsial dan tidak utuh.

 

Meluruskan Pemahaman

Dengan membatasi keteladanan Rasulullah saw. hanya pada aspek pribadi, umat Islam justru menjauhkan diri dari tujuan dakwah Rasulullah saw. yang membawa perubahan sistemik dalam masyarakat.

Dalam berbagai Peringatan Maulid, Sirah Nabawiyah dibacakan dengan penuh semangat. Akan tetapi, sayangnya, banyak yang tidak memahami atau tidak memaknai sîrah tersebut sebagai pedoman perjuangan. Padahal Sirah Nabi saw. bukanlah dongeng, tetapi sejarah hidup yang sarat strategi dakwah dan pembentukan peradaban. Misalnya, strategi hijrah, pembangunan Masjid Nabawi sebagai pusat peradaban, serta penyusunan Piagam Madinah sampai pendirian Negara Islam pertama adalah teladan praktis dalam membangun masyarakat.

Keteladanan Rasulullah saw. seharusnya bersifat menyeluruh (kâffah). Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ ٢٠٨

Wahai orang-­orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan… (QS al-Baqarah [2]: 208).

 

Maka dari itu, meneladani Rasulullah saw. tidak bisa setengah-­setengah. Harus menyeluruh meliputi akidah, ibadah, muamalah, politik dan dakwah.

Sayangnya, sebagian umat Islam lemah dalam aspek perjuangan. Banyak yang rajin menghadiri pengajian, tetapi diam saat kemungkaran terjadi di depan mata. Banyak yang menangis saat mendengar kisah hijrah, tetapi tidak pernah ingin berkorban untuk Islam sebagai agamanya.

Kita harus menyadari bahwa Islam tidak akan berjaya dengan hanya memperbanyak ritual. Kemenangan Islam pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin terjadi karena perjuangan yang total. Rasulullah saw. membangun struktur masyarakat, mengangkat pemimpin, menegakkan hukum, dan menyebarkan risalah ke seluruh dunia.

WalLâhu a’lam. [Agus Suryana, S.S., M.Pd.; (Direktur Lingkar Studi Islam Strategis (LSIS))]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 − 7 =

Back to top button