Fokus

Nestapa Umat Islam Dari Ramadhan Ke Ramadhan

Kondisi umat Islam sudah lama tak beranjak dari keterpurukan dan kesedihan. Bahkan ketika mereka memasuki Ramadhan nan mulia, umat Islam tak pernah absen dinista.

Sederet contoh peristiwa berikut setidaknya menyegarkan ingatan kita, betapa musuh-musuh Islam tak pernah berhenti menodai kesucian Ramadhan yang pernah dilalui umat Islam dari tahun ke tahun.

  • Insiden Hama – Terjadi pada Ramadhan tahun 1982 di Syria. Saat itu pemerintah Assad melakukan pembantaian massal terhadap warga sipil di Kota Hama yang mayoritas penduduknya Muslim Sunni. Lebih dari 10.000 orang tewas dalam insiden ini.
  • Pembantaian Srebrenica – Terjadi pada Ramadhan tahun 1995 di Bosnia dan Herzegovina. Ketika itu pasukan Serbia Bosnia membantai lebih dari 8.000 orang Muslim Bosnia.
  • Pembantaian Aleppo – Terjadi pada Ramadhan tahun 2016 di Suriah. Ketika itu pasukan pemerintah Suriah dan pasukan Rusia melakukan serangan udara terhadap Kota Aleppo yang dihuni oleh warga sipil. Insiden ini memakan korban jiwa yang banyak dan menyebabkan kehancuran di kota tersebut.
  • Pembantaian Rohingya – Terjadi pada Ramadhan tahun 2017 di Myanmar. Ketika itu pasukan keamanan Myanmar melakukan serangan kejam terhadap komunitas Muslim Rohingya. Akibatnya, ribuan orang tewas dan jutaan orang menjadi pengungsi.
  • Serangan di Masjid Al Noor dan Linwood – Terjadi pada Ramadhan tahun 2019 di Christchurch, Selandia Baru. Ketika itu seorang pria Australia melakukan serangan teroris di dua masjid, menewaskan 51 orang Muslim.
  • Pembantaian Gaza – Terjadi selama Ramadhan tahun 2021 di Palestina. Ketika itu serangan udara Israel menargetkan Gaza dan menewaskan lebih dari 230 orang, kebanyakan warga sipil, termasuk anak-anak.
  • Serangan di Masjid Al-Aqsa – Terjadi pada Ramadhan tahun 2021 di Yerusalem, Palestina. Ketika itu pasukan keamanan Israel menyerang jamaah Muslim yang sedang beribadah di Masjid Al-Aqsa. Insiden ini memicu konflik yang memakan korban jiwa di Yerusalem dan Gaza.

 

Dari sekian peristiwa tersebut, khusus untuk kasus serangan Israel ke Palestina, seolah sudah menjadi tradisi Israel ‘menyambut’ Ramadhan. Terlalu sering mereka melakukan serangan terhadap kaum Muslim Palestina, baik menjelang maupun saat umat sedang khusyuk beribadah di bulan Ramadhan.

Respon dari para penguasa Dunia Islam terhadap rangkaian peristiwa memilukan tersebut pun seragam. Hanya diam menonton. Tidak ada kutukan dan pergerakan untuk mengirim pasukan tentara bersenjata demi menghentikan pelaku pembantaian. Jika pun ada, hanya berupa kiriman bantuan makanan dan obat-obatan untuk korban. Adapun para pembantai dibiarkan leluasa melakukan pembantaian selanjutnya. Kaum Muslim hanya bisa menangis melihat saudara seakidah berada dalam nestapa perang tak berkesudahan.

Anak-anak dipaksa dewasa untuk bisa memahami keadaan sekelilingnya. Para wanita harus berjuang melindungi kehormatan diri dari tangan-tangan kotor musuh Islam. Para lelaki hanya memiliki pilihan: ‘Lawan’.

 

Ramadhan Bulan Perjuangan

Betapa hal tersebut tergambar dalam diri kaum Muslim yang tengah dizalimi oleh musuh-musuh Islam. Meski begitu mereka tetap menjalankan kewajiban shaum Ramadhan. Mereka sahur dan berbuka di tengah dentuman bom dan serangan udara tentara musuh.

