Fokus

Negara Kalah Melawan LGBT?

Konser Coldplay yang akan digelar di Indonesia dan Malaysia, November 2023 telah menyentak kesadaran kaum Muslim. Berbagai media memberitakan bahwa salah satu vokalis band ini, Chris Martin, mengakui dirinya sebagai pendukung LGBT. Dalam beberapa konsernya Coldplay memamerkan bendera warna pelangi sebagai wujud dukungan terhadap gerakan ini.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menyatakan pihaknya terus melakukan persiapan konser Coldplay di Jakarta. Ini akan memberikan peluang ekonomi sebesar Rp 167 triliun. Padahal sejumlah tokoh dan ormas Islam telah memberikan penolakan dan menuntut Pemerintah bersikap tegas. Namun, sampai saat ini respon Pemerintah Indonesia belum menunjukkan kejelasan.

Di negeri Jiran, Partai Islam se-Malaysia (PAS) terus mendesak Pemerintah Malaysia untuk membatalkan konser Coldplay yang juga dijadwalkan berlangsung di Kuala Lumpur pada bulan yang sama. Kebebasan dan daya tarik ekonomi menjadi alasan Pemerintah Malaysia untuk mengundang grup band pendukung LGBT itu.

 

Dukungan Internasional

Sebuah dokumen resmi yang dirilis Program Pembangunan PBB (UNDP) memaparkan strategi jangka panjang terkait LGBT melalui program bernama The Being LGBT in Asia Phase 2 Initiative (BLIA-2). Proyek mewujudkan LGBTI di Asia ini melalui kerjasama regional berfokus pada empat negara: Cina, Indonesia, Filipina dan Thailand. Kedubes Swedia di Bangkok dan lembaga pendanaan AS (USAID) turut memberikan dukungan. Proyek ini menginginkan setiap negara menjamin kesejahteraan kaum LGBT serta mengurangi marjinalisasi terhadap identitas dasar orientasi seksual dan gender (Sexual Orientation & Gender Identity/SOGI).

Bahkan American Psychiatric Association (APA) akhirnya menghapus homoseksual dari Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental/Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) pada tahun 1973. World Health Organization (WHO) sejak tahun 1990 turut menghapus homoseksual dari klasifikasi penyakit. Menurut WHO homoseksual tidak lagi dikategorikan sebagai kondisi patologis, kelainan, atau penyakit.

Berbagai riset terselenggara (agar terkesan ilmiah) lalu mempublikasikan hasilnya: menyatakan bahwa secara biologis dan psikologis orientasi seksual merupakan bagian intrinsik dari karakteristik pribadi manusia. Riset di bawah hegemoni badan internasional menjadi sarana propaganda Barat. Riset dengan karakter obyektifnya yang melemah terkooptasi oleh cara pandang para peneliti yang mengadopsi konsep-konsep batil hak asasi manusia, liberalisme, dan feminisme.

Menurut Pew Research Center, ada 31 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis, baik nasional maupun di sejumlah daerah. Rentang 2001-2010 ada 11 negara antara lain Belanda (2001); Belgia (2003); Spanyol dan Kanada (2005); Afrika Selatan (2006); Norwegia (2008); Meksiko dan Swedia (2009); Argentina, Islandia dan Portugal (2010). Berikutnya 13 negara rentang 2011-2015, yaitu Denmark (2012); Brasil, Perancis, Selandia Baru, Wales dan Uruguay (2013); Luxemburg dan Skotlandia (2014); Irlandia, AS, Greenland, Inggris dan Finlandia (2015). Diikuti 7 negara berikutnya, yakni Colombia (2016); Australia, Jerman dan Malta (2017); Austria (2019); lalu Ekuador dan Taiwan (2019).

Pada Desember 2022, negara kampium demokrasi Amerika Serikat kembali menegaskan peran sentralnya dalam mendukung LGBT. Melalui Presiden Joe Biden, AS menandatangani undang-undang bersejarah yang melindungi pernikahan sesama jenis dan antarras di tingkat federal. Secara otomatis UU tersebut mencabut UU Pertahanan Perkawinan tahun 1996 yang mendefinisikan pernikahan sebagai ikatan antara seorang pria dan wanita di bawah hukum federal. UU itu juga mewajibkan negara-negara bagian untuk mengakui pernikahan sesama jenis dan antarras.

 

LGBT di Indonesia

Sungguh tragis! LGBT bukan saja menjadi perilaku individu, melainkan sudah menjadi gerakan global yang terorganisir. Apakah Indonesia akan menjadi rumah idaman bagi kaum LGBT?

Guru besar IPB Prof. Dr. Euis Sunarti, M.Si. menyatakan bahwa LGBT masuk ke Indonesia pada tahun 1980. Menurut dia, Dialog Komunitas LGBT Nasional di Nusa Dua Bali (6/2013) yang diprakarsai oleh Forum LGBTIQ mendapat dukungan dari USAID. Mereka berhasil menyusun strategi bagaimana agar LGBTIQ masuk ke Indonesia, bahkan masuk ke Parlemen. Targetnya, mereka mendapatkan identitas dan pengakuan serta mengubah undang-undang pernikahan.

