Muhasabah

Pajak, Hutang dan Pamer Kekayaan

Akhir Februari 2023 lalu, masyarakat dihebohkan dengan kelakuan seorang anak pejabat pajak.  Pamer kekayaan.  Mobilnya Rubicon.  Tak sembarang orang bisa punya.  Harganya sekitar 1,7 sampai 1,8 miliar rupiah.  “Kalau dibelikan Xenia bisa dapat 9 atau 10 buah,” ujar Kang Jenal kepada saya.

Rupanya tak sekadar itu, anak pejabat itu pun melakukan tindak kekerasan kepada seorang remaja lain.  Disuruh push up, dipersekusi, diancam, diintimidasi dan disiksa.  Korban tak sadarkan diri dan masuk ICU.  Lebih dari itu, penganiayaan itu direkam oleh teman si pelaku lalu tersebarlah ke seantero dunia maya. Meminjam kata-kata Bang Haji Rhoma Irama, “Sungguh terlalu!”

Kang Jenal pun menyampaikan lagi, “Begitulah Ustadz, kalau harta dan kekuasaan menyatu tanpa didasari iman dan tepo saliro. Yang lahir adalah otoriter dan kekejaman.  Padahal yang punya harta dan kuasa adalah ayahnya.  Tak dapat dibayangkan bagaimana bila diri seseorang memiliki harta dan kuasa tanpa landasan iman.”

Dalam konteks ini, apa yang dikatakan oleh Lord Acton ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” menemukan realitasnya.

Pasca kejadian itu terkuaklah realitas ayah pelaku penganiayaan.  Namanya RAT, seorang pejabat Ditjen Pajak Kementrian Keuangan.  “Iya RAT, keluarga dan semua pihak terkait. Ada beberapa puluh rekening sudah kami blokir.  Nilai transaksi yang kami bekukan nilainya debit/kredit lebih dari Rp 500 miliar, dan kemungkinan akan bertambah,” ujar Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustivandana (7/3/2023).

Ia pun dipecat secara tidak hormat.  “Tapi, kasihan gara-gara kelakuan anaknya eh bapaknya yang kena,” kata Pak Wildan.  “Coba kalau anaknya tidak begitu,” tambahnya.

“Tidak gitu juga kali, Pak.  Berbeda kasusnya.  Anaknya melakukan penganiayaan.  Sementara, ayahnya memiliki harta kekayaan yang tidak semestinya.  Jadi, bukan karena anaknya, “ sanggah Randi.

Anak muda itu menambahkan, “Begitulah skenario Allah SWT kalau hendak membongkar sesuatu yang sebelumnya rahasia.  Gampang!  Jika Allah SWT sudah membongkarnya, tak ada yang bisa menutup-nutupinya,” tambahnya bersemangat. RAT memiliki posisi eselon II.  Menurut aturan yang ada, gajinya Rp 81,9 juta perbulan.  “Coba kita hitung-hitung.  Dengan gaji bulanan segitu untuk mendapatkan uang Rp 500 miliar perlu waktu kira-kira 6.105 bulan atau 508,75 tahun,”  ujar saya.

“Padahal, umur generasi saat ini paling 75 tahunan,” tambah saya.

“Nah itu dia. Dugaannya ya korupsi. Power tends to corrupt,” ujar Randi lagi.

Saya teringat pernyataan Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Emmy Hafild pada tahun 2004 bahwa 40-60% penerimaan pajak tidak masuk ke kas negara, namun masuk ke kantong aparat pajak. Tak beda dengan itu, mantan pimpinan KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, mengatakan hingga kini dia menduga praktik korupsi sektor perpajakan masih terjadi.  Realitas pun menunjukkan ini bukan kasus pertama korupsi di sektor perpajakan.  Sebut saja Angin Prayitno Aji (mantan direktur pemeriksaan dan penagihan DJP Kemenkeu periode 2016-2019) terjerat kasus korupsi, Wawan Ridwan, Alfred Simanjuntak, dan kasus yang pernah bikin heboh Gayus Tambunan.

Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2005-2013 Abdullah Hehamahua mengatakan, “Orang korupsi ini ada yang karena need atau kebutuhan, ada juga yang karena greedy atau kerakusan.  Yang sangat berat adalah jenis kedua, karena kerakusan. Dulu alasannya gaji kecil, lalu korupsi. Ternyata setelah gaji besar tetap juga korupsi.  Ini masalah mental.”

Saya sampaikan kepada beliau, “Selain mental, ada lagi hal lain, yaitu hukuman yang tidak memberi efek jera.”

Saya tambahkan, “Dalam Islam, hukuman korupsi itu adalah ta’ziir, yaitu pilihan di antara bentuk-bentuk sanksi dalam Islam. Bisa mulai dari denda, hukum penjara bahkan hingga hukuman mati.”

Buya Anwar Abbas merasa sangat sesak dengan kondisi itu.  “Pajak memang perlu.  Namun, mereka menekan rakyat untuk bayar pajak, lalu diembat oleh oknum-oknumnya.”

Wakil Ketua Umum MUI Pusat itu menambahkan, “Setelah itu, pamer-pamer pula.  Teriak Pancasila hanya di mulut saja.”

Saya sampaikan kepada beliau, “Ada hal penting yang perlu dijadikan pegangan.  Prinsip.  Apakah Pemerintah akan menjadi pemerintah ri’aayah ataukah pemerintah jibayah.  Ri’aayah berarti pemerintah mengayomi rakyat, menjaga, memelihara dan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraannya. Sebaliknya, jibaayah berarti pemalakan.  Pemerintah jibaayah lebih menekankan pada memungut dan menekan rakyat.”

Saya tambahkan, “Ada 2 pilihan postur atau rezim anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).  Pertama, lebih menekankan pada pemberdayaan sumberdaya alam termasuk barang tambang, minyak, gas, hutan, kekayaan laut, dan sebagainya.  Kalaupun terpaksa, dapat memungut dari rakyat yang kaya, berupa dhariibah (semacam pajak).  Kedua, lebih menekankan pada pungutan kepada rakyat, sementara kekayaan sumberdaya alam yang melimpah diberikan kepada segelintir orang oligarki.”

Saya pun menyimpulkan, “Pilihan pertama akan merupakan pemerintahan ri’aayah, sementara bila pilihan kedua yang diambil maka akan cenderung pada pemerinthan jibaayah.”

Rasulullah saw. mencontohkan pemerintahan yang beliau terapkan adalah pemerintahan ri’aayah.

Selain pajak menjadi sumber utama APBN, lalu pajak diembat oleh oknum-oknum pejabat pajak, ditambah lagi hutang yang makin membengkak.  Sebagai contoh, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang Pemerintah per akhir Februari 2023 berada di angka Rp 7.861,68 triliun.  Nominal utang tersebut naik Rp 106,7 triliun dari posisi Januari 2023 yang tercatat sebesar Rp 7.754,98 triliun.  “Tambah berat saja hidup.  Pajak menekan.  Hutang makin menjadi beban,”  celetuk Kang Jenal.

Penduduk Indonesia per Januari 2023 sebesar 273,52 juta jiwa.  Jika hutang sebesar Rp 7.861,68 triliun dibagi kepada seluruh penduduk maka tiap penduduk Indonesia harus menanggung beban hutang Rp 28.742.615 perorang. Untuk masyarakat Jakarta dengan UMR Rp 4.901.798 pada tahun 2023, hutang sebesar itu berarti puasa selama 6 bulan.  Di tengah pajak yang meningkat dan hutang yang bertambah, muncul pamer kekayaan oleh para pejabat dan keluarga.  Sungguh membuat miris.

WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − 5 =

Back to top button