Beginilah jika Junnah kaum Muslim—yakni Khilafah—hilang. Islam dihinakan. Penganutnya terhina. Penjajah menginjak harga diri umat tanpa takut apapun. Mereka melakukan genosida tanpa ampun. Mereka memmbunuh dan memperkosa tanpa rasa bersalah sedikitpun. Pasalnya, mereka menyakini bahwa tidak akan ada yang melawan mereka. Semua negeri Islam dalam kendali mereka lewat Perjanjian Internasional. Konsep nations state makin membuat para pemimpin Islam lumpuh total.

Semua rentetan peristiwa memilukan tersebut terjadi selama puluhan tahun lamanya. Itu karena di tengah-tengah umat tidak ada lagi perisai yang melindungi mereka, yakni  Khilafah Islam.

 

Umat Makin Rindu Islam

Di Indonesia sendiri, negeri dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, semarak menyambut Ramadhan begitu kental. Sepertinya tak ada negeri yang menyambut Ramadan segempita Indonesia. Agenda-agenda keislaman rutin dilakukan, dari selepas sahur hingga menjelang waktu berbuka, bahkan selepas tarawih. Hal itu dilakukan hampir sebulan penuh. Dari mulai kajian-kajian subuh, ragam kajian menjelang ifthar jama’i, kajian setelah tarawih, sampai kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial.

Kajian yang dilaksanakan pun tidak sebatas soal ibadah mahdhah, tetapi berkembang pada tema-tema lain: tentang hijrah, perubahan diri menjadi lebih islami, menjadi pribadi yang bertakwa, sesuai tuntunan syariah, baik dalam pergaulan, maupun dalam muamalah ekonomi yang sudah anti-riba. Bahkan banyak juga yang sudah membahas fiqh siyasiyah, termasuk khilafah. Semua pembahasan sudah mengarah pada pentingnya hidup dalam naungan syariah-Nya. Semua pembahasan selalu ditinjau dalam perspektif syariah atau bagaimana agar sesuai  dengan syariah. Menjamurnya kajian online juga telah memfasilitasi mereka yang sudah terpanggil secara sadar dalam berislam untuk hidup dalam naungan Islam.

Semangat keberislaman tersebut ternyata berbanding lurus dengan hasil-hasil survei yang pernah dilakukan. Dukungan masyarakat Indonesia terhadap penerapan syariah Islam meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2017 menunjukkan bahwa sekitar 52,2% responden mendukung penerapan hukum syariah di Indonesia. Pada 2018, survey SMRC menunjukkan bahwa sekitar 64,7% responden menginginkan pemberlakuan hukum Islam secara menyeluruh di Indonesia. Pada tahun 2018 pula, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei yang menunjukkan bahwa 54,7% responden mendukung penerapan hukum syariah di Indonesia. Pada 2020, lembaga survei Alvara Research Center juga melakukan survei yang menunjukkan bahwa 62,9% responden mendukung penerapan hukum syariah di Indonesia.

 

Penguasa Makin Memusuhi Islam

Semua fenomena tersebut menunjukkan kerinduan umat yang begitu besar terhadap Islam. Namun demikian, di sisi lain kita akan dengan mudah menemukan kondisi yang kontradiktif yang ditunjukkan penguasa terhadap semangat keberislaman masyarakat. Alih-alih memberikan dukungan, menyediakan fasilitas, sampai membuat program-program yang mampu meningkatkan ketakwaan masyarakat. Yang terjadi malah sebaliknya. Penguasa malah makin menunjukkan permusuhannya terhadap Islam.

Alhasil, umat terbelah dalam menyikapi isu-isu yang berkembang di masyarakat. Pemerintah mengambil posisi memberangus paham radikalisme. Sebaliknya, umat Islam justru makin menunjukkan sikap ‘radikal’ di mata Pemerintah.