Kelompok hak asasi gay Indonesia berdiri tahun 1982. Pergerakan gay dan lesbian di Indonesia menjadi salah satu yang tertua dan terbesar di Asia Tenggara. Ada Gaya Nusantara, kelompok hak asasi gay yang berfokus pada isu-isu homoseksual seperti AIDS. Ada Yayasan Srikandi Sejati (berdiri 1998) yang fokus utamanya pada masalah kesehatan orang-orang transgender dan pekerjaannya. Sampai 2017 ada lebih dari tiga puluh kelompok LGBT di Indonesia.

Setidaknya tercatat ada dua jaringan nasional organisasi LGBT yang menaungi 119 organisasi di 28 provinsi. Pertama: Jaringan Gay, Waria, dan Laki-Laki yang Berhubungan Seks dengan Laki laki Lain Indonesia (GWLINA) yang berdiri pada 2007. Kedua: Forum LGBTIQ Indonesia yang berdiri pada 2008. Bertujuan memajukan program hak-hak seksual yang lebih luas dan memperluas jaringan agar mencakup semua organisasi lesbian, wanita biseksual, dan pria transgender. Mereka hampir mendapatkan legalitasnya saat Komnas HAM menggelar rapat paripurna (7/2013) membahas pengakuan tentang LGBT.

Berdasarkan estimasi Kemenkes pada 2012, terdapat 1.095.970 LSL. Lebih dari lima persennya (66.180) mengidap HIV. Badan PBB memprediksi jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada 2011. Padahal pada tahun 2009 populasi gay hanya sekitar 800 ribu jiwa. Tentu ini jumlah yang terdata saja, bukan jumlah riil yang kemungkinan berlipat.

 

Jalur Dukungan LGBT

LGBT sebagai gerakan global berjalan sistematis dan terstruktur, bukan sekadar pergerakan sporadis apalagi alamiah. Setidaknya terdapat lima langkah yang ditempuh untuk menormalisasi gerakan fasad ini agar diterima masyarakat dan mendapatkan legalisasi.

Pertama: Menanamkan prinsip-prinsip pemikiran liberalisme melalui jalur akademik dengan melibatkan kaum intelektual. Pada 6-9/11/2006, berlangsung pertemuan 29 pakar HAM di UGM yang menghasilkan Prinsip-Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta  Principles) yang secara terang-terangan mendukung LGBT. Lalu ada publikasi tentang munculnya lembaga pro LGBT di Universitas Indonesia (2016) yang bernama Support Group and Resource Center on Sexuality  Studies (SGRC). Dukungan para pakar dan akademisi menjadi penting. Pasalnya, sebuah kebijakan politik negara harus memiliki basis kajian akademik agar mudah melenggang ke Parlemen.

Kedua: Pengkondisian lingkungan sosial agar lebih ramah terhadap kaum LGBT, juga sosialisasi hak-hak minoritas dan anti diskriminasi. Propaganda yang masif melalui jalur advokasi, konsultasi, film, aksi lapangan, seni, media massa, dsb. Fakta penolakan masyarakat terhadap kaum LGBT justru menjadi batu lompatan untuk melakukan advokasi dan mempromosikan eksistensi komunitas pendukung LGBT sebagai “korban”. Yang banyak berperan di era sekarang dalam mempercepat kulturisasi dan akulturasi kelompok LGBT tentunya media dan media sosial.

Ketiga: Menggalang kekuatan ekonomi. Merek-merek dagang dunia terang-terangan mengkampanyekan LGBT, misalnya Facebook, Whatsapp, LINE, Starbucks, Nordstrom, Apple, Google, dll. Sebagai sebuah pasar yang sangat besar, Witeck Communications menyebut kemampuan membeli pada komunitas LGBT di Amerika senilai $830 miliar (2013). Data yang dirilis Witeck (2016) menunjukkan bahwa kemampuan membeli pada komunitas LGBT di pasar AS meningkat menjadi $917 miliar dolar.

Keempat: Langkah politik dan diplomasi. Peristiwa paling anyar terlihat adalah rencana kedatangan Jessica Stern, utusan khusus AS untuk memajukan hak asasi LGBT ke Asia Tenggara, yaitu Vietnam, Filipina dan Indonesia pada 2022 lalu. Hanya saja, rencana ini akhirnya dibatalkan setelah penolakan dari MUI. Ketiga negara ini dibidik karena sampai sekarang belum mengesahkan UU pernikahan sesama jenis mengikuti Taiwan dan Thailand. Bahkan penunjukan Jessica Stern oleh Joe Biden mengkampanyekan LGBT patut dinilai wajar mengingat Biden oleh Washington Post online disebut sebagai Presiden AS paling pro LGBT.

