Muhasabah

Syariah Islam Adalah Obat

Dalam suatu bincang-bincang beberapa hari lalu, saya mengatakan, “Indonesia ini sedang sakit.”

“Kalau kita lihat realitas. Penyakit yang kini tengah menjangkit adalah sekulerisme radikal,” tambah saya.  Kalau sebelumnya ‘hanya’ memisahkan agama dari kehidupan dan negara, kini bukan sekadar memisahkan, melainkan juga membenci agama.  Saat ini, terjadi tanpa tedeng aling-aling secara terbuka pamer makan babi di media massa yang dilakukan oleh orang yang mengaku Muslim.  Dulu tak pernah terjadi.  Ungkapan “kriteria pemimpin itu bukan keshalihan atau pelaku maksiat” saat ini keluar dari mulut seorang yang disebut pemimpin suatu partai Islam.  Kalau itu terjadi tahun 2010-an bisa geger.  Kini, pengakuan jujur dan tanpa risih dari seorang pejabat publik bahwa ia suka menonton film bokep mendapat dukungan.  Suatu hal yang tidak terjadi pada masa lalu.  Dulu, tudingan radikal sangat minim dilontarkan. Kini tudingan radikal telah disematkan kepada  anak-anak SD penghapal al-Quran. Orang mengatakan dengan terbuka bahwa al-Quran itu kalam Muhammad bukan kalam Allah kini terjadi dengan leluasa.  Dulu kelompok islamophobia masih agak malu-malu. Kini suara lantang mereka terus didengungkan.  Banyak hal lain terkait ini.

Semua itu menunjukkan adanya pergeseran dari sekulerisme menjadi sekularisme radikal. “Kalau penyakitnya itu sekularisme radikal, maka obatnya adalah kembali pada syariah Islam secara kaaffah,” penegasan saya.

Berkaitan dengan hal itu, Shaahibul Fadhiilah KH Thoha Kholili menyampaikan, “Indonesia sedang sakit.  Namun, bukan hanya Indonesia. Seluruh dunia kini sedang sakit.”  Tandas sekali.  “Orang sakit itu perlu didiagnosis oleh dokter.  Tidak cukup hanya melihat gejalanya.  Lalu ketemulah akar penyakitnya,” tambah kiai yang sangat lembut ini.  “Akar penyakit umat Islam ini adalah jauh dari ajaran-ajaran Islam.  Jadi, obatnya adalah jangan menerapkan ajaran selain ajaran Islam,” pungkasnya.

Di Indonesia banyak contoh terkait hal ini.  Sebagai contoh, ketika saya mengobrol dengan beberapa tokoh di daerah Gresik, Jawa Timur, tertangkap sedang ada persoalan ketenagakerjaan.  Beberapa perusahaan smelter yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dipandang tidak mengutamakan penduduk lokal sebagai pekerja.  Padahal di sana ada Perda yang menyatakan bahwa 60% pekerja harus berasal dari warga lokal.  “Namun tidak diterapkan,” ungkap seorang tokoh dari daerah Manyar.

Rupanya tidak nyambung antara Perda dan kebijakan KEK.  Perda dibuat oleh pemerintah kota, sementara peraturan terkait KEK berasal dari Pusat.  Akhirnya, pihak daerah kesulitan untuk membela warganya dan menerapkan Perda tersebut.  “Bahkan saya pernah masuk ke dalam. Di sana banyak pekerja yang tidak bisa bahasa Indonesia.  Tidak bisa juga berbahasa Inggris,” tambahnya.  “Orang pekerja ngaduk saja berasal dari sono,” ungkapnya gemes.

Tentu saja, hukum asalnya setiap orang harus mencari nafkah sendiri.  Namun, penguasa wajib menyiapkan lapangan kerja bagi rakyatnya.  “Setiap kamu adalah pemimpin. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia pimpin,” sabda Rasulullah saw. dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

Beliau juga bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia.” (HR at-Tirmidzi).

Artinya, kewajiban yang ada di pundak penguasa adalah rakyatnya, bukan rakyat yang lain.  “Jangan sampai rakyat sendiri dibiarkan nganggur, sementara pekerjaan yang ada dan bisa dikerjakan oleh rakyat justru diserahkan kepada tenaga kerja asing,” sedikit berharap.

Jika ini terjadi, berarti telah menyimpang dari ajaran Islam.  Karena itu ia harus dikembalikan pada ajaran Islam, yakni warga harus lebih diutamakan untuk diberi kesempatan kerja daripada orang asing.

Contoh lain, pada 19 Juni 2023 Komisi IX DPR RI dalam rapatnya menyetujui akan segera mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang.  “Terjadi perubahan prinsip dari health care menjadi health industry,” ujar Muhammad Ismail Yusanto.  Kesehatan yang awalnya merupakan pelayanan, kini berubah menjadi industri.  “Kesehatan itu sifatnya individual.  Yang sakit itu orang-perorang.  Jika dinyatakan bersifat nasional, regional atau global, itu artinya sasarannya bukan orang, tetapi bisnis,” tegas Ismail.  Pemahaman ini dapat dimengerti karena di dalam konsideran atau dasar pertimbangan RUU tersebut dinyatakan “bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global serta mendorong peningkatan layanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kemakmuran yang berkelanjutan.”

“Yang namanya industri, prinsipnya adalah siapa yang punya uang ia dapat menikmati.  Yang kere tak kan bisa berobat secara layak,” tambah Kang Dadang.

“Benar orang yang mengatakan bahwa orang miskin dilarang sakit!” sahut Mas Andy.

Dalam Islam, jaminan pelayanan kesehatan itu merupakan kewajiban negara.  Imam Muslim meriwayatkan bahwa pernah Rasulullah saw.—sebagai kepala negara di Madinah al-Munawwarah—menyediakan dokter gratis untuk mengobati warganya. Salah satunya Ubay. Bahkan ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu bukan sebagai dokter pribadi, melainkan sebagai dokter umum bagi masyarakat. Ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan kewajiban pemerintah.

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa dulu terdapat serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw.—selaku kepala negara—kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh.  Hal serupa dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.  “Umar menyediakan dokter gratis bagi Aslam yang sedang sakit,” Al-Hakim meriwayatkan.

Ini juga menunjukkan bagaimana kesehatan merupakan pelayanan alias health careSo, kesehatan yang didasarkan pada prinsip health industry bertentangan dengan syariah Islam.  Semua ini merupakan penyakit dan harus diobati.  Obatnya adalah syariah Islam.

WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − 3 =

Back to top button