Cara berpikir keliru dalam melihat Islam dan umat Islam sangat berpengaruh dalam relasi rezim dengan umat Islam saat ini. Cara pandang keliru yang dimaksud adalah bagaimana rezim melihat Islam dan umat Islam sebagai ancaman. Lalu lahirlah kebijakan-kebijakan yang sarat dengan permusuhan terhadap umat Islam. Ulama dan tokoh-tokoh Islam ditangkapi. Ormas Islam dibubarkan secara zalim. Suara umat Islam yang kritis dan berdasarkan syariah Islam dibungkam dan dituding sebagai penghasutan, kebencian,  makar, anti kebhinekaan, radikal hingga teroris. Padahal seruan-seruan itu adalah seruan kebaikan yang menginginkan Indonesia hidup lebih berkah dengan syariah-Nya. Bukan seruan provokatif yang berisi sekadar hinaan, tendensius, atau sentimen kebencian semata.

Cara pandang rezim yang keliru itu pun telah menjadikan penguasa begitu rajin mendeskreditkan umat Islam. Penguasa acap memprovokasi bahkan menyakiti hati umat Islam tanpa menyadari bahwa mereka juga adalah bagian dari anak bangsa yang hidup di atas negeri yang telah Allah SWT karuniakan kepada mereka.

Sebagai contoh, publik sempat dibuat geram dengan pernyataan yang menista kerudung bagi Muslimah sebagai manusia gurun dari seorang rektor dan pewawancara program beasiswa LPDP. Lalu ada soal yang dinilai menyudutkan Islam pada Ujian Akhir Sekolah-Berbasis Negeri (UAS-BN) di Lamongan, Jawa Timur, yang menyebutkan Islam garis keras itu melakukan sweeping dan pembubaran di gereja saat natal, dan dikaitkan dengan pelanggaran UUD 1945.

Demikian juga dengan soal-soal ujian dan wawancara untuk para calon ASN yang dikeluarkan oleh BKN. Sangat tendensius dan menyudutkan umat Islam. Bahkan cenderung mengarah pada pemurtadan dengan sengaja melemparkan pertanyaan lebih memilih mana al-Quran atau Pancasila.

Kita pun pernah dibuat geleng-geleng kepala dengan pernyataan mantan Menag Lukman Hakim Saefudin. Dia melontarkan pernyataan agar orang berpuasa menghormati orang yang tidak berpuasa. Ini adalah seruan toleransi yang salah-kaprah. Pasalnya, seruan ini menempatkan umat Islam sebagai pihak tertuduh, hatta sekalipun mereka yang tengah menunaikan ibadah, tetaplah dipersalahkan.

Cuitan yang berisi penistaan terhadap ajaran Islam yang dilakukan oleh Komisaris PT Pelni Dede Budhyarto, yang memplesetkan kata Khilafah menjadi ‘Khilafuck’, menambah deret panjang bahwa penguasa dan rakyat (dalam hal ini umat Islam) berdiri saling berhadapan. Penguasa sering menunjukkan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslim.

Memang berbagai lontaran tersebut diartikulasikan melalui lisan pendukung rezim, menteri atau pejabat BUMN. Bukan langsung oleh kepala negara. Namun demikian, hal itu cukup merepresentasikan sikap penguasa kita, yang cenderung diam dan menjadi ‘pelindung’ para penista itu.

Kalaupun publik menekan secara massif, mereka seolah punya kaidah standar klarifikasi, yakni menggelar konferensi pers, meminta maaf di atas materai dan menunjukkan penyesalan. Lalu seketika itu pelaporan sebanyak apapun terhadap para penista dan pembenci Islam tidak akan pernah diproses dan berhenti di meja konferensi pers atau kasus malah dipetieskan.

Cara pandang keliru ini muncul karena mengadopsi cara berpikir penjajah kapitalis-liberal-sekuler. Bagi mereka umat Islam yang bersatu, juga penegakan syariah Islam dan Khilafah adalah ancaman. Semua itu mengancam kepentingan kelanggengan kekuasaan penjajahan mereka. Muncullah kebijakan anti terorisme dan radikalisme ala penjajah yang menjadikan Islam dan umat Islam sebagai musuh. Cara pandang inilah yang banyak dianut oleh para penguasa boneka mereka di Dunia Islam. Karena itu alih-alih penguasa negeri Islam berpihak kepada kaum Muslim dan  Islam. Yang terjadi adalah sikap represif dan keji terhadap rakyatnya sendiri.