Kelima: Melalui legitimasi negara. Komnas HAM telah mengakui komunitas LGBT dalam Pernyataan Sikap Komnas HAM 4/2/2016. Menurut Komnas ini, LGBT di Indonesia legal berdasar pasal 28 UUD 1945. Juga legal berdasar Peraturan Menteri Sosial No 8/2012 terkait kelompok minoritas, menyebut adanya gay, waria, dan lesbian.  Peraturan Menteri Dalam Negeri No 27/2014 tentang  Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi  Kerja tahun 2015 memasukkan gay, waria, dan  lesbian ke dalam peraturan tersebut. Tak cukup dengan penerimaan hak hidup LGBT oleh negara. Target berikutnya adalah perubahan UU Perkawinan agar memberikan legitimasi terhadap perkawinan sesama jenis.

 

Negara Mengalah?

Kedubes AS untuk Indonesia secara terang-terangan menegaskan dukungannya terhadap LGBT. Dubes AS untuk Indonesia Robert O Blake saat mengunjungi Harian Republika menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi harus bisa memberikan contoh bagi negara-negara lain (Republika, 12/02/2016).

Terkait rencana kunjungan Jessica Stern, utusan Presiden AS Joe Biden (2022) yang hampir bisa dipastikan akan berlangsung seandainya tidak ada penolakan tokoh dan ormas dari berbagai kalangan, mereka mengkhawatirkan dampak buruk lawatan Jessica yaitu munculnya konflik baik sosial, keagamaan, maupun politik. Artinya, Pemerintah Indonesia tidak menolak sejak awal atas rencana kunjungan tersebut.

Lalu terkait rencana gelaran konser Coldplay pada November 2023 nanti, Menparekraf Sandiaga Uno menyatakan pihaknya terus melakukan persiapan konser Coldplay. Ini tentu semata karena pertimbangan ekonomi saja. Wakil Ketua MUI Anwar Abbas bahkan mengkritik Pemerintah agar tidak bersikap sebagai pedagang dan politikus, tetapi seharusnya menjadi negarawan. Menurut dia, saat ini pejabat di Indonesia tak lagi berpikir ideologis, memikirkan apa dan bagaimana dampak suatu tindakan politik yang dari semua sisi. Pemerintah memilih menjadi liberal dan bersikap pragmatis.

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahkan merilis survey bertajuk: “Sikap Publik atas Rencana Konser Coldplay di Indonesia” (23-24/5/2023). Survey ini memilih metode random digit dialing (RDD) dengan sampel hanya 915 responden. SMRC berani menyimpulkan bahwa mayoritas publik Indonesia menerima rencana kedatangan Coldplay. Secara politik, mayoritas pendukung partai dan bakal calon presiden bersikap terbuka. Secara sosial, hampir semua pemeluk agama dan kelompok sosial lain juga demikian. Tentu ini sebuah survey yang dangkal dan lucu. Seolah kesadaran publik suatu negara Muslim terbesar berpenduduk 270 juta lebih bisa dipresentasikan hanya oleh 915 jiwa saja.

 

Sikap Negara Seharusnya

Berbagai negara adidaya dan badan Internasional secara konsisten memprogandakan LGBT ke seluruh dunia. Namun, Pemerintah Indonesia hanya bersikap pasif menyaksikan dinamika sosial dan politik yang berkembang di masyarakat dalam merespon isu LGBT. Pemerintah lemah menghadapi tekanan internasional atas nama perlindungan hak-hak kaum minoritas, anti diskriminasi dan marginalisasi yang hakikatnya adalah propaganda fasad sekulerisme, liberalisme dan hak asasi manusia. Negara telah mengalah pasrah tanpa perlawanan. Negara telah tunduk pada dikte global dengan meratifikasi berbagai konvensi internasional yang melegitimasi LGBT.

Padahal negara adalah sebuah institusi politik yang paling sempurna dengan segala perangkat struktur negara yang ia miliki. Negara adalah pelindung bagi setiap warga negara yang bernaung di bawahnya. Pelindung dari beragam serangan musuh negara baik bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.

Jelas, gerakan LGBT yang bersifat global sampai lokal, terstruktur, sistematis dan masif didukung oleh kekuatan finansial raksasa. Mereka mengemban narasi berbahaya bagi umat dan dunia. Mereka memaksakan suatu model kehidupan yang merusak fitrah manusia, bahkan menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang beradab dan bermartabat.

Maka dari itu, Pemerintah wajib bersikap tegas untuk menghentikan segala hal yang bisa membuka celah kesempatan bagi kelompok LGBT untuk eksis di masyarakat berikut semua kekuatan pendukungnya baik negara, LSM maupun badan internasional.

Penting juga untuk disadari bahwa sikap penolakan dan perlawanan negara terhadap gerakan global LGBT akan sangat berat dan sangat mustahil dilakukan oleh negara yang tidak mengemban ideologi sahih. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia sebagai negara Muslim terbesar berani mengambil langkah ideologis, strategis dan taktis dalam upaya membendung dan menghentikan pergerakan LGBT melalui satu jalan, yakni menerapkan syariah Islam secara kaafah menjadi sebuah negara Khilafah yang penuh berkah.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Endiyah Puji Tristanti]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 − 5 =

Back to top button