 

Menguatnya Sekularisme di Tengah Umat

Islam adalah sesuatu. umat Islam adalah sesuatu yang lain. Demikian gambaran sekularisme menurut Sayyid Quthb. Hari ini realitasnya semakin kita rasakan di negeri ini. Sejak Pemilu 2014, misalnya, Indonesia mengalami polarisasi yang cukup tajam. Penguasa yang notabene pemegang kebijakan telah memosisikan diri vis a vis dengan umat Islam. Apapun yang mengandung unsur Islam selalu masuk dalam radar kritik penguasa bahkan mengarah pada kriminalisasi. Ada pembatasan atau pembubaran para da’i yang distigma radikal untuk mengisi ceramah-ceramah. Ada monsterisasi bendera tauhid yang notabene benderanya umat Islam, panji Rasulullah saw.Mmajelis taklim atau pengajian ibu-ibu pun tidak luput dari kritik dan sentimen kebencian rezim anti-Islam.

Hari ini kita sama-sama menyaksikan bahwa rakyat telah dipermainkan oleh elit-elit penguasa. Bagaimana tidak. Masyarakat akar rumput harus menahan rasa lapar sambil meneriakkan jargon tokoh politik junjungan mereka, bahkan saling olok dan perang di media social. Ironisnya, para petinggi malah saling bagi-bagi kue kekuasaan.

Para kandidat yang dulu saling jegal berebut tahta di Istana Kepresidenan, kini duduk mesra satu meja. Mereka berendam satu kolam. Mereka berjalan ke satu arah yang sama: menguatkan sekularisme, bukan Islam atau umat Islam. Saat warga negara telah terbelah dua, Cebong versus Kampret, dua kubu yang awalnya berlomba itu kini berkonsolidasi. Kemenangan Jokowi, kemudian diikuti pengangkatan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan beserta Sandiaga Uno, yang dulu menjadi wakilnya, sebagai Menteri Ekonomi Kreatif, disebut banyak pihak sebagai “kemenangan otoritarian” atau “kejayaan oligarki”.

Namun, semua sudah terlanjur. Mereka kini telah berkoalisi, tetapi publik telah terlanjur terbelah. Sentimen yang berujung pada sikap-sikap ujaran bertendensi rasis, kekerasan, bahkan persekusi sering kita lihat. Semua hanya karena beda pandangan; hanya karena umat menginginkan keadilan dan menginginkan Islam sebagai satu-satunya solusi atas semua persoalan yang menimpa.

Tuduhan bertubi-tubi selalu dialamatkan kepada para pejuang, bahwa syariah Islam radikal, pemecah-belah, anti NKRI, dll. Padahal sejak Indonesia merdeka hingga hari ini, syariah Islam belum pernah sekalipun mendapatkan kesempatan untuk mengatur masyarakat. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini pula yang membuat Indonesia hancur, kekayaan diual ke asing dan aseng, kerusakan lingkungan, korupsi, kolusi, manipulasi dan gaya hidup hedon pejabat. Semuanya adalah para pengasong “NKRI Harga Mati” dan “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Bukan pejuang syariah dan Khilafah.

Tentu kita tidak berharap Ramadhan kali ini penguasa kita ‘memanfaatkan’-nya untuk kembali menodai Islam, melalui narasi atau kebijakan apapun. Kita berharap ada setitik takwa yang ditunjukkan mereka. Setidaknya mereka membiarkan umat Islam menikmati sajian istimewanya yakni dengan mereguk kebahagiaan dengan beribadah secara khusyuk selama Bulan Ramadhan Mubarak.

Harapan paripurna kita adalah bahwa hanya Khilafah solusi tuntas dan tunggal terhadap problematika umat ini. Tanpa Khilafah, mustahil masalah umat ini bisa diselesaikan. Karena itu siapa pun yang berusaha menyelesaikan persoalan ini, tetapi melupakan akar masalah dan solusinya, yaitu ada dan tidaknya Khilafah, hanyalah isapan jempol semata dan akan berujung pada kegagalan. Bahkan boleh dikatakan bahwa mereka tidak sungguh-sungguh ingin menyelesaikan permasalahan kaum Muslim.

WalLaahu a’lam. [Agus Suryana, S.S., M.Pd.; (Direktur Lingkar Studi Islam Strategis – LSIS)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five + 2 =

Back